Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
Ustadz Pahlevi terlihat kecewa saat sosok gadis bergamis hitam yang ia harapkan adalah Fahira Hidayati ternyata bukan. Walaupun yang datang adalah Emi, salah satu santri yang menjadi langganannya membuatkannya kopi. Ia menganggap Emi biasa-biasa saja seperti santri yang lain. Dia memang cantik. Tapi kebiasaannya memanggilnya membuat kopi tidak lebih karna racikan kopi buatannya pas di lidahnya. Tak ada getaran sama sekali di dalam hatinya. Selain kecewa, ia juga merasa marah kenapa Emi yang harus datang. Bukan Fahira Hidayati. Dia pun merasa malas menatap wajah Emi sekalipun sepertinya ia sangat ingin dilihat Ustadz Pahlevi.
"Silahkan kopinya, Ustadz," kata Ustadz Nunung membuyarkan ketertegunan Ustadz Pahlevi.
"Oh ya, Ustadz. Terimakasih," kata Ustadz Pahlevi setengah tergagap. Emi yang baru saja meletakkan gelas kopi di depan Ustadz Pahlevi dan Ustadz Nunung, tak mau keluar begitu saja. Ia merasa gagal mencuri perhatian Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi sama sekali tak memandang ke wajahnya. Paing tidak, sebelum keluar dari ruangan itu, ia harus bersalaman dengan Ustadz Pahlevi.
Tanpa malu, Emi merengsek mendekat dan menyodorkan tangannya hendak menyalami Ustadz Pahlevi kemudian Ustadz Nunung. Saat menyalami Ustadz Pahlevi, ia sempat mengangkat pandangannya ke wajah Ustadz Pahlevi, berharap penampilan sempurnanya mendapat apresiasi kekaguman dari Ustadz Pahlevi. Tapi Ustadz Pahlevi sama sekali tak menampakkan ketertarikannya. Malah ia seperti malas memandangnya dan memilih melempar pandangan ke arah jendela ruang tamu. Emi nampak kecewa dan bergegas keluar. Ia memperlihatkan wajah cemberutnya pada Baiq Reni, yang saat itu sedang menunggunya di luar rumah.
Hujan perlahan turun dengan derasnya. Ustadz Pahlevi menyeruput kopi panasnya pelan sembari sesekali melirik ke arah Ustadz Nunung.
"Ada apa gerangan malam-malam begini Ustadz berkunjung ke tempat saya. Hujan-hujan lagi," kata Ustadz Nunung dengan suara agak dikeraskan sebab suara hujan menghalangi pendengaran. Dia meggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi tersenyum malu dan menggaruk-garuk kepalanya. Sebenarnya ia malu untuk mengatakannya kepada Ustadz Nunung, tapi ia harus pulang dengan membawa uang pinjaman untuk Zulaikha. Besok pagi ia ingin tenang menikmati kopi hangatnya setelah melaksanakan shalat dhuha, tanpa ada kata-kata penuh kesusahan keluar dari mulut Zulaikha. Walaupun misi utamanya ke pesantren bukan karna itu.
"Begini, Ustadz. Sebelumnya saya minta maaf kalau kedatangan saya kesini tak penting-penting amat. Ini hanya masalah pribadi saya, Ustadz," kata Ustadz Pahlevi tersipu malu menundukkan kepala. Ustadz Nunung tersenyum. Bahu Ustadz Pahlevi di sentuhnya pelan.
"Apapun itu, jangan sungkan, Ustadz,"
"Eee..., sebenarnya saya kesini untuk meminjam uang, Ustadz. Nanti kalau gajian, biar honor saya langsung dipotong saja untuk bayar hutang, Ustadz," kata Ustadz Pahlevi.
Ustadz Nunung tersenyum.
"Owh..., saya kira ada masalah apa, Ustadz," kata Ustadz Nunung. Ustadz Pahlevi kembali menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah.
"Memangnya Ustadz butuh berapa," sabung Ustadz Nunung.
"Kalau boleh, saya pinjam satu juta, Ustadz. Memang lebih banyak dari honor saya yang satu bulan. Saya lagi butuh, Ustadz. Kalau boleh nanti honor saya yang dua bulan dipotong saja" jawab Ustadz Pahlevi.
"Ya, gak apa-apa. Ustadz. Sebentar ya Ustadz, saya mau ambil buku dulu," kata Ustadz Nunung sembari bangkit ke dalam kamar sebelah. Setelah untuk beberapa saat ia sibuk memilah buku-buku di dalam rak buku, ia kembali ke tempat duduknya. Ustadz Pahlevi menundukkan kepalanya saat Ustadz Nunung mulai menghitung beberapa lembar uang di tangannya. Setelah selesai, ia kemudian meletakkan lembaran uang itu di atas meja tepat di depan Ustadz Pahlevi.
***
"Kok kamu cemberut seperti itu. Memangnya Ustadz Pahlevi gak melirik kamu?" kata Baiq Reni menggoda Emi ketika melihat wajah Emi yang nampak cemberut. Emi tak menggubris kata-kata Baiq Reni. Dia langsung saja bergegas menuju kamarnya.
"Ada apa sih. Kok endingnya jadi gak bahagia seperti ini." kata Baiq Reni sesampainya di kamar.
"Agh!" teriak Emi kesal. Jilbabnya ditariknya keras dan dihempaskannya jauh ke belakang. Ia kemudian membaringkan keras tubuhnya di lantai kamar. Melihat itu. Baiq Reni ikut-ikutan berbaring menempelkan tubuhnya di tubuh Emi. Hal itu membuat Emi semakin kesal. Baiq Reni tertawa terbahak-bahak.
"Adoh, aku kira malam ini akan menjadi malam penuh mimpi indah. Tapi ternyata dan ternyata tak sesuai harapan," kata Baiq Reni. Wajah Emi yang terlihat masih cemberut membuatnya tak tahan untuk terus menggodanya.
"Sudah, Ih, gak perasaan banget jadi orang.Ini lagi. Gak guna baget," kata Emi sambil memiringkan tubuhnya membelakangi Baiq Reni. Dia menggosok-gosok dengan kuat make up di wajahnya.
"Ya, Allah. Apa yang terjadi dengan hamba_Mu ini. Dia jatuh cinta dengan Ustadznya. Dia jatuh cinta dengan seorang pria yang sudah beristri ya, Allah. Pesona pria dewasa," kata Baiq Reni sambil mentelentangkan tubuhnya. Mendengar suara Baiq Reni yang terdengar keras, Emi langsung menendang kaki Baiq Reni. Baiq Reni semakin tak bisa menahan tawanya.
"Bukannya bantuin, malah semakin meledek. Jangan sampai orang-orang dengar," kata Emi. Merasa kesal, Emi bangkit dan melangkah hendak keluar. Melihat itu, Baiq Reni langsung melonjak bangun. Dia segera menghibur Emi.