Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Septian mengira ancaman cerai akan membuat Riana kembali tunduk. Namun, itu hanyalah kebodohannya sendiri. Tatapan tajamnya tertuju pada Riana, yang justru tampak lega, seolah beban lama terlepas dari pundaknya. Senyum manis khasnya kembali menghiasi wajahnya.
"Baik, Mas. Kita cerai saja!" seru Riana tegas.
Kaki Septian mundur selangkah. Bukan ini yang ia inginkan. Ia masih sulit percaya dengan apa yang baru saja didengar.
"Riana, kamu sungguh setuju?" tanyanya ragu.
"Bukankah ini sudah ketiga kali kamu menjatuhkan kata talak? Secara agama pun apa yang kamu inginkan sudah tercapai, Mas." Ucapan Riana lirih, hampir tak terdengar jelas di telinga Septian.
Saat itu seorang perawat datang dan menyela, "Pak Septian, Dokter Arun ingin berbicara dengan Anda mengenai kondisi ibu Anda."
Liliana yang berada di dekatnya segera menimpali, "Berikan Lira padaku, Tian. Kamu temui dokter dulu. Untuk masalah Riana biar aku yang bicara. Kalian sedang sama-sama dikuasai emosi."
Septian menyerahkan Lira pada Liliana dengan perasaan hangat, terlebih setelah mendengar ucapannya yang begitu pengertian. Seandainya Riana bisa memiliki sedikit saja rasa pengertian seperti Liliana, tentu hidupnya tidak akan serumit ini, pikir Septian.
Ia sempat menoleh ke arah Riana. “Riana, aku kasih kamu waktu untuk berpikir baik-baik!” katanya singkat.
Tanpa menunggu jawaban, Septian langsung melangkah pergi mengikuti perawat, tapi kepalanya masih dipenuhi kata-kata Riana. Cerai. Kata itu terus menggema, menusuk telinganya, membuat dadanya sesak. Bukankah ancaman itu hanya gertakan semata? Mengapa Riana justru menyambutnya dengan begitu mudah?
Setelah Septian pergi, Liliana mendekati adiknya yang masih berdiri di tempat dengan dokter Alif. Dengan nada penasaran ia bertanya, “Riana, dia ini…?”
“Dia dokter Alif, Kak. Dosenku dulu,” jawab Riana singkat.
Liliana menatap dokter Alif yang masih berdiri di samping adiknya. Tatapannya sulit disembunyikan, seolah ada kekaguman dalam sorot mata lelaki itu pada Riana. Liliana menggendong bayi di pelukannya, sementara pikirannya mulai dipenuhi rasa kesal. Bagaimanapun, dokter Alif yang kini berusia tiga puluh enam tahun tetap terlihat muda, tampan, berwibawa, dan kharismatik, seolah Tuhan menciptakannya tanpa kekurangan.
Kadang Liliana bertanya dalam hati, kenapa orang-orang seperti ini justru selalu tertarik pada Riana? Kenapa bukan dirinya?
Dulu, kalau saja bukan karena pesonanya yang berhasil merayu Irfan, mungkin lelaki itu pun akan lebih memilih Riana. Jeratnya memang berhasil membawa Irfan ke pelaminan, tapi kini ia menyesal. Jika saja waktu bisa diputar kembali, mungkin lebih baik Irfan menikah dengan Riana, sehingga yang menderita adalah Riana, bukan dirinya yang kini menyandang status janda tanpa harta benda.
Liliana, dengan sedikit tergagap namun berusaha terlihat senatural mungkin, segera mengulurkan tangannya. “Halo, kenalkan… aku Liliana, kakaknya Riana.” Senyum tipis dipaksakan di wajahnya, meski dalam hatinya ada kegelisahan yang sulit ia sembunyikan.
Dokter Alif hanya menoleh sekilas, lalu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda penolakan halus. Senyumannya tetap ramah, tapi jelas menunjukkan batas.
Riana yang melihat itu buru-buru menengahi, khawatir kakaknya tersinggung. “Kak, dokter Alif memang begitu. Jangan salah paham, ya. Beliau selalu menjaga jarak dengan perempuan. Itu sebabnya sampai umur tiga puluh enam tahun masih memilih sendiri.”
“Riana.” Suara dokter Alif terdengar tegas, seperti teguran lembut namun penuh wibawa.
Riana langsung menunduk. “Maaf, Dok…” ucapnya lirih, penuh penyesalan.
Liliana terkekeh kecil, mencoba menutupi rasa kikuk. “Ah, tidak apa-apa. Omong-omong, maaf juga, Dokter, atas keributan barusan. Riana ini memang keras kepala. Dengan suaminya pun sering ribut hanya karena hal-hal sepele.”
Riana menoleh cepat, matanya membesar. “Kak? Kenapa bicara seperti itu?” suaranya meninggi, ada getir yang ditahan di kerongkongan.
“Aku hanya ingin menjaga nama baikmu dan suamimu di depan orang lain,” jawab Liliana datar, tapi matanya berkilat penuh penekanan. “Lagipula, bukankah memang kamu yang salah, Riana?”
Ucapan itu menusuk hati Riana. Ia menggigit bibir, menahan perih yang menyeruak di dadanya. Kata-kata sang kakak kali ini berhasil membuatnya merasa kecil, tak berharga.
Dokter Alif yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya menepuk lembut pundak Riana. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian. Pandangan Alif kemudian beralih pada Liliana, tatapannya tenang namun mengandung makna tajam.
“Tidak apa-apa,” ujarnya dengan suara mantap. “Aku sudah sangat mengenal Riana. Jadi, tidak perlu lagi diperjelas.”
Liliana terdiam, seolah tidak menduga dokter Alif akan menanggapinya sedemikian rupa.
Alif lalu berusaha mencairkan suasana, meski nada suaranya tetap serius. “Kalian ngobrol dulu. Aku ke luar sebentar, beli minum.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Riana dengan sorot mata yang seakan berpesan, kamu tidak sendirian di sini, Riana.
Liliana menatap punggung dokter Alif hingga menghilang dari pandangan. Ada api kecil yang menyala dalam hatinya. Sialan… gerutunya dalam hati, merasa kesal karena sorot mata lelaki itu bukan tertuju padanya.
Riana yang memperhatikan gelagat kakaknya, tak tahan untuk menggoda. “Kak… kakak!” panggilnya pelan.
Liliana tersentak. “Apa?”
“Kakak suka, ya, sama dokter Alif?” ledek Riana dengan senyum tipis, meski matanya masih menyimpan sisa luka dari perkataan kakaknya tadi.
Wajah Liliana menegang, lalu ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Apa sih? Jangan urusin kakak. Sekarang masalahnya kamu dan suamimu.” Suaranya terdengar lebih tajam, seakan ingin menutupi sesuatu.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap serius ke arah Riana. “Kamu sungguh serius mau cerai? Kamu sadar, kan? Dan apa benar Kalau Septian sudah menjatuhkan talak tiga kali...?”
Riana menelan ludah, dadanya masih sesak oleh pertanyaan Liliana barusan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya semakin resah, cara tatapan sang kakak yang sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran, justru seolah menunggu dan menikmati kabar buruk itu.
“Kak…” suara Riana bergetar, matanya menelusuri ekspresi kakaknya. “Kenapa… kenapa aku merasa kamu senang dengan semua ini? Dengan perceraian aku sama Mas Septian…”
Liliana tersentak sejenak, tapi cepat-cepat tersenyum tipis, pura-pura tenang. “Kamu ini gimana sih, Riana? Aku kakakmu. Mana mungkin aku senang lihat rumah tangga adikku hancur?”
“Tapi wajah kakak…,” Riana menahan napas, menatap lebih dalam, “senyummu… matamu… jelas bukan tatapan orang yang prihatin. Justru seperti lega. Kenapa, Kak?”
Liliana terkekeh, kali ini terdengar getir. Ia menggeser Lira di pelukannya, lalu mendekat ke Riana. “Kamu terlalu banyak berpikir. Jangan salahkan orang lain kalau suamimu sendiri sudah tidak bisa bertahan denganmu.”
Riana terdiam, hatinya semakin tercekat. Ia tahu kakaknya pandai menyembunyikan maksud, tapi ada sesuatu dalam intonasi Liliana yang terasa janggal, seakan-akan memang ada kepuasan terselubung.
“Kak…” Riana menahan air matanya, “apa selama ini… kamu berharap aku benar-benar bercerai?”