Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mencintaimu
Langit-langit tinggi, lampu kristal terang, dan aroma herbal yang menenangkan, menyatu dengan suara alat makan di ruang VIP salah satu restoran di bawah naungan Montgomery Group. Meja bundar dengan empat kursi kulit bersandar tinggi menunggu para pewaris yang nyaris tidak pernah benar-benar punya waktu untuk duduk bersama akhir-akhir ini.
Ethan, Celine, Raga, dan Rega memasuki ruangan dengan kebiasaan yang sudah melekat meski tampak nyaris tidak disengaja. Celine duduk di sisi kiri Ethan sementara Raga dan Rega duduk berseberangan. Pelayan segera menyajikan hidangan tanpa perlu ditanya; mereka sudah tahu menu Montgomery sejak bertahun-tahun lalu.
Celine membuka sumpitnya dengan gerakan anggun, menyentuh lengan Ethan sebentar sebelum berkata pelan.
“Kau belum makan apa pun sejak pagi, bukan?”
Ethan tidak mengonfirmasi, namun tidak juga membantah. Ia hanya memberi anggukan singkat yang cukup untuk menunjukkan bahwa Celine benar.
Rega berdeham kecil. “Sudah kuduga,” gumamnya sambil menyandarkan tangan ke meja. “Kalau bukan Celine yang memaksa keluar dari ruangan, kau baru makan saat matahari terbenam.”
Ethan tidak menanggapi, dan Rega tidak menunggu jawaban.
Celine mengambil sepotong hidangan dari piringnya lalu mengulurkannya ke bibir Ethan. Gerakan itu tidak dibuat-buat, bahasa tubuh mereka telah lama berbicara lebih jelas daripada kata-kata.
“Buka mulutmu, Ethan.” kata Celine pelan, nada yang tidak tinggi namun mengandung tekanan.
Ethan menatapnya sebentar lalu menerima tanpa suara. Ia membuka mulut, membiarkan Celine menyuapinya dan menelan makanannya tanpa mengalihkan pandangan darinya.
Raga menyesap air mineralnya lalu kembali makan bersama Rega tanpa banyak komentar. Tidak ada yang istimewa, Celine dan Ethan memang sudah begitu sejak dulu.
Rega meletakkan sumpitnya sejenak. “Pistol yang kau pesan sudah datang,” katanya sambil mengusap sudut bibirnya dengan tisu linen.
Ethan menoleh tipis menunggu lanjutan.
“Sambo sudah menerimanya di markas,” lanjut Rega.
Ethan mengangguk pelan. “Bagus.”
Raga menelan makanannya sebelum berkata datar, “Dia bisa diandalkan.”
Rega mengangguk cepat. “Untungnya dia tidak hidup sebagai biang onar di tim kita.”
Celine menggerakkan kakinya di bawah meja, dan menendang betis Rega tepat sasaran. “Jangan mengejeknya.”
Rega meringis. “Belakangan ini kau mulai pilih kasih padaku dan Sambo.”
Celine menghela napas, lalu bersandar di bahu Ethan. Ia membuka mulut kecil, seperti sudah menjadi rutinitas. Ethan mengambil sepotong makanan dari piringnya dan menyuapkannya padanya tanpa mengatakan apa pun.
“Aku kasihan padanya,” kata Celine setelah menelan makanan itu. “Aku belum pernah bertemu orang yang sudah nakal, melarat, dan maaf… kondisi fisiknya tidak cukup oke, ditambah keluarganya juga berantakan.”
Gadis itu mengangkat bahu tipis. “Setelah kupikir-pikir, dia tidak tumbuh nakal. Hanya saja keadaan yang membuatnya begitu.”
Raga mengulurkan tangan dan menarik ujung poni Celine dengan santai. “Jangan membuat aku berpikir kau menyukainya. Kau memperhatikannya lebih dari Ethan, Celine.”
Kalimat itu dilontarkan setengah bercanda, tetapi dampaknya tidak ringan. Wajah Ethan menegang instan, gerakan kecil namun tajam seperti retakan pertama di kaca.
Celine langsung menggandeng lengan Ethan erat, seolah ingin menegaskan batas yang sudah ia tetapkan sejak dulu.
“Aku hanya menyukai Ethan. Hanya Ethan.”
Rega berdehem pelan, suasana ruangan merunduk dalam hening yang berat.
Ethan menatap pucuk kepala Celine yang bersandar di pundaknya. Ekspresinya nyaris datar, namun ada ketegangan samar yang tersimpan di garis rahangnya. Entah itu penerimaan atau penolakan, hanya ia sendiri yang tahu.
Celine melangkah cepat, hak sepatunya beradu halus dengan lantai saat ia mengejar langkah panjang Ethan. Begitu jarak mereka cukup dekat, ia meraih tangan Ethan dan menggenggam jemarinya tanpa ragu.
“Pulanglah,” kata Ethan tanpa menoleh, suaranya rendah dan tegas.
“Tidak, Ethan. Aku ingin diantar olehmu, please…” katanya memohon.
Ethan menghela napas, napas panjang yang menunjukkan ia sudah kalah sebelum sempat berdebat. Ia berbalik, menatap Raga dan Rega yang mengikuti mereka dari belakang.
Keduanya langsung mengangguk sebelum Ethan sempat bicara. “Kami kembali ke kantor,” kata mereka bersamaan.
Celine melambaikan tangan kecil. “Hati-hati, Twins.”
“Kami duluan, Celine,” balas mereka dengan senyum singkat sebelum berbalik.
“Cepatlah,” ujar Ethan pelan namun tidak sabar.
Wajah cantik Celine merengut. “Kau selalu begini.”
Ethan tidak menanggapi. Ia hanya melangkah menuju pintu utama lobi, langkah aristokrat yang tidak pernah kehilangan wibawanya. Begitu mereka tiba, seorang pengawal membuka pintu mobil hitam yang berkilau.
“Selamat siang, Tuan Muda,” sapa Jerry, pengawal setia yang sudah berdiri di sisinya sejak kecil.
“Hmm,” jawab Ethan pendek.
“Selamat siang, Paman,” kata Celine jauh lebih cerah.
“Siang, Nona Muda,” balas Jerry dengan senyum tipis penuh penghormatan.
Pintu tertutup perlahan. Mesin berderu pelan, mobil meluncur keluar dari area Montgomery Corp, menembus jalan-jalan kota dengan irama yang rapi. Gedung-gedung tinggi memantulkan bayangan pada kaca mobil seperti gerigi perhiasan raksasa.
Celine menyandarkan kepala di bahu Ethan, tersenyum kecil, dunianya terasa lengkap ketika berada di sisi pria itu.
Drrtt… drrtt… drrtt…
Suara ponsel Ethan berdering. Pria itu mengangkatnya tanpa mengubah posisi tubuh.
“Selamat siang, Mama,” katanya tenang. Hening sesaat saat terdengar suara lain menjawab dari seberang.
“Ya, aku bersamanya.”
“Aku mengerti, Mama.” katanya sebelum memutus panggilan tanpa ekspresi.
“Ada apa?” tanya Celine tidak bergerak dari bahunya.
“Kita pulang ke mansion Montgomery. Papa dan Mamamu ada di sana,” jawab Ethan datar.
Celine mengangguk pelan, wajahnya tidak menunjukkan reaksi berarti. Tidak ada kekecewaan, tidak ada kegembiraan. Orang tuanya datang dan pergi seperti musim yang tidak pernah sepenuhnya menetap. Ia sudah terbiasa sendirian, tapi selama Ethan ada di sisinya ia tidak pernah merasa butuh siapa pun.
Jerry mendengar percakapan keduanya dari kursi kemudi, tanpa bertanya lagi ia mengubah arah mobil menuju tempat yang diinginkan tuannya.
“Ethan…”
“Hmm,” jawab Ethan, hampir tanpa infleksi.
Celine menengadah. Matanya yang bening, bulat dan penuh keyakinan menyatu dengan mata Ethan tanpa keraguan sedikit pun.
“Aku mencintaimu,” ucapnya, tenang namun tak terbantahkan. “Jangan tinggalkan aku.”
Ethan menatapnya lama, terlalu lama untuk seseorang yang terbiasa menjawab cepat dan tegas.
Celine mengangkat tangannya, menyentuh pipi Ethan dengan kelembutan.
“Ethan…” Ia menunggu jawaban yang ia harapkan.
Tatapan Ethan turun sedikit, lalu perlahan mengangguk. Gerakan kecil itu cukup untuk memberikan ketenangan dalam diri Celine. Senyum tipis menjalar di bibirnya. Ombak dan badai tidak akan mempengaruhinya, selama ia bersama Ethan.
Wanita itu kembali bersandar di bahunya, memejamkan mata dengan napas yang teratur. Baginya, anggukan itu lebih berarti daripada seribu janji.
Mobil terus melaju membelah kota, membawa dua sosok yang terlihat begitu selaras, namun tidak satu pun dari mereka benar-benar tahu ke mana hati akan membawa langkah berikutnya.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk
apa cantika ada sangkut pautnya dengan barlex 🤔