Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
...-.Aku paham betul, semenjak kami putus, ... Walau berpisah hanya sebentar, dan sekarang kami kembali bersatu, namun kini hubungan ini hanya sebatas aku yang mencintai aku.-...
^^^Chiknuggies, 22-November-2024^^^
Duduk berhadapan di satu ruangan yang sama dengan Sandi, selalu dapat membuatku merasa kurang percaya diri.
Kamarnya simpel, namun serba ada, benar-benar mencerminkan kepribadian Sandi yang tidak banyak cakap dan memilih jalan yang paling mudah dalam menyikapi suatu masalah. Kami, kini bagaikan gitarnya yang tergantung sunyi di atas kasur, tercekik dan merasa sesak karena perasaan yang tidak natural ini.
Mungkin dia juga merasa, namun hanya bingung harus memulai dari mana, di hadapan ku, dia hanya sibuk mengutak-atik ponsel tanpa sepatah kata yang mungkin bisa menyegarkan suasana.
Sandi bangkit, menunjukkan telapak tangannya, memintaku menunggu karena sepertinya ia ingin keluar dari kamarnya sebentar untuk mengambil sesuatu.
Aku yang masih dalam suasana canggung, hanya bisa mengangguk, mengiyakan kemauannya dan mencoba untuk mengalihkan perasaan ini dengan memandang seisi kamar.
Cukup aneh pikirku, meski aku tidak pernah singgah ke sini, tetapi dibalik perasaanku yang serba salah ini, aku menyadari bahwa aku cukup diterima di rumah ini.
Aku memandangi seluruh sudut ruangan, menghirup aroma khas dari asap tembakau yang lama bersarang, juga mengusap karpet yang memiliki beberapa lubang akibat bara rokok yang terjatuh tanpa sengaja di atasnya.
Jadi. . . Tidak semua kamar pria itu acak-acakan seperti milik Arta, pikirku.
Sandi kembali, dengan tangan yang menggenggam dua buah botol, yang satu tumbler berisi air dingin dan satunya lagi ialah botol kaca bertuliskan Ice Land dengan botol yang berembun, menutupi bagian dalamnya.
Aku tahu, bahwa yang ada di tangan Sandi, botol kaca tersebut ialah minuman keras, dapat kulihat dari bekas sobekan label bea cukai yang sisanya masih menempel di tutup botolnya.
"Mhhh! Sandi (nafasku tercekat), lu ngebawa gw kesini, niat mabok terus ngapa-ngapain gw ya?" Aku mencoba bergurau, akibat dia akan minum alkohol di hadapanku.
"Ini (dia berdehem dan kembali duduk di hadapanku), ini supaya gw ngomong nya lancar." Suara nya masih parau di hadapanku.
Dengan baik dan sopan, ia mengarahkan gelas kecil berisikan vodka menggunakan kedua tangan kepadaku, menawariku untuk membuka putaran (merujuk kepada orang yang minum pertama, bila minum bersama orang lain) dalam acara minum kecil-kecilan yang sedang ia selenggarakan.
Aku mengangkat tangan kiriku, dan menolak. Mengatakan "Gw nggak minum San, gw nggak suka rasanya, bau nya juga aneh." Menampik tawarannya, walaupun Sandi dengan halus menawariku.
"Lagipula, gw juga cuma ngejalanin tradisi aja kok. Kalaupun lu coba ambil gelasnya dari gw, pasti langsung gw tarik lagi lah." Celetuknya dengan senyum yang samar.
Ia meneguk sloki (gelas khas berukuran kecil untuk minuman keras) pertamanya dengan akhiran *akhh~ panjang yang penuh makna.
"Jadi, gimana? Soal Arta. Terakhir kali lu cuma bilang kalo lu udah putus kan? Sekarang menurut lu, apa yang bikin dia barusan dateng lagi?" Tanya Sandi lengkap kepadaku dengan hidung yang mulai kemerahan.
Mulai dari sini, aku turut menceritakan seluruh latar belakang hubungan kami, berikut perasaanku yang masih tertinggal kepada Arta. Sandi cukup aktif menanggapi percakapan kali ini, mengangguk dan memberikan feedback yang baik kepadaku. Mungkin seperti yang kulihat di film-film, efek alkohol rupanya dapat membuat sebuah batu berbicara lepas bak burung camar, seakan tidak ada lagi hari esok untuk bercerita.
Larut kisah, dirajut cerita yang tak ada habisnya, membuatku sulit melupa, terutama memaksakan interaksi dengan Sandi, padahal dia sedang mempertahankan kesadarannya yang mulai kabur.
Kamar bujangan ini kini dipenuhi oleh aroma parfum milikku, dan aku juga sebenarnya tahu, bahwa tempat ini sudah sempurna, hanya saja membutuhkan sedikit sentuhan wanita di dalamnya.
Waktu yang semakin larut tidak kami indahkan. Hingga ibunya memanggil namaku dari luar kamarnya, membuat aku merasa sudah kelewatan dalam bertamu. Dengan cepat aku mengambil seluruh barang bawaanku, bermaksud untuk segera pulang.
Sandi menahan tanganku yang baru saja mencoba bangkit, wajahnya memelas dan berkata. "Mau kemana? Nginep di sini aja ya, temenin gw Rin."
Ah~ Ayolah Sandi, jangan membuat ini semua menjadi semakin sulit. Aku pun ingin lebih lama lagi di sini, namun waktukan berkata lain, ini kali pertama aku main ke sini dan jangan sampai menjadi yang terakhir.
Di dalam hati, aku merasa nyaman dengan kehangatan keluarga ini, canda berikut tawa, kebebasan bercerita, semuanya mengingatkanku kepada kampung halaman, mengingatkanku kepada ibu.
Aku menghampiri ibunya yang mungkin sudah menungguku di depan. Anehnya, dari sumber suara, aku melihat bahwa ibunya memegang piring datar berbahan kaca, dari dapur. di atas piring tersebut terdapat camilan dengan uap yang mengepul pekat, sepertinya dia baru saja selesai memasak makanan itu. Dia memberikan piring tersebut mendekat ke arahku hingga aku dapat merasakan hangatnya di lengan atasku.
Keheranan, aku lantas menanyakan maksud darinya yang memberikan makanan itu, meski aku sudah siap untuk pulang. "Ini apa tante?" Mencoba memvalidasi arti dari makanan ini.
"Ini camilan, mamah tau Sandi lagi minum kan? Makanya mamah buatin camilan. Dan sepertinya, (ia menahan kalimat) kamu nggak minum ya?" Ia menahan nafas menunggu jawaban dariku.
Dengan tangan yang menerima penawarannya aku menjawab, "Nggak kok, Airin nyium bau nya aja pusing." Menjawab apa-adanya dengan senyum penuh.
"Hmm, menarik. . . " Pukas nya, tersenyum simpul menutupi perasaan.