NovelToon NovelToon
Kami Yang Tak Dianggap

Kami Yang Tak Dianggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:13.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ayumarhumah

Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.

Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.

Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Langit sore tampak redup ketika Sena keluar dari klinik. Angin berembus lembut, tapi langkahnya terasa berat seakan bumi sedang menarik kakinya untuk berhenti. Di dalam pikirannya, suara dokter Rafli terus terngiang, “Ibu sedang hamil.”

Ia menatap ke arah Ara yang tengah duduk di kursi tunggu, memainkan ujung rambutnya dengan polos. Hatinya mencelos. Bagaimana ia harus menjelaskan ini kepada anaknya, kepada dunia bahkan kepada dirinya sendiri?

“Mama?” suara lembut itu memecah lamunannya.

“Iya, Sayang.”

“Mama kenapa diam? Dokternya bilang apa?” tanya Ara, matanya jernih, polos, dan penuh rasa ingin tahu.

Sena menarik napas dalam-dalam. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang keluar. Bagaimana mungkin ia bisa mengatakannya sekarang, di depan anak yang belum tahu makna luka pernikahan? Ia hanya mengelus kepala putrinya, memaksa senyum.

“Tidak apa-apa, Sayang. Kata dokter Mama cuma kecapean.”

Ara tersenyum lega, lalu menggenggam tangan ibunya erat. “Syukurlah. Aku takut Mama kenapa-kenapa.”

Sena tersenyum hambar. Mereka berjalan keluar klinik. Langit mulai gelap, rintik hujan turun pelan seperti ikut merasakan berat di dada Sena. Di dalam mobil, tangannya menggenggam setumpuk kertas hasil pemeriksaan. Tatapannya kosong menatap hujan di kaca depan.

Hamil... setelah aku resmi bercerai...

Ia memejamkan mata, mengingat kembali malam sebelum kepergian Dirga. Malam di mana suaminya pulang dalam diam, tanpa kata, hanya pelukan dingin yang terasa aneh. Dan setelah itu... semuanya berakhir dengan surat cerai.

Air mata Sena menetes pelan.

“Ya Allah... apa ini pertanda?” bisiknya lirih.

☘️☘️☘️☘️☘️

Malamnya, di rumah kontrakan yang mungil itu, Sena duduk termenung di ruang tamu. Ara sudah tidur pulas di kamarnya. Di meja ada hasil tes kehamilan yang ia beli sendiri dari apotek sore tadi dua garis merah tampak jelas.

Tangannya gemetar memegang alat itu.

“Kenapa sekarang, Tuhan? Saat aku baru mulai berdamai... kenapa Engkau titipkan kehidupan ini di saat aku sendiri?”

Pikiran Sena melayang ke banyak arah antara bahagia dan takut. Ia tahu betul bagaimana Dirga memandang rendah dirinya. Jika kabar ini sampai ke mereka, mungkin ia akan kembali dipermalukan. Tapi jika ia memilih diam, anak dalam kandungannya akan tumbuh tanpa mengenal ayahnya.

Namun di sela-sela keresahannya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama di layar membuat jantungnya berdetak cepat.

Dirga.

Sena menatap layar itu lama, ragu-ragu. Sudah tiga bulan pria itu menghilang tanpa kabar, dan kini ia menelpon di malam sesepi ini?Tangannya gemetar saat akhirnya menekan tombol hijau.

“Hallo...” Suara di seberang terdengar berat, dalam, dan ragu. “Sena...”

Sena menelan ludah. “Kenapa kamu telepon?”

Ada hening panjang. Lalu suara Dirga pelan, serak seperti menahan sesuatu.

“Aku baru tahu... kau datang ke pengadilan tanpa aku...”

“Kau yang tak datang, Dirga,” balas Sena, menahan emosi.

“Kau yang memilih pergi tanpa pamit, tanpa kabar," sahut Dirga.

Lagi-lagi hening.Hanya suara napas berat dari seberang. “Sena... aku ingin bertemu. Ada hal penting yang harus kubicarakan.”

Hati Sena berdebar kencang. Ada perasaan tak enak yang merayap di dadanya.

“Tidak perlu. Kita sudah selesai, Dirga.”

“Tolong... sekali ini saja,” suaranya memohon.

Sena terdiam. Ia menatap alat tes kehamilan di tangannya, dua garis merah yang kini seperti menyala di bawah cahaya lampu.

Dalam diam, air matanya jatuh lagi. Apakah ini tentang bayi itu? Atau tentang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perpisahan? Sena pun memilih untuk menutup teleponnya.

☘️☘️☘️☘️☘️

Keesokan paginya, sinar matahari menerobos jendela kamar kontrakan. Sena duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang sudah tak beruap. Ara duduk di depannya, masih mengenakan seragam sekolah, wajahnya tampak datar.

“Sayang...” panggil Sena lembut.

Ara hanya mengangkat pandangan sebentar, lalu kembali menunduk.

Sena menarik napas perlahan. “Mama mau ngomong sesuatu.”

Ara mengangguk tanpa minat. “Semalam... papamu telepon Mama,” ucap Sena hati-hati.

Ucapan itu langsung membuat wajah Ara berubah. “Untuk apa?” nadanya ketus, tajam, seperti sembilu kecil di dada Sena.

“Dia bilang ingin bertemu... mungkin ingin minta maaf, atau sekadar melihat kamu,” lanjut Sena mencoba menenangkan.

“Aku gak mau,” potong Ara cepat, matanya mulai berkaca-kaca. “Papa udah milih perempuan itu, kan? Buat apa ketemu lagi?”

Sena terdiam. Ia tahu betul luka itu masih dalam. Perlahan ia mengelus rambut anaknya.

“Nak, meskipun Papa pernah salah, dia tetap ayahmu. Kalau suatu hari nanti kamu rindu, kamu boleh marah, boleh kecewa... tapi jangan membenci. Karena membenci cuma bikin hatimu capek.”

Ara menggeleng keras. “Mama aja gak marah, padahal Papa ninggalin Mama! Kenapa Mama masih baik?” suaranya meninggi, menahan isak.

Sena tersenyum getir. “Karena Mama tidak ingin kamu tumbuh dengan dendam, Sayang. Hidup sudah cukup berat tanpa rasa benci.”

Ia menggenggam tangan kecil itu erat. “Sekali ini saja, yuk, temui Papa. Mama janji, kalau kamu gak mau bicara, Mama gak akan maksa.”

Ara menatap ibunya lama, lalu menunduk. “Baiklah... tapi cuma kali ini.”

☘️☘️☘️☘️

Siang itu, Sena menyiapkan dirinya sebaik mungkin. Ia bahkan sempat berdiri lama di depan cermin, menatap bayangan diri yang mulai tampak sedikit pucat. Di dalam rahimnya, sesuatu mulai tumbuh dan ia belum tahu bagaimana akan menghadapi semuanya.

Mereka tiba di kafe kecil di sudut kota, tempat yang Dirga janjikan lewat pesan singkat pagi tadi. Sena sengaja memilih duduk di sudut yang teduh, dekat jendela, agar Ara tak terlalu tegang menunggu.

Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas.

Ara sudah menggambar-gambar di kertas tisu, sementara Sena menatap ke luar, berharap mobil Dirga segera muncul.

Menit demi menit berlalu.

Pukul dua lewat tiga puluh.

Tiga lewat lima belas. Dan masih tak ada tanda-tanda Dirga datang.

Sena mencoba menenangkan Ara yang mulai gelisah. “Mungkin Ayah masih di jalan, Sayang. Macet, kali.”

Namun Ara sudah memeluk tasnya erat-erat, wajahnya datar tapi matanya memerah.

“Dia gak akan datang, Ma. Aku tahu.”

Sena ingin menyangkal, tapi tenggorokannya tercekat. Ponselnya ia genggam erat, menunggu notifikasi apa pun dari Dirga. Tapi yang muncul hanya pesan singkat yang datang satu jam kemudian:

“Maaf, Sen... Ika mendadak sakit perut. Aku harus ke rumah sakit. Nanti aku hubungi lagi.”

Sena menatap layar itu lama. Bibirnya gemetar, dada sesak. Ika... perempuan yang dulu dirahasiakan Dirga, yang sekarang sudah terang-terangan mengisi hidupnya.

Air mata Sena jatuh tanpa suara. Tapi bukan karena cemburu melainkan karena anak di depannya kini duduk dengan pandangan kosong, menatap ke arah luar kafe yang mulai diguyur gerimis.

“Aku bilang juga apa, Ma... dia gak bakal datang,” ucap Ara pelan, suaranya serak menahan tangis.

Sena hanya mengangguk, menahan napas agar tak ikut menangis. Ia lalu meraih tangan anaknya, menggenggam erat.

“Sudah... jangan sedih, Sayang. Biar Mama yang kecewa, kamu jangan.”

Ara menatap ibunya lama, lalu memeluknya.

“Ma, aku cuma punya Mama. Aku gak butuh Ayah.”

Sena menutup mata, air matanya jatuh di bahu kecil itu. "Ya Allah, kuatkan aku..."

Di luar, hujan turun makin deras.Dan di tempat lain, Dirga sedang duduk di rumah sakit, memegangi tangan Ika yang berpura-pura kesakitan. Ia tidak tahu, bahwa di saat itu juga, kehidupan baru sedang tumbuh di rahim wanita yang ia tinggalkan.

Bersambung ....

1
Lilik Lailiyah
ayo Ara selidiki Ika secepatnya
Kasih Bonda
next Thor semangat
Suanti
ika tukar ank cowok demi hancurkan rmh tangga sena beri ika kena karma 🤭
Kasih Bonda
next Thor semangat
Lilik Lailiyah
Naira Ara Arkan saudarah se ayah
Siti Koyah
ini anak sidirga sama si ika trus d tuker
Rafkah: bodoh si ika..ank ny trsiksa..malah ank org di raja kn.
total 1 replies
Siti Dede
Typonya bertebaran thor
Ayumarhumah: Iya Kak nanti aku revisi. gak tahulah hp keyboard ku😇😇
total 1 replies
Kasih Bonda
next Thor semangat
Bak Mis
apa mungkin ini anak nya wanita pelakor itu yg di tukar itu
Bak Mis
gak tau malu juga nih pelakor 😃😃😃
Kasih Bonda
next Thor semangat
Bak Mis
kenapa gak di tangkap aja tuh orang "jahat itu
Bak Mis
ini pria gak liat gadis itu seperti anak nya sendiri
Bak Mis
nih bocah masih kecil udah b
janji "aja tuh
Bak Mis
lanjut
Bak Mis
nah gitu dong bagus banget Ara,gak seperti mamanya yg masih nungguin
Bak Mis
makanya kalau di kasih rejeki dikit udah banyak gaya
Bak Mis
oh jadi gitu ya ibu mertuanya juga gak sayang sm menantu pertama nya
Bak Mis
akhirnya smg kedepan nya mereka ber3 slalu bahagia
Bak Mis
tuh anaknya aja punya otak, kenapa ibu nya oon
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!