Mahesa Sura yang telah menunggu puluhan tahun untuk membalas dendam, dengan cepat mengayunkan pedang nya ke leher Kebo Panoleh. Dendam kesumat puluhan tahun yang ia simpan puluhan tahun akhirnya terselesaikan dengan terpenggalnya kepala Kebo Panoleh, kepala gerombolan perampok yang sangat meresahkan wilayah Keling.
Sebagai pendekar yang dibesarkan oleh beberapa dedengkot golongan hitam, Mahesa Sura menguasai kemampuan beladiri tinggi. Karena hal itu pula, perangai Mahesa Sura benar-benar buas dan sadis. Ia tak segan-segan menghabisi musuh yang ia anggap membahayakan keselamatan orang banyak.
Berbekal sepucuk nawala dan secarik kain merah bersulam benang emas, Mahesa Sura berpetualang mencari keberadaan orang tuanya ditemani oleh Tunggak yang setia mengikutinya. Berbagai permasalahan menghadang langkah Mahesa Sura, termasuk masalah cinta Rara Larasati putri dari Bhre Lodaya.
Bagaimana kisah Mahesa Sura menemukan keberadaan orang tuanya sekaligus membalas dendamnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Lodaya ( bagian 2 )
"Iya!! Aku akan menghancurkan tubuh mu sampai berkeping-keping, anjing Singhawardhana!!", balas Dipati Kalang penuh kebencian.
Awal mulanya, Dipati Kalang selaku penguasa daerah Kalang yang ada di barat Kerajaan Lodaya merupakan punggawa setia kerajaan ini. Tetapi ada satu kejadian yang membuatnya berubah haluan.
Putri sulung Dipati, Rara Pujiwati, kondang sebagai kembang tercantik di wilayah Kadipaten Kalang. Kecantikan nya tersohor hingga ke seantero Kerajaan Lodaya bahkan ke negeri negeri bawahan Majapahit di sekitarnya seperti Wengker dan Keling.
Berita ini juga sampai di telinga Raden Wiratsangka, putra sulung Bhre Lodaya yang juga memiliki paras rupawan. Lewat perantara Demang Ngrawa, mereka akhirnya bertemu dan saling jatuh cinta. Tetapi takdir berkata lain. Raden Wiratsangka di bunuh oleh Bayugeni, paman Rara Pujiwati yang juga adik Dipati Kalang karena salah sangka dengan mengira Raden Wiratsangka akan berbuat tidak senonoh pada putri Dipati Kalang itu.
Akibat perbuatan ceroboh Bayugeni, Bhre Lodaya marah besar dan langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Bayugeni maupun Rara Pujiwati karena dianggap sebagai biang keladi terbunuhnya Raden Wiratsangka. Mereka berdua dihukum gantung di alun-alun Lodaya dan mayatnya di biarkan tergantung beberapa hari disana sebagai contoh dari akibat dari perbuatan mereka.
Hal ini menyebabkan Dipati Kalang menaruh dendam pada Singhawardhana sang Bhre Lodaya. Ketika melihat Singhakerta mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah Lodaya, Dipati Kalang melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk membalas dendam.
Dia kemudian mendekati Singhakerta dan meracuni pikiran Singhakerta untuk memberontak melawan kekuasaan kakak kandung nya sendiri. Dia juga mengundang ratusan pendekar juga beberapa kepala begal atau rampok untuk bergabung dengan gerakan ini. Diantara para pendekar yang bergabung dalam kelompok pemberontak ini adalah Lowo Ijo dan Nyai Rampet. Bergabungnya mereka dalam kelompok ini jelas menjadi kekuatan tersendiri bagi upaya pemberontakan Singhakerta.
Hal ini juga dapat terwujud karena Dipati Kalang yang memiliki nama lain Lembu Pekik adalah bekas pendekar yang memiliki hubungan baik dengan beberapa kelompok pendekar baik dari golongan hitam maupun putih.
Berkat dukungan dari Dipati Kalang, pasukan pemberontak Singhakerta berhasil menguasai wilayah barat Lodaya mulai dari Kalang, Tanggulangin, Ngrawa hingga ke Simping. Daerah daerah yang dilalui oleh pasukan pemberontak Singhakerta ini ada yang melawan meskipun akhirnya harus takluk kepada mereka.
Baru saat hendak memasuki timur wilayah Simping saja, pasukan Lodaya membuat pertahanan kuat yang memaksa mereka untuk bertahan dan merubah taktik perang. Lewat Dipati Kalang, para pendekar di selundupkan ke wilayah sekitar Kotaraja Lodaya untuk melemahkan kekuatan tempur mereka. Usaha ini nyaris berhasil melemahkan kekuatan Lodaya tetapi sesuatu yang tidak terduga membuat kekuatan pasukan pemberontak Singhakerta kacau balau.
Dan di saat kekacauan ini sampai pada puncaknya, pasukan Lodaya datang menyerbu mereka seolah-olah tahu bahwa pasukan pemberontak Singhakerta sedang dalam masalah. Tentu saja Dipati Kalang sangat marah dengan kemunculan pasukan Lodaya dan mengamuk sejadi-jadinya.
"Sombong kau Dipati Kalang! Yang akan mati hari ini masih belum jelas jadi jangan besar kepala lebih dulu! "
Sembari berteriak lantang demikian, Tumenggung Dandang Pengaron menyilangkan kedua tangan di depan dada. Cahaya hijau kebiruan berhawa panas langsung muncul seiring dengan berakhirnya mantra yang dirapal oleh perwira tinggi prajurit Lodaya itu.
"Ajian Panglebur Gangsa?!! Phuiiihhhh..!!
Ayo kita buktikan Tumenggung Dandang Pengaron, ajian mu atau ilmu kanuragan ku yang lebih hebat?!"
Dipati Kalang melompat ke arah Tumenggung Dandang Pengaron sembari menghantamkan kepalan tangannya yang diliputi oleh cahaya kuning berhawa panas.
Whhhuuuuuuugggghhhh!!
Melihat kedatangan serangan musuh, Tumenggung Dandang Pengaron langsung memapak nya dengan tapak tangan kanan nya yang juga di lapisi oleh cahaya hijau kebiruan. Dan...
Blllllaaaaaaaaaaaaammmmmm!!!!!
Tubuh Tumenggung Dandang Pengaron mencelat jauh ke belakang saat kedua ilmu kanuragan tingkat tinggi ini beradu. Tubuhnya menghujam tanah dengan keras. Mulutnya langsung memuntahkan darah segar.
Di lain sisi, Dipati Kalang juga tersurut mundur beberapa langkah ke belakang. Meskipun seteguk darah keluar, keadaan tubuhnya masih jauh lebih baik dari Tumenggung Dandang Pengaron.
Melihat keadaan Tumenggung Dandang Pengaron yang lebih buruk, Dipati Kalang menyeringai lebar.
"Ternyata, kesaktian mu tidak lebih besar daripada bualan mu Tumenggung Dandang Pengaron! Kali ini, aku pasti akan mencabut nyawa mu!! Bersiaplah untuk mati! "
Setelah berkata demikian, Dipati Kalang langsung merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Rupa-rupanya ia ingin menggunakan Ajian Panglebur Gangsa nya sekali lagi.
Sementara itu, dengan sempoyongan Tumenggung Dandang Pengaron berusaha untuk bangkit kembali dan mempersiapkan diri menghadapi serangan dari musuh. Dia sekuat tenaga berjuang mengumpulkan seluruh tenaga dalam yang ia miliki untuk bertahan.
"Matilah kau, Tumenggung Dandang Pengaron!!! ", teriak Dipati Kalang sambil menghantamkan tapak tangan kanan yang dilambari Ajian Panglebur Gangsa.
Whhhuuuuuuugggghhhh!
Tak punya pilihan lain kecuali bertahan, Tumenggung Dandang Pengaron memapak serangan maut itu dengan kedua tangannya. Dia sudah tidak mempedulikan lagi keselamatan nya. Jika mati pun hari ini, ia rela untuk melakukan nya karena jiwa ksatria nya.
Dan...
Dhhhuuuuuuaaaaaaarrrr....!!!!
Ledakan dahsyat menggema hingga jauh. Debu dan asap beterbangan ke sekeliling membuat pandangan mata tak bisa melihat keadaan dengan jelas sementara waktu. Saat angin berhembus dan mengusir asap dan debu yang beterbangan, sebuah pemandangan mengerikan pun terlihat.
Tumenggung Dandang Pengaron masih berdiri tegak dengan kedua tangan membentuk pertahanan sedangkan Dipati Kalang terkapar bersimbah darah dengan tangan kanan hancur. Ini benar-benar di luar perkiraan. Bahkan Tumenggung Dandang Pengaron pun seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang ini.
"I-ini sungguh ajaib. Dewa pasti telah menyelamatkan ku. Terimakasih Dewa.. ", ucap Tumenggung Dandang Pengaron penuh haru.
" Aku tidak perlu menjadi dewa untuk menyelamatkan hidup mu, Tumenggung..! "
Suara berat dan dingin itu sontak membuat Tumenggung Dandang Pengaron perlahan menoleh ke belakang dan melihat tangan kanan seseorang yang sangat ia kenal sedang berdiri di belakang, sedang memegang punggungnya. Ya, dia adalah Mahesa Sura.
Ya, di saat kritis tadi Mahesa Sura yang sedang berupaya mengurangi kekuatan musuh dengan membantai beberapa orang pendekar pendukung Singhakerta, melihat Tumenggung Dandang Pengaron sedang dalam bahaya. Dia langsung melesat ke belakang Tumenggung Dandang Pengaron dan menyalurkan tenaga dalam nya. Hal ini membuat jumlah tenaga dalam Tumenggung Dandang Pengaron meningkat puluhan kali lipat diatas milik Dipati Kalang yang membuat Ajian Panglebur Gangsa nya mental dan menghancurkan tangan kanan penguasa daerah Kalang itu.
"Pendekar Mahesa Sura, terimakasih atas bantuan mu.. ", ucap Tumenggung Dandang Pengaron penuh hormat.
" Jangan buru-buru mengucapkan terima kasih. Bajingan tua itu belum mati ", Mahesa Sura menunjuk ke arah Dipati Kalang yang sekarat dengan nafas tersengal-sengal. Tumenggung Dandang Pengaron pun segera menatap tajam ke arah orang tua itu.
" Ingatlah untuk menghabisi nya. Hukuman yang tepat untuk pemberontak adalah hukuman mati".
Setelah berkata demikian, Mahesa Sura langsung melesat ke arah pertarungan seru yang ada di sebelah timur. Meninggalkan Tumenggung Dandang Pengaron yang segera mengambil sebuah pedang milik Dipati Kalang yang tergeletak di dekatnya.
"Orang baik selalu mendapatkan jalan yang baik pula. Pemberontak seperti mu hanya layak untuk di bunuh!! ", teriak Tumenggung Dandang Pengaron sambil menebas leher Dipati Kalang.
Chhrrrraaaaaaaassshhhhh!!!
Kepala Dipati Kalang langsung menggelinding ke tanah dalam satu kali tebasan. Usai menghabisi nyawa salah satu petinggi pasukan pemberontak Singhakerta itu, Tumenggung Dandang Pengaron mengusap sisa darah di sudut mulut nya dan menghamburkan diri ke peperangan yang tengah berkecamuk dengan sengit.
Mahesa Sura menggenjot pergerakannya ke arah pertarungan yang sengit. Suara-suara perempuan di sertai dentingan senjata tajam beradu terdengar saling bersahut-sahutan dari pertarungan itu.
Shhhrrriiiiinnggg shhhrrriiiiinnggg shhhrrriiiiinnggg!
Thhrraaannggg thhrraaannggg..!!!
Senopati Banyak Kulawu mengatur nafasnya yang memburu usai menangkis serangan senjata rahasia dari beberapa perempuan yang mengeroyok nya. Jika satu lawan satu, ia sudah pasti bisa menjatuhkan musuh. Tetapi jika dikeroyok begini, sungguh sangat merepotkan.
Seorang perempuan muda berbaju hijau muda kembali merogoh balik bajunya dan mengeluarkannya beberapa senjata rahasia berupa beberapa jarum sebesar lidi. Dia menoleh ke arah beberapa perempuan lain yang mengepung Senopati Banyak Kulawu yang terlihat juga melakukan hal yang sama.
Di sisi lainnya, Singhakerta nampak tak sabar menunggu keberhasilan para perempuan muda itu menghabisi nyawa pimpinan tertinggi pasukan Lodaya itu. Dengan lantang ia berteriak,
"Cepat habisi bajingan itu!!! "
Bukan lagi menunggu waktu berbuka 🤭
Mugi urang sadaya dipaparin kasalametan dunya sareng akherat, kabarokahan rizki sareng yuswana.
Aamiin. Yaa Robbal Aalamiin.. 🤲🏽🙏🌹💐