Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
obat
Raja menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah langit biru yang cerah. Ia duduk di rooftop sekolah, tempat yang sering ia datangi untuk menghindari keramaian. Kancing atas seragam SMA-nya sudah terbuka, memberi sedikit ruang bernapas dari panas yang menyengat. Kakinya diangkat satu, sementara tangan kirinya memegang rokok yang perlahan membara.
Di sampingnya, Regas dan Tian duduk, masing-masing bersandar santai di dinding. Regas, yang tidak pernah berhenti bicara, memecah keheningan. "Kenapa lo nggak terima Chilla aja sih, Raja? Menurut gue dia cantik kok," ucap Regas sambil memainkan botol minumnya.
Raja mendengus pelan tanpa menoleh. "Gue gak suka," jawabnya singkat, suaranya datar.
"Ya udah buat gue aja," sahut Tian sambil tertawa kecil. "Gue suka sama cewek gila kaya dia. Andai aja yang dikejar Chilla itu gue, gue bakal diem aja dia mau apain gue juga."
Regas ikut terkekeh. "Bener, kan? Chilla itu unik. Dia menarik, gue suka cewek yang pemikirannya suka di luar nalar. Dia beda dari yang lain."
Raja memutar bola matanya, jelas tidak senang dengan arah pembicaraan itu. "Udah, gak usah bahas dia lagi," desisnya tajam.
Namun, seperti tahu dirinya sedang dibicarakan, tiba-tiba Chilla muncul di pintu rooftop. Langkahnya ringan, tapi kehadirannya cukup membuat suasana berubah. Regas dan Tian langsung terdiam, sementara Raja menunduk, menghisap rokoknya dalam-dalam.
Chilla tersenyum kecil, seolah tidak peduli dengan ekspresi masam Raja. Tanpa izin, dia duduk di samping Raja, begitu dekat hingga bahunya menyentuh lengan pria itu. Regas dan Tian saling melirik, menahan tawa kecil mereka.
Chilla menyandarkan kepalanya ke bahu Raja dengan gerakan lembut. "Please, kali ini biarin gue gini dulu," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Setelah itu gue gak bakal ganggu lo selama sehari. Gue lagi capek, dan obat gue cuma lo."
Raja membeku sejenak, merasakan kepala Chilla bersandar di bahunya. Ia menatap Regas dan Tian yang sudah menahan diri untuk tidak berkomentar, meskipun raut wajah mereka penuh dengan godaan. Raja mendesah berat, lalu menepis perlahan kepala Chilla.
"Chilla, lo capek? Cari tempat lain buat istirahat," katanya dingin, meskipun suaranya terdengar kurang tegas.
Chilla mengangkat wajahnya, menatap Raja dengan mata yang tampak lelah tapi tetap penuh keyakinan. "Gue udah coba, tapi gak ada tempat yang bikin gue nyaman. Cuma di dekat lo gue bisa tenang, Ja."
"Lo harusnya cari obat lain, bukan gue," balas Raja, memadamkan rokoknya di asbak kecil yang ada di sampingnya.
Tian, yang sudah tidak bisa menahan diri, akhirnya ikut bicara. "Chilla, kalo lo mau sandaran, sini sama gue aja. Gue siap jadi obat lo."
Chilla melirik Tian dengan tatapan geli. "Lo? Gak cukup menarik buat jadi obat gue, Tian. Sorry, lo gak ada di daftar pilihan gue."
Regas tertawa terbahak-bahak, sementara Tian pura-pura memegang dadanya, seolah-olah terluka. "Sakit banget sih, Chilla. Padahal gue serius."
Raja, yang sudah kesal dengan situasi itu, berdiri dari tempat duduknya. "Gue turun," ucapnya pendek, sebelum melangkah pergi.
Namun, Chilla segera menarik pergelangan tangannya. "Ja, tunggu," ujarnya, kali ini dengan nada lebih serius.
Raja berhenti, tapi tidak menoleh. "Apa lagi, Chilla? Lo gak capek ganggu hidup gue terus-terusan?"
Chilla melepaskan tangannya perlahan. "Gue cuma minta lo bertahan di sini sebentar. Gue janji gak akan ganggu lo setelah ini, bahkan untuk sehari penuh."
Raja menatap Chilla sejenak, ragu. Akhirnya, dengan menghela napas panjang, ia kembali duduk, meskipun menjaga jarak. "Lo punya waktu lima menit, Chilla. Setelah itu, jangan harap gue bakal diem aja."
Chilla tersenyum kecil, senang karena Raja setidaknya mau sedikit mengalah. Ia tidak bicara lagi, hanya menatap langit biru di atas mereka. Meski begitu, dalam hatinya, ia tahu bahwa memenangkan hati Raja adalah misi yang membutuhkan waktu lebih dari sekadar lima menit.
Sementara itu, Regas dan Tian saling bertukar pandang. Mereka tahu bahwa drama antara Raja dan Chilla ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Tapi satu hal yang pasti: Chilla tidak akan pernah menyerah, dan Raja, sekeras apa pun dia mencoba menghindar, tidak akan bisa sepenuhnya lepas dari gadis itu.
*****
Raja berjalan keluar sekolah dengan langkah berat, kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Hari itu benar-benar membuat emosinya terkuras. Namun, langkahnya terhenti ketika Sella tiba-tiba muncul di hadapannya. Gadis itu berdiri di tengah jalan, menghadang langkahnya dengan ekspresi penuh kemarahan.
"Raja, kita perlu bicara!" seru Sella sambil menarik lengan Raja.
Raja mendengus kesal, mencoba melepaskan cengkeraman Sella. "Sella, gue udah bilang kan? Kita selesai. Jangan bikin ini tambah sulit."
Namun, Sella tidak menggubrisnya. Matanya yang berkilat menunjukkan bahwa dia belum siap melepaskan Raja begitu saja. "Gue gak terima, Ja! Gue tahu lo masih sayang sama gue. Ini semua pasti gara-gara cewek itu!" Sella melirik ke arah Chilla yang baru saja muncul dari belakang Raja.
Chilla, yang menyaksikan pemandangan itu, langsung menghampiri mereka. Dengan santai, dia melepaskan tangan Sella dari lengan Raja. "Jangan sentuh cowok gue," katanya dingin, lalu bergelayut manja di lengan Raja, seolah menegaskan posisinya.
Sella mendelik marah. "Cowok lo? Dasar pelakor! Lo yang bikin Raja berubah kan?"
Chilla tersenyum miring, tak mau kalah. "Mulut lo itu minta gue cabein ya? Dengar, lo sendiri yang bikin dia berubah. Dasar cabe-cabean simpenan om-om aja bangga."
Sella meradang, suaranya meninggi. "Lo gak usah fitnah gue! Gue gak pernah jadi simpenan siapa pun!"
Chilla mencibir sinis, nadanya penuh ejekan. "Oh ya? Jadi lo pikir Raja nggak tahu siapa lo sebenarnya? Gue cuma heran, Raja, lo nggak malu ya pernah pacaran sama cewek modelan begini? Udah dempul, matre, terus sasimo pula. Jelas banget hidupnya nyari sponsor."
Sella melotot, pipinya memerah karena marah. Namun, sebelum dia bisa membalas, Raja mengangkat tangan, menyuruh keduanya diam. "Cukup!" suaranya tegas, tapi lelah. "Gue capek hari ini. Sella, lo denger ya, gue udah gak ada urusan lagi sama lo. Dan Chilla..." Raja menoleh ke arah gadis yang masih memeluk lengannya, "ikut gue pulang sekarang."
Tanpa menunggu jawaban, Raja menarik tangan Chilla, memaksanya berjalan bersamanya. Sella yang ditinggalkan hanya bisa memandangi mereka dengan tatapan penuh kebencian, tapi dia tidak berani mengejar lagi.
Selama perjalanan ke tempat parkir, Chilla tetap bergelayut di lengan Raja, kali ini dengan ekspresi puas. "Tuh kan, Ja, lo akhirnya belain gue juga," katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Raja.
Raja mendesah panjang. "Chilla, gue gak belain siapa-siapa. Gue cuma gak mau ribut lebih lama."
Namun, Chilla tidak mendengarkannya. Saat mereka sampai di motor Raja, gadis itu dengan santai melingkarkan tangannya di pinggang Raja dari belakang. Setelah Raja menghidupkan motor, dia bahkan menyandarkan kepalanya di punggung Raja, membuat pria itu mendengus kesal.
"Lo ngapain sih?" tanya Raja, mencoba menahan emosi.
"Nyari kenyamanan. Gue lagi capek, Ja," jawab Chilla sambil tersenyum kecil. Tangannya yang melingkar di perut Raja sesekali bergerak, mengusap pelan bagian perut kotak-kotak yang tertutup seragam sekolah.
"Chilla," desis Raja dengan nada peringatan, "lo diem atau gue turunin lo di sini."
Chilla terkekeh pelan, tapi tetap tidak melepaskan pelukannya. "Nyentuh dikit doang gak boleh? Pelit banget sih lo, Ja. Awas aja sampe apartemen, gue bakal lebih gila lagi."
Raja menggertakkan gigi, mencoba mengabaikan keusilan Chilla. Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa menghadapi Chilla tidak akan pernah menjadi tugas yang mudah. Gadis itu selalu punya cara untuk mendominasi situasi, dan sejauh ini, Raja tidak pernah benar-benar bisa menolaknya.
Saat mereka tiba di apartemen, Raja langsung melepas helmnya dengan kasar, mengabaikan Chilla yang masih tersenyum di belakangnya. "Udah sampai. Sekarang lo turun dan jangan bikin ulah lagi," katanya, nadanya tegas.
Chilla hanya tertawa kecil sambil turun dari motor. Dia memandang Raja dengan tatapan penuh arti, seolah-olah mengatakan bahwa pertarungan ini masih jauh dari selesai. "Oke, Ja. Gue diem sekarang. Tapi inget, gue gak akan pernah pergi dari lo."
Raja memalingkan wajah, tidak ingin terjebak lebih jauh dalam permainan Chilla. Namun, dalam hati, dia sadar bahwa selama Chilla masih ada di dekatnya, hidupnya tidak akan pernah tenang.