Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: BIDAK YANG MULAI BERGERAK
Salju di Zurich mulai mencair, menyisakan kerikil-kerikil tajam di jalanan setapak mansion, seolah menandakan bahwa musim kelembutan telah berakhir dan musim pembalasan telah tiba. Di dalam ruang kendali utama yang berada di bawah perpustakaan, Luna berdiri di depan meja digital yang menampilkan peta jaringan bisnis keluarga Dirgantara dan Sanjaya.
Wajahnya kini tidak lagi pucat karena kurang gizi; kulitnya bercahaya sehat, matanya tajam dan fokus. Ia mengenakan setelan blazer hitam yang pas badan, memberikan kesan otoritas yang kuat. Di belakangnya, Xavier berdiri seperti pilar batu, mengamati setiap gerakan jari Luna di atas layar.
"Ingat prinsip pertama yang Madam ajarkan," suara Xavier memecah keheningan yang dingin. "Jangan menebang pohonnya jika kamu bisa meracuni akarnya. Jika kamu meracuni akarnya, pohon itu akan mati dengan sendirinya tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga."
Luna tersenyum tipis. Jari telunjuknya mengetuk logo perusahaan logistik milik ayah Reihan. "Akar keluarga Dirgantara adalah kontrak pengiriman eksklusif dengan pemerintah untuk pembangunan dermaga di Kalimantan. Jika kontrak itu dibatalkan karena masalah integritas, seluruh pinjaman bank mereka akan segera jatuh tempo. Mereka tidak akan punya uang tunai bahkan untuk membayar tagihan listrik rumah mereka."
"Dan bagaimana cara kamu melakukannya tanpa melibatkan nama Seraphine?" tanya Xavier menguji.
"Aku sudah meretas sistem internal Kevin dua hari lalu. Dia masih menggunakan backdoor yang sama sejak SMA," Luna menjelaskan dengan nada datar, seolah meretas adalah hal yang biasa baginya. "Aku menemukan bukti percakapan Reihan yang menyuap oknum dinas terkait untuk meloloskan tender itu. Aku hanya perlu mengirimkan bukti ini secara anonim ke badan pengawas melalui jaringan VPN yang terlacak di alamat kantor pesaing bisnis mereka. Biarkan mereka saling gigit, sementara kita menonton dari sini."
Xavier menatap profil samping wajah Luna. Ada rasa bangga yang bercampur dengan kengerian kecil. Luna belajar terlalu cepat. Ia bukan lagi gadis yang menangis saat disiram air kotor; ia adalah arsitek kehancuran bagi siapa pun yang pernah menghinanya.
Di Jakarta, suasana di kediaman Dirgantara sedang kacau. Reihan duduk di tepi kolam renang yang airnya sudah mulai menghijau karena tidak dirawat. Ia memegang ponselnya dengan tangan yang masih gemetar.
"Vin! Kenapa sistemnya bisa jebol?!" teriak Reihan ke arah telepon.
"Gue nggak tahu, Rei! Ada seseorang yang masuk ke arsip rahasia gue. Data suap dermaga Kalimantan... semuanya bocor! Tadi pagi Papa lo dipanggil ke Kejaksaan!" suara Kevin terdengar sangat panik dari seberang sana.
"Sialan! Pasti si Xavier! Cuma dia yang sanggup lakuin ini!"
"Tapi Xavier nggak ada kabar, Rei! Luna juga hilang! Mereka seolah-olah lenyap dari muka bumi!"
Reihan membanting ponselnya ke lantai hingga retak. Ia merasa seperti sedang dikejar oleh hantu yang tidak terlihat. Sejak Luna pergi, kesialan terus menghampiri keluarganya. Maya sudah berhenti menghubunginya setelah rumah ibunya disita. Selin bahkan dikabarkan sudah pindah ke desa terpencil untuk menghindari penagih utang.
Tiba-tiba, gerbang rumahnya digedor dengan keras. Beberapa pria berseragam petugas pengadilan masuk dengan membawa surat sita.
"Tuan Reihan Dirgantara? Kami memiliki perintah untuk menyita aset properti ini sebagai jaminan hutang macet perusahaan Dirgantara Group," ucap salah satu petugas.
Reihan berdiri mematung. Pangeran sekolah yang dulunya bisa membeli apa saja kini dipaksa keluar dari rumahnya sendiri hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Ia melihat ke arah jalanan, dan di sana, sebuah mobil hitam lewat dengan perlahan. Di dalamnya, seorang pria dengan kacamata hitam—detektif suruhan Valerie—sedang memotret momen kehancuran Reihan untuk dilaporkan ke Zurich.
Kembali ke Zurich, Madam masuk ke ruang kendali saat Luna baru saja selesai mengirimkan paket data anonim tersebut.
"Kerja bagus, Aluna," ucap Madam. Suara ketukan tongkat peraknya bergema di ruangan. "Kamu baru saja mencabut satu pilar dari rumah Dirgantara. Tapi jangan terlalu lama menikmati kemenangan kecil ini. Valerie sudah tahu lokasimu di Swiss."
Luna menoleh. "Apa dia sudah tahu siapa aku sebenarnya?"
"Belum. Dia hanya tahu ada 'Nona Muda' yang sedang disembunyikan di sini. Dia mengira kamu adalah anak haram atau kerabat jauh yang akan mengambil bagian warisannya," Madam Celine menyesap tehnya. "Dia sudah mengirim tim ke Zurich untuk menculikmu atau setidaknya memotret wajahmu untuk dikonfirmasi."
Xavier langsung waspada. Tangannya secara refleks menyentuh senjata yang tersembunyi di balik pinggangnya. "Madam, saya akan memperketat pengamanan."
"Tidak perlu, Xavier," potong Madam. "Biarkan mereka masuk. Aluna perlu ujian lapangan pertamanya. Jika dia bisa menangani tim elit Valerie, maka dia akan siap menghadapi seluruh sekolah nanti."
Luna menatap Madam dengan berani. "Apa yang Madam ingin aku lakukan?"
"Tunjukkan pada mereka bahwa Seraphine bukan hanya sekadar nama belakang. Tunjukkan bahwa kamu adalah predator yang lebih haus darah daripada mereka," Madam Celine tersenyum dingin. "Besok malam ada acara lelang amal di Hotel Dolder Grand. Valerie akan ada di sana. Kamu akan hadir sebagai tamu anonim dengan topeng. Itu adalah pertemuan pertamamu dengan musuh terbesarmu."
Malam lelang di Hotel Dolder Grand adalah panggung kemewahan yang sangat kontras dengan kemiskinan masa lalu Luna. Ruangan itu dipenuhi dengan kilauan berlian dan aroma parfum mahal yang masing-masing seharga satu rumah kontrakan di Jakarta.
Luna melangkah masuk dengan gaun sutra berwarna midnight blue yang menjuntai indah. Wajahnya tertutup separuh oleh topeng venetian berwarna perak yang elegan. Xavier berjalan di belakangnya, mengenakan tuxedo hitam sempurna, tampak seperti pengawal pribadi yang sangat berbahaya sekaligus menawan.
Di tengah ruangan, Luna melihatnya.
Valerie Seraphine.
Gadis itu berdiri di tengah kerumunan, memegang gelas sampanye dengan keanggunan seorang ratu. Rambut pirang platinumnya bersinar di bawah lampu kristal. Ia dikerumuni oleh para pebisnis Eropa yang ingin menjilat kekuasaan keluarga Seraphine.
"Itu dia," bisik Xavier di telinga Luna. "Hati-hati, dia memiliki insting yang sangat tajam."
Luna berjalan dengan tenang melewati Valerie. Saat mereka berpapasan, Luna sengaja menjatuhkan sebuah sapu tangan sutra kecil sapu tangan putih yang sama yang dulu diberikan Xavier kepadanya saat ia menangis di bawah pohon beringin.
Valerie secara refleks memungutnya. Ia melihat inisial 'S' yang disulam dengan benang emas di sudut sapu tangan itu.
"Tunggu, Nona," panggil Valerie dengan bahasa Prancis yang sempurna.
Luna berhenti dan menoleh perlahan. Ia tidak bicara. Ia hanya menatap mata Valerie dari balik topengnya.
"Sapu tangan ini milikmu?" tanya Valerie. Matanya menyipit, mencoba menembus rahasia di balik topeng Luna. Ia merasakan aura yang sangat kuat dari gadis ini, aura yang terasa sangat akrab sekaligus sangat mengancam.
Luna mengangguk singkat, mengambil sapu tangan itu dari tangan Valerie tanpa sepatah kata pun. Sentuhan jari mereka menciptakan ketegangan sesaat. Valerie merasakan tangan Luna sangat halus namun kokoh, bukan tangan seorang bangsawan yang dimanjakan sejak lahir, melainkan tangan seseorang yang telah melalui tempaan.
"Siapa kamu? Aku tidak pernah melihatmu di lingkaran ini sebelumnya," desak Valerie.
Luna akhirnya bersuara, menggunakan aksen yang sangat anggun dan suara yang dalam. "Aku adalah seseorang yang seharusnya sudah lama kamu temui, Valerie. Nikmati malammu, karena kursi di samping Madam tidak akan kosong lebih lama lagi."
Sebelum Valerie sempat merespons, Luna sudah menghilang di balik kerumunan bersama Xavier.
Valerie berdiri mematung di tengah aula. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera memanggil detektif pribadinya lewat earpiece.
"Cari tahu siapa gadis bermasker perak itu! Sekarang! Dan pastikan semua rekaman CCTV hotel ini diambil sebelum pihak lain menyentuhnya!" geram Valerie. "Gadis itu... dia punya mata yang sama dengan nenek. Itu tidak mungkin."
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Luna melepas topengnya. Napasnya terengah-engah. Menghadapi Valerie jauh lebih melelahkan daripada menghadapi sepuluh orang bayaran Reihan.
"Kamu melakukannya dengan sangat baik," puji Xavier.
"Dia ketakutan, Xavier. Aku bisa merasakannya saat jarinya menyentuhku," ucap Luna. "Tapi dia juga sangat cerdas. Dia akan melacak mobil ini."
Xavier menekan sebuah tombol di dasbor mobil. "Mobil ini sudah terdaftar atas nama perusahaan cangkang di Panama. Jejaknya akan hilang saat kita melewati terowongan depan. Tapi Luna... kamu baru saja menyatakan perang terbuka pada Valerie."
Luna menatap keluar jendela, ke arah kegelapan malam Zurich. "Perang ini sudah dimulai sejak dia mencoba menyingkirkan ibuku sepuluh tahun lalu. Aku hanya sedang mengembalikannya ke tempat asalnya."
Sementara itu, di sebuah hotel mewah di Jakarta, Reihan yang kini tinggal di losmen murah menerima sebuah amplop cokelat. Di dalamnya ada tiket pesawat ke Zurich dan sebuah catatan singkat:
"Jika kamu ingin membalas dendam pada Luna dan Xavier, datanglah ke alamat ini. Aku punya pekerjaan untukmu."
— V.