NovelToon NovelToon
My Secret Husband

My Secret Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.

Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.

Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. LIVY

“Baik semuanya, hari ini kita kedatangan murid baru lagi.”

Suara ibu guru membuyarkan konsentrasi kelas yang semula tenang. Semua kepala menoleh ke arah pintu. Seorang gadis berseragam putih abu-abu melangkah masuk dengan anggun. Langkahnya ringan, namun penuh percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, mempertegas bentuk wajahnya yang halus. Kulitnya putih bersih, bibirnya tipis, dan sorot matanya memancarkan ketenangan yang memikat. Wajahnya begitu memesona, hingga tak mudah bagi siapa pun untuk menentukan—siapa sebenarnya yang lebih cantik, dirinya atau Hana, gadis yang lebih dulu dikenal di kelas itu karena kecantikannya.

“Livy, perkenalkan dirimu,” ucap ibu guru sambil tersenyum menyambut.

Semua mata tertuju pada gadis itu. Di antara mereka, ada sepasang mata yang menatap dengan perasaan berbeda. Rei, yang sedari tadi menunduk, meletakkan pulpennya perlahan. Matanya menajam, terpaku pada wajah yang terasa begitu familiar.

Detak jantungnya berdetak lebih cepat. Wajah itu… suara itu… nama itu.

“Livy,” gumam Rei lirih, nyaris tak terdengar, seolah nama itu mengguncang seluruh isi kepalanya. Ia mengenalnya. Gadis itu bukan orang asing. Dia bagian dari masa lalu—dari potongan kenangan masa kecil yang selama ini berusaha ia lupakan, atau mungkin diam-diam ia simpan.

Sementara itu, suasana kelas mulai riuh oleh bisik-bisik kekaguman. Beberapa murid berdecak kagum, bahkan ada yang bersorak pelan. Pesona Livy terlalu mencolok untuk tidak diperhatikan. Namun di sisi lain, Hana hanya menatap biasa saja. Tidak ada ekspresi istimewa di wajahnya. Hari itu ia memang sedang tidak dalam kondisi terbaik—mood-nya buruk, tubuhnya terasa lesu karena datang bulan. Tapi di balik sikapnya yang tampak acuh, matanya sempat menyorot arah Rei. Ada sesuatu yang ganjil. Lelaki itu menatap Livy terlalu dalam, seolah ada kisah yang belum selesai di antara mereka.

“Halo semuanya, aku Livy. Senang berkenalan dengan kalian,” ucap Livy dengan nada ramah. Senyum manisnya semakin memperkuat aura pesona yang sudah lebih dulu menggetarkan suasana kelas.

“Selamat datang, Livy. Bukan cuma namanya yang cantik, yang punya nama juga,” celetuk seorang siswa laki-laki yang dikenal suka menggoda siapa pun yang baru.

Tawa ringan pun terdengar, membuat suasana mencair. Tak lama, ibu guru menunjuk bangku kosong di sebelah Hana. “Livy, kamu bisa duduk di samping Hana.”

Livy mengangguk sopan, lalu berjalan menuju bangku yang dimaksud. Ia menatap Hana sambil tersenyum.

“Hai, salam kenal Hana,” ucallpnya lembut sembari meletakkan tas.

Hana hanya membalas dengan anggukan ringan dan senyum tipis. Ia tidak terlalu tertarik untuk membangun percakapan. Tapi saat Livy duduk, pandangannya sempat bertemu dengan mata Rei. Tatapan yang tak hanya singkat, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sapaan.

Dan Hana melihatnya.

Ia menangkap cara Rei menatap Livy—bukan tatapan biasa. Bukan tatapan untuk murid baru. Lebih tepatnya… tatapan seseorang yang pernah kehilangan sesuatu, dan kini melihatnya kembali.

Bel sekolah berdentang nyaring, menandakan waktu istirahat telah tiba. Suara kursi yang digeser, langkah-langkah berhamburan, dan percakapan antusias mulai memenuhi ruangan. Beberapa siswa bergegas menuju kantin, sebagian lainnya hanya bercengkerama di kelas.

Di tengah riuh itu, Rei bangkit perlahan dari tempat duduknya. Gerakannya tampak tenang, tapi ada ketegangan yang samar di balik wajah dinginnya. Langkahnya membawa tubuh jangkung itu mendekati bangku tempat Hana dan Livy duduk berdampingan. Hana yang sedari tadi menyandarkan tubuh di kursi karena perutnya terasa tidak nyaman, sempat menoleh, mengira Rei akan memanggilnya.

Namun, dugaan itu salah.

“Kau dipanggil oleh guru. Ayo, saya antarkan,” ucap Rei tiba-tiba, dingin dan datar, tanpa sedikit pun menyembunyikan ekspresi seriusnya. Ucapan itu ditujukan kepada Livy.

Livy tampak sedikit terkejut, namun ia tetap mengangguk pelan. “Baik,” jawabnya singkat, lalu berdiri dengan tenang, mengambil tas kecilnya, dan mulai mengikuti langkah Rei yang telah lebih dulu melangkah keluar dari kelas.

Hana hanya memandangi mereka sejenak. Hatinya terasa sedikit aneh, entah karena ucapan Rei yang tidak seperti biasanya, atau karena arah tatapan mata Rei yang sejak tadi seolah hanya tertuju pada Livy. Namun, ia mengabaikan perasaan itu. Rasa nyeri di perutnya lebih mendesak untuk diperhatikan, jadi ia memutuskan tetap di bangkunya dan menyandarkan kepala ke meja untuk beristirahat sebentar.

Sementara itu, langkah Rei terus melaju menyusuri lorong kelas yang mulai lengang. Livy mengikutinya di belakang tanpa suara. Langkah Rei cepat dan mantap, tapi tetap teratur. Wajahnya tetap datar, tak memperlihatkan emosi sedikit pun. Livy hanya menunduk, tak berani bertanya ke mana sebenarnya mereka akan pergi. Ia hanya menurut, meski hatinya mulai dipenuhi rasa curiga.

Lorong demi lorong mereka lewati, semakin jauh dari keramaian. Suasana menjadi semakin sepi. Tak ada siswa lain yang terlihat di sekitar mereka sekarang, hanya suara langkah kaki yang bergaung di lantai keramik yang sunyi.

Sampai akhirnya, Rei berhenti di sebuah tempat yang jarang didatangi siswa—sebuah taman kecil di belakang sekolah. Taman itu dikelilingi pohon besar yang rindang, memberi kesan tenang sekaligus menyendiri. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan yang membuat suara lirih seperti bisikan.

Livy memandang sekeliling. “Di sini?” tanyanya lirih, mencoba menyamakan suara dengan suasana yang mendadak sunyi.

“Di mana kantor gurunya?” lanjutnya, mulai merasa aneh karena mereka tidak menuju ruang guru seperti yang dikatakan Rei sebelumnya.

Namun, Rei tetap diam. Matanya kini menatap langsung ke arah Livy, tajam dan menusuk. Bukan tatapan biasa. Tatapan itu menyimpan banyak hal—rasa kecewa, amarah yang ditahan, sekaligus kerinduan yang tak diakui.

“Kau tahu aku memanggilmu kemarin, kan?” ucap Rei akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah, tapi jelas bergetar.

Livy tersentak kecil. Napasnya mendadak terasa berat. Ia menunduk, tak mampu menatap mata Rei. “Aku… aku tidak mengerti maksudmu,” jawabnya gugup, suaranya nyaris bergetar.

Rei mengalihkan pandangannya, menatap rerumputan sejenak sebelum kembali melihat Livy. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum pahit yang menyimpan banyak luka.

“Kenapa, Livy?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang dibawa angin.

Livy menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menahan gelisah yang semakin merayap. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan sederhana itu terasa sangat berat baginya—karena ia tahu, itu bukan sekadar tanya biasa. Itu tanya dari masa lalu yang belum pernah selesai dijelaskan.

1
Na Noona
belum up tor
na Nina
lanjut
na Nina
lanjut tor
Na Noona
up tor
Na Noona
up tor, aku sukaaa ceritanya
Chachap
kurang panjang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!