Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Brian pada Rinnada
Brian mencolek pinggang Rinnada yang sejak tadi cemberut. Ia melipat tangannya di dada dan menghindari Brian.
"Sayang, sudah dong, ngambeknya". Bujuk Brian yang jalan di belakang Rinnada.
"Aku kan, ingin dapatkan kepiting itu!" Rengeknya
"Iya, nanti kita beli, ya?"
"Aku mau menangkapnya sendiri".
"Ya sudah. Kita cari lagi. Oke?"
Rinnada mengangguk. Mereka menyusuri pinggir pantai, mencari kepiting lagi.
Sebenarnya cuaca sangat terik. Namun nampaknya Rinnada tengah bersemangat tak mau di ganggu.
"Rin, kita istirahat disana, ya. Kita makan siang dulu. Kalau kita jalan begini, kepitingnya tidak akan muncul". Brian memberikan ide supaya mencari kepitingnya di sudahi dulu. Ia lelah dan kehausan. Untungnya Rinnada menyetujuinya.
Setelah mengisi perut dan membasahi kerongkongan, Rinnada memulai lagi aksinya. Namun kali ini dia duduk di tepi pantai. Menikmati waktu yang sedikit lagi akan membuat mereka terpaksa meninggalkan tempat ini.
Brian ikut duduk disebelahnya. Seperti bisa merasakan apa yang Rinnada pikirkan.
"Kalau mau, kita bisa sering-sering kesini". Brian menepuk-nepuk pelan kepala gadis itu. Seperti menenangkan anak kecil.
"Aku sulit dapat izin untuk keluar". Ucapnya menunduk. Memandang pasir putih di bawahnya.
"Kenapa begitu?"
Rinnada manyun. Menggelengkan kepalanya.
Brian mengelus kepala Rinnada. Dia tahu gadis ini belum mau menceritakan banyak hal kepadanya. Dan dia pun tidak memaksa.
"Aku ingin tahu banyak lagi tentangmu, Rin". Ujar Brian. Matanya menyipit karena kencangnya angin pantai.
"Lambat laun, kakak pasti tahu. Bahkan akan ada sesuatu yang bisa membuatmu terkejut-kejut, loh, kak." Kata Rinnada sengaja membuat wajah Brian lebih serius.
"Benarkah? Apa itu?" Tanya Brian benar-benar penasaran.
Yang di tanya tidak menjawab. Rinnada menekuk lututnya sambil menahan tawa. 'Imut sekali dia'. Batin Rinnada.
Namun ia tetap melanjutkan,
"Mama orangnya kurang ramah. Dia benar-benar jarang tersenyum kalau bukan dengan pasiennya. Aku sedikit takut memperkenalkannya denganmu, kak."
"Tidak apa, aku pasti bisa menghadapinya". Respon Brian percaya diri.
"Dia jarang sekali di rumah. Pagi-pagi sudah berangkat. Pulangnya kadang tengah malam. Walau sedang libur, kadang dia tetap datang ke rumah sakit". Jelas Rinnada yang terlihat tidak akrab dengan Bundanya.
"Apa kau pernah bercerita tentangku pada Bunda?" Tanya Brian lagi.
"Dia tahu kakak, kok." Rinnada melihat reaksi Brian bahagia lewat ekor matanya.
"Oh ya? Bagus. Itu artinya jalanku lebih gampang untuk melamar dirimu. Iya, kan?" Wajah Brian terlihat antusias. Seperti mendapat lampu hijau dari sang calon mertua.
Padahal, dia tidak tahu respon Bunda Rinnada terhadapnya seperti apa. 'Hah dasar. Cepat sekali mengambil kesimpulan' batin Rinnada.
"Ayo". Brian berdiri dengan semangat. Mengulurkan tangannya kepada Rinnada. "Mari Jalan lagi sambil cari kepiting". Ajak Brian yang sebenarnya bingung. Untuk apa gadis ini mencari kepiting. Padahal kalau mau, Brian bisa membelikannya satu karung.
Rinnada menangkap tangan Brian dengan senyum merekah di bibirnya.
"Haiss, dasar. Kepiting saja bisa membuatmu tersenyum seperti itu, ya!" Ujar Brian cemburu pada kepiting.
"Kepiting itu lucu. Wajahnya agak mirip denganmu, kak". Ucap Rinnada terkekeh.
"Apa! Kenapa mirip denganku. Tidak masuk akal. Aku ini tampan!" Brian berkacak pinggang. Tidak terima disamakan dengan kepiting.
"Tapi aku menyukai kepiting". Rinnada memperlihatkan wajah imutnya.
"Hah. Baiklah karena kau menyukai hewan itu, Aku pun tidak keberatan dianggap mirip dengannya". Brian menurunkan tangannya yang sejak tadi berkacak di pinggang. Sedikit lesu. Bisa-bisanya Rinnada menyamakan wajahnya dengan kepiting.
Rinnada menahan tawanya. Brian benar-benar menyukai Rinnada sampai seperti itu. 'Dia lucu sekali' Batin Rinnada lagi. Mau saja disamakan dengan apapun, asal Rinnada menyukainya.
Mereka berjalan santai sambil bercerita. Masih banyak hal yang belum mereka ceritakan.
"Aku tidak sabar ingin melamarmu, Rin. Kuliahku hanya tinggal satu semester lagi". Brian menendang-nendang kecil air laut yang mendatanginya.
Rinnada tidak berhenti tersenyum. Sesekali ia memegangi rambut yang mengganggu di wajahnya akibat terpaan angin.
"Kalau kau katakan untuk datang sekarang, aku pasti langsung datang kerumahmu dan melamarmu. Apalagi Papaku sudah setuju saja. Aku sudah menceritakan dirimu dan Papaku menyukainya. Kata Papa, perangaimu mirip dengan Mama." Brian tersenyum mengingat pujian terhadap dirinya yang mempunyai satu selera dengan Papanya.
Rinnada menoleh ke arah Brian.
"Mama sudah meninggal sejak aku baru masuk sekolah menengah. Beliau terkena serangan jantung. Sampai sekarang Papa belum bisa melupakan Mama." Brian menatap ke arah kekasihnya.
"Kalau Papa bilang kau mirip Mama, aku bisa paham kenapa dia tidak bisa melupakannya sampai sekarang".
Rinnada mengernyitkan alisnya. "Kenapa?"
"Karena rasa cinta. Aku mencintaimu. Dan mungkin akan melakukan hal yang sama dengan Papa jika kau mendahuluiku." Brian menautkan jari-jarinya ke jari Rinnada.
Rinnada berhenti tersenyum. Hatinya seperti berdenyut. Dia memegang dada kirinya, memeriksa jantungnya.
"Kak Ian. Itu tidak boleh terjadi". Rinnada memasang wajah serius. Dia menatap lekat wajah Brian. Bahunya naik turun akibat jantung yang tiba-tiba berdebar kuat.
"Kenapa tidak boleh? Aku mencintaimu lebih dari cintamu padaku, Rin. Wajahmu bahkan selalu menggantung di pikiranku. Dengan membayangkan Papa saja, aku sangat-sangat bisa mengerti semenjak aku jatuh cinta padamu".
Rinnada membuang wajahnya ke samping dan menghela napas. Dia lalu menatap Brian penuh dengan kasih sayang.
"Ka Ian. Aku sangat terharu mendengar ucapanmu ini. Aku sangat beruntung dicintai lelaki sepertimu. Tetapi..." Rinnada meraih tangan Brian. Membuka telapak tangannya. Mengukir sesuatu disana dengan telunjuknya.
"Kenapa, Rin? Apa perasaanku membebanimu? Apa aku terlalu memaksamu?" Tanya Brian tak henti. Reaksi Rinnada membuatnya takut.
"Dengarkan aku. Jika suatu hari nanti aku meninggal atau siapapun diantara kita yang mendahului, ku mohon, tetaplah menjalani hidupmu, kak. Carilah penggantiku".
"Tidak mau. Aku tidak bisa menjalani hidup kalau bukan kau yang jadi pendampingku". Tolak Brian yang membuang muka. Merasa kecewa dengan jawaban Rinnada. Apakah Rinnada akan cepat melupakan dan mencari penggantinya jika terjadi perpisahan pada mereka.
"Jika kau meninggal duluan, apa kau tega melihatku sendiri terus menerus sepanjang hidupku?" Tanya Rinnada balik. Supaya Brian bisa berpikir.
Brian terbungkam. Dia membenarkan itu dalam pikirannya.
Rinnada memeluk pinggang Brian. Wajahnya tepat di dada lelaki itu. Rinnada bahkan bisa mendengarkan detak jantunya.
"Jangan berjanji seperti itu. Itu menyakiti hatiku." Ucap Rinnada membenamkan wajahnya di dada Brian. "Kau sangat berhak bahagia dengan siapapun itu." Rinnada mendongakkan kepalanya, melihat wajah kesal Brian yang merenung ke depan.
"Dengarlah. Aku berjanji jika itu tidak berkaitan dengan takdir kematian, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu setia di sampingmu". Rinnada mengucapkan janjinya. Berharap bisa menyembuhkan perasaan kalut kekasihnya.
Entahlah. Bagi Brian yang perasaannya menggebu pada Rinnada, ia merasa bahwa tidak mungkin ada orang yang bisa menggantikan posisi Rinnada sampai kapanpun.
Bersambung.....
cow gk tahu diuntung