"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dicurangi
Davin tersenyum tipis saat langkahnya menembus kerumunan siswi-siswi.
Beberapa di antaranya bersiul, ada yang menepuk punggungnya.
Davin mencoba tetap tenang. Namun, hatinya tetap merasa panas. Ia tahu Leora pergi ke tempat lain bersama Rey, dan setiap sorotan membuatnya merasa… sedikit tersisih.
“Davin! Semangat ya!” teriak salah seorang siswi.
Davin mengangguk, menepuk punggungnya sebentar sebagai balasan, lalu perlahan membebaskan dirinya dari kerumunan itu.
Begitu sampai di aula, suasana sedikit lebih tenang. Timnya sudah berkumpul, Coach berdiri di depan meja, memperhatikan mereka dengan serius.
Meja panjang penuh sarapan ringan yang sudah disiapkan oleh OSIS terlihat mengundang.
“Davin,” panggil Coach dengan nada tegas, “Ayo, fokus. Tim kita sudah menunggu. Semua persiapan harus maksimal. Jangan sampai ada yang lengah.”
Davin mengangguk. Tubuhnya masih terasa nyeri, tapi ia menelan rasa sakit itu.
Sejenak, ia mendengar suara sorak sorai dari luar. Ketakutan mulai menggerogoti dirinya.
“Sarapan dulu, ya,” ucap salah satu teman tim. “Kita butuh energi buat babak final.”
Davin mengangguk lagi, perlahan memakan roti sambil menahan rasa nyeri di tubuhnya.
Lalu, coach berdiri dengan arahannya.
“Tim, dengarkan!” kata Coach dengan suara tegas. “Ini final. Kalian sudah sampai titik ini karena kerja keras. Jangan sia-siakan. Fokus, percaya pada kemampuan kalian, dan jangan terpancing emosi lawan. Davin, kamu akan memimpin serangan. Perhatikan ritme lawan, jangan terburu-buru.”
Davin mengangguk pelan.
Sementara itu, beberapa siswi yang mengerubungi Davin tadi masih mengintip dari pintu aula. Mereka bersorak lembut, memberi dukungan.
Satu per satu tim mulai melakukan pemanasan ringan. Davin bergerak perlahan.
“Lo baik-baik aja kan, Vin?” tanya salah satu dari mereka.
Davin mengangguk singkat. “Ya. Santai. Tinggal main aja.”
Coach kemudian membagi strategi terakhir. Mereka menempelkan catatan kecil di papan tulis.
“Tim, ingat,” Coach menambahkan, “lawan kalian kuat. Tapi kalian akan lebih kuat kalo tetap kerja sama solid. Fokus pada permainan, bukan pada gangguan luar.”
Davin menelan saliva. Kata-kata Coach seakan menguatkannya, dari berbagai hal yang sedang mengganggu pikirannya.
Tak lama kemudian, alarm tanda pertandingan dimulai berbunyi. Semua orang berbaris, tim lawan mulai memasuki aula. Suasana mendadak tegang.
Davin mengangkat bahu, mengatur posisi, dan menatap rekan satu timnya.
Ia menutup mata sebentar, membayangkan setiap gerakan, dan setiap taktik yang Coach ajarkan.
Peluit panjang terdengar. Babak final baru saja dimulai.
Selagi Davin menyiapkan dirinya.
Leora dan Rey duduk berdampingan di tribun penonton, posisi mereka cukup dekat sehingga semua teman Leora melihat dan bergumam pelan.
"Mereka romantis banget"
"Iya. Serasi juga."
"Couple goals banget, serius."
Rey terlihat lembut menatap Leora sesekali, menepuk tangan saat tim lawan melakukan kesalahan, bahkan sesekali menyentuh kening Leora seakan memastikan ia nyaman.
Ada aura romantis di sekitar mereka, yang membuat sebagian besar penonton, khususnya teman-teman Leora berdecak kagum.
Leora tersenyum, tapi matanya tetap tertuju pada lapangan.
Di lapangan, Davin berdiri di posisi awal. Tubuhnya masih kesakitan, dan setiap gerakan membuat nyeri menjalar ke lengannya.
Skor pertama dicetak Davin dengan apik. Langkahnya presisi, meski tangan kanannya terasa kaku. Setiap kali ia bergerak, rekan satu timnya mengikuti ritme, dan lawan tampak kewalahan.
Satu poin, dua poin, tiga poin—sorak penonton terdengar, meski Leora tetap menatap dengan hati sedikit berat karena melihat Rey tersenyum di dekatnya.
Davin menatap sekilas ke arah tribun.
Ia tahu—meski Leora duduk di sisi Rey, ia akan selalu menjadi miliknya. Pemikiran itu memberinya energi, membuat nyerinya sedikit terabaikan.
Namun, keadaan mendadak berubah. Salah satu pemain lawan, yang tampaknya menyimpan dendam dari babak sebelumnya, melakukan gerakan curang saat serangan Davin.
Tangan kanannya ditarik secara paksa saat ia sedang menembak—Davin menjerit pelan, rasa nyeri menyebar hingga pergelangan dan lengan atasnya.
Beberapa penonton kecewa dengan tim lawan. Mereka berteriak menyuarakan keadilan.
"Woy curang!"
"Davin gue, lo giniin hah?!"
"Daviiinnnnn, ayo bangkit!"
Kalimat kalimat itu muncul bersamaan dengan rasa nyeri yang datang.
Kemudian peluit panjang berbunyi mendadak. Wasit menghentikan pertandingan sementara.
Rekan satu tim berlari menghampiri, beberapa guru dan petugas medis masuk ke lapangan.
Leora terkejut, matanya membesar melihat Davin terkulai. Rey di sampingnya juga menoleh, tampak puas.
“Tenang aja, sayang,” suara Rey lembut. “Semua rencanaku akan berjalan sesuai yang aku mau.”
Leora tersenyum getir, “Rencanamu… beneran selalu berhasil ya?” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri daripada untuk Rey.
Dalam hati ia merasa campur aduk. Bingung, marah, sekaligus tak bisa menahan kekaguman terselubung terhadap kecerdikan dan ambisi Rey.
Rey menepuk tangan Leora ringan, “Aku nggak akan kasih kesempatan satu pun untuk musuh. Kamu tahu kan aku nggak pernah main-main.”
Leora mengangguk, tapi senyumnya tetap getir. Ia tahu persis seperti apa Rey. Dan sekarang… lawan yang dimaksud adalah Davin.
Pandangan Leora tidak bisa lepas dari Davin. Ia melihat Davin menahan sakit, mencetak poin demi poin, dan bertahan meski tangan kanannya terkilir.
Sebuah rasa kagum bercampur bersalah menekan dadanya. Ia ingin memeluknya, menenangkan, tapi Rey ada di sisinya,
"Loeora?" tanya Rey, curiga.
"Hah–iya?"
"Kamu baik baik aja kan?" sambung Rey, seraya menempelkan telapak tangan lada kening kekasihnya.
"Kamu apaan sih. Berlebihan banget."
Rey merangkul kekasihnya itu, lalu kembali menatap ke lapangan, tempat dimana Davin beserta timnya sedang kalang kabut.
Coach berteriak "Davin. Kamu gak usah maksain diri. Kalau gak kuat, saya bisa tarik kamu sekarang." ucapnya memberikan arahan.
Davin melambaikan tangan, tanda ia masih bisa bertanding melawan tim musuh dengan segala keluhannya.
"Astaga. Anak itu memang lain" kata Coach, bingung namun juga kagum.
Sorak penonton kembali pecah saat pertandingan dilanjutkan. Davin memaksa dirinya berdiri di garis tengah.
Lawan semakin agresif.
Setiap kali Davin memegang bola, dua pemain langsung menutupnya.
Satu serangan cepat.
Davin melompat… tangan kanannya bergetar… namun ia tetap melepaskan tembakan.
Masuk.
Aula bergemuruh.
Namun momen berikutnya berubah mendadak.
Pemain lawan mendorongnya dari samping dengan keras.
Tubuh Davin terpelanting dan menghantam lantai. Benturan kali ini jauh lebih buruk. Nafasnya tersendat. Tangannya refleks memegang bahu kanannya yang nyeri hebat.
Penonton menjerit.
“WOY!! MAIN YANG BENER!!”
“WASIT!! ITU PELANGGARAN BERAT!!”
Coach langsung berlari. Petugas medis ikut datang. Teman-teman tim mengelilingi Davin.
“Davin!” suara Coach menegang. “Stop. Kamu keluar. Ini perintah.”
Davin mencoba bangkit dengan lutut yang gemetar.
“A… aku masih bisa—”
Bahu kanannya kembali menusuk sakit. Pandangannya berkunang.
Coach menahan bahunya.
“Cukup. Kamu akan semakin parah.”
Davin terdiam… giginya terkatup.
Penonton mulai gaduh. Beberapa siswi menangis. Aula berubah panas, teriakan saling tumpang-tindih.
Salah satu pemain lawan masih tertawa kecil.
Suasana langsung meledak.
Salah satu tim Davin mendorongnya. Keributan kecil pecah di tengah lapangan.
“JANGAN SENGAJA CEDERAIN ORANG!”
Petugas keamanan masuk memisahkan.
Wasit meniup peluit panjang, pertandingan ditunda sementara.
Rey tersenyum tipis dari tribun. Sementara Leora menegang.
Davin akhirnya terduduk di tandu, lalu Coach memberi isyarat ke tim.
“Tarik Davin keluar.”
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?