Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 — Malam Tanpa Kedamaian
Malam pertama Dion Arganata di rumah kayu sederhana Nyonya Siti terasa seperti hukuman yang dirancang oleh takdir. Dia dipaksa tidur di kamar tamu kecil, yang jendelanya menghadap ke sawah, bukan ke panorama kota. Udara yang sejuk dan tenang seharusnya memberikan kedamaian, tetapi pikiran Dion terlalu gaduh.
Ia tidak bisa melupakan kata-kata Arvan pagi itu: “Ayah itu… ada di langit, kata Mama.”
Nalurinya sebagai pria yang rasional dan terbiasa dengan kendali memberontak. Aira telah mengubahnya menjadi hantu, menjadi bintang yang terlalu jauh dan terlalu sibuk. Dion merasa direndahkan, tetapi pada saat yang sama, ia merasakan beban rasa bersalah karena benar-benar tidak hadir.
Di meja makan malam, ketegangan semakin terasa. Nyonya Siti adalah seorang wanita desa yang jujur dan blak-blakan. Ia tidak peduli dengan nama Arganata atau kekayaan. Ia hanya peduli pada putrinya.
“Tuan Dion,” kata Nyonya Siti, saat menyajikan hidangan sederhana tetapi hangat, “Maafkan aku lancang. Tapi aku melihat Aira menderita sejak kau datang.”
Dion meletakkan sendoknya. Ia menatap Nyonya Siti dengan hormat. “Saya mengerti kekhawatiran Anda, Bu. Saya tahu saya menyulitkan Aira.”
“Menyulitkan? Kau membuatnya kurus. Kau membuatnya kehilangan senyumnya,” balas Nyonya Siti, tatapannya tidak goyah. “Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di kota, tetapi Aira bukan wanita yang suka bermain-main. Dia pergi ke sana untuk melunasi utang keluarga. Dia ingin kembali dan membesarkan anak keponakannya ini dengan damai.”
Dion merasakan amarahnya kembali memuncak saat mendengar istilah 'anak keponakan.'
“Dia adalah wanita yang tangguh, Bu,” kata Dion, mencoba mengendalikan emosinya. “Saya menghormati ketangguhannya.”
“Ketangguhan yang rapuh,” desis Nyonya Siti. “Sejak kecil, Aira selalu menyembunyikan rasa sakitnya. Dia akan berpura-pura baik-baik saja, sampai dia jatuh sakit sendiri. Aku melihat bayangan itu lagi. Kau harus jujur pada putriku, Tuan. Apa yang kau inginkan dari dia, selain melunasi utang?”
Dion tidak bisa menjawab. Ia ingin mengatakan bahwa ia menginginkan Aira, ia menginginkan putra mereka, dan ia ingin semua kebohongan berakhir. Tetapi ia tidak bisa menghancurkan hati Ibu Aira.
“Saya menginginkan masa depan yang stabil bagi kami berdua, Bu,” kata Dion, sebuah kebohongan yang terdengar seperti janji.
Nyonya Siti hanya menggeleng. “Cinta yang stabil tidak membuat wanita menangis. Sekarang, kau makan yang banyak. Jangan sentuh Aira jika kau tidak bisa membuatnya bahagia.”
Dion terdiam. Ia merasa dipermalukan oleh wanita yang tidak memiliki apa-apa selain moral yang kuat.
Setelah makan malam, Dion memutuskan untuk menjauhkan diri. Ia menemukan sebatang rokok di sakunya—kebiasaan lama yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu, tetapi kini terasa dibutuhkan.
Ia berjalan ke belakang rumah, di bawah pohon beringin tua. Ia menyalakan rokok itu, menghirup asapnya, membiarkan pikirannya kacau.
Saat itulah ia melihatnya.
Di sudut halaman, ada sebuah tungku kecil, tempat Nyonya Siti biasa merebus air. Aira ada di sana, di bawah cahaya bulan yang redup, duduk di bangku kayu sambil memegang sebuah buku tua yang usang.
Aira tidak tahu Dion melihatnya.
Dion mendekat perlahan, langkah kakinya teredam oleh rumput.
Aira sedang membaca buku itu. Itu bukan buku novel, bukan buku pelajaran, melainkan sebuah jurnal.
Dion berdiri di belakang Aira, cukup dekat untuk mendengar suaranya yang berbisik. Aira tidak membaca, tetapi ia berbicara pada jurnal itu, seolah-olah itu adalah satu-satunya teman yang bisa ia percaya.
“Hari ini, Arvan terlihat lebih baik, Sayang,” bisik Aira, suaranya dipenuhi kelembutan yang menyakitkan. “Udara di sini membuatnya pulih. Aku berharap Ayah bisa melihatnya.”
Aira berhenti sejenak, mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Aku tahu, aku berbohong padanya tentang Ayah yang menjadi bintang. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia tahu kebenaman yang sesungguhnya. Aku tidak bisa membiarkan dia tahu bahwa Ayahnya, pria yang seharusnya menjadi pahlawannya, adalah pria yang menghukum Ibunya setiap hari.”
“Aku merindukanmu. Aku merindukan dirimu yang kukenal malam itu. Pria yang tulus, pria yang membuatku berani mengambil risiko. Aku berharap Arvan bisa melihat Ayahnya yang seperti itu, bukan monster yang datang dan mengklaim hidup kami.”
Dion merasakan lututnya lemas. Ia tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak.
Aira tidak berbicara tentang dirinya. Dia berbicara tentang Dion. Dia berbicara kepada ilusi Dion yang ia ciptakan setelah malam itu. Dia berbicara kepada pria yang ia cintai.
Dion menyadari bahwa Aira tidak membenci Dion. Dia membenci tiran yang menggantikan pria yang ia temui malam itu.
Aira membuka jurnal itu. Dion melihat sebuah foto kecil yang diselipkan di halaman itu. Itu adalah foto Dion, foto yang sama yang Arvan sebut sebagai ‘Ayah yang tampan.’
Aira mencium foto itu dengan lembut.
“Aku tahu aku harus melepaskanmu,” bisik Aira. “Aku tahu aku harus menghadapi Dion yang sekarang. Tapi aku tidak ingin kehilangan bagian darimu yang tulus, bagian yang menjadi Ayah dari Arvan.”
Dion menutup matanya. Pengakuan ini, yang tidak ditujukan padanya, adalah pukulan yang menghancurkan. Aira mencintainya. Dia menangis karena kehilangannya, bukan karena penyesalan. Dia mempertaruhkan segalanya karena cintanya yang tulus, bukan karena skema uang.
Dion, yang selalu bangga dengan kendalinya, kini merasa benar-benar tak berdaya. Amarahnya menghilang, digantikan oleh kesadaran yang sangat menyakitkan.
Ia telah menghukum wanita yang mencintainya. Ia telah menghukum Ibu dari putranya. Ia telah menghukum mereka karena kebodohannya sendiri.
Dion kembali ke tempatnya. Ia membuang rokoknya yang belum habis. Ia tidak bisa lagi lari dari kebenaran.
Keesokan paginya, Arvan bangun dengan sepenuhnya pulih. Ia berlarian di halaman, tertawa bahagia. Dion melihatnya, senyumnya kini terlihat lebih tulus.
Aira menatap Dion, ekspresi Dion berbeda. Ada kelembutan yang menyelimutinya, sebuah penyesalan yang terlihat jelas di matanya.
“Dia pulih,” kata Dion, suaranya tenang. “Kau benar. Lingkungan ini membuatnya sembuh.”
“Terima kasih sudah mengizinkan kami,” balas Aira, masih menjaga jarak.
Dion berjalan mendekat, kini di tengah halaman, di bawah sinar matahari pagi.
“Tidak ada lagi ‘Tuan Dion,’” kata Dion, matanya menatap Aira. “Aku adalah Ayah Arvan. Dan aku adalah suamimu, Aira. Nama panggilanku adalah Dion.”
Aira menatapnya, tidak percaya. Ini adalah pertama kalinya Dion secara sukarela melepaskan gelarnya.
“Aku ingin… kita kembali. Tapi dengan syarat baru,” kata Dion. “Aku akan memberimu kebebasan di rumah itu. Kau bisa bekerja, kau bisa mengurus Arvan. Tapi kau tidak akan lari. Dan kau akan mengajariku. Kau akan mengajariku bagaimana menjadi Ayah yang kau ceritakan kepada Arvan.”
Dion mengulurkan tangannya. “Mulai sekarang, ini bukan kontrak pemerasan. Ini adalah perjanjian untuk membesarkan putra kita. Dan untuk menebus kesalahanku.”
Aira menatap tangan Dion. Tangan itu adalah tangan yang sama yang menghukumnya, tetapi juga tangan yang sama yang merawat lukanya.
“Aku tidak bisa mempercayai Anda, Dion,” bisik Aira.
“Aku tahu,” balas Dion. “Tapi kau harus mencoba. Demi Arvan. Aku tidak akan menjadi bintang yang sibuk lagi. Aku akan menjadi Ayahnya.”
Aira, yang melihat ketulusan di mata Dion, mengambil risiko terbesar dalam hidupnya. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Dion.
“Baik,” kata Aira, air matanya kini adalah air mata harapan yang rapuh. “Tapi jika Anda melanggar janji ini, saya akan mengambil Arvan dan lari ke tempat yang tidak akan pernah Anda temukan.”
Dion mengangguk. “Aku berjanji.”
Itu adalah perjanjian baru, perjanjian yang lahir dari cinta yang tersembunyi, di bawah atap sederhana yang menjadi saksi penderitaan Aira.
semoga cepet up lagi