Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Seorang pria berusia dua puluh tiga tahu keluar dari bandara, ia menggeret koper besarnya menuju mobil yang sudah terparkir di tempat penjemputan.
Nikolai baru saja tiba di Italia setelah ia melakukan perjalanan selama dua jam dari London. Udara musim semi di Roma menyambutnya dengan hangat, kontras dengan langit kelabu yang biasa menyelimuti kota asalnya. Ia menarik napas dalam sebelum melangkah keluar dari terminal kedatangan.
Di area penjemputan, seorang pria berusia sekitar empat puluhan berdiri di samping mobil hitam, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.
Ia memegang selembar kertas bertuliskan "Nikolai I." dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Nikolai melangkah mendekat. "Itu aku," katanya singkat.
Pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Selamat datang di Roma, Tuan Nikolai."
Ia segera mengambil koper dari tangan Nikolai dan membawanya ke bagasi. "Silakan masuk. Tuan besar sudah menunggu Anda."
Nikolai masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Begitu mesin dinyalakan dan mobil mulai melaju, pria itu meliriknya lewat kaca spion tengah.
"Nama saya Enzo. Saya supir pribadi Tuan Viktor."
Nikolai hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela, mengamati jalanan Roma yang sibuk. Ada ketegangan halus di dadanya.
Beberapa saat kemudian, mobil yang Nikolai tumpangi tiba di kediamannya. Begitu ia turun, ia langsung di sambut oleh ayah dan ibunya.
Natalia berlari menuruni anak tangga dan langsung memeluk putranya penuh kasih sayang.
"Nikolai! akhirnya kamu pulang," suara Natalia bergetar, tangannya mencengkeram erat bahu putranya, seolah takut kehilangan lagi.
Nikolai membalas pelukan ibunya, tapi tetap diam. Tatapannya melintas pada ayahnya, Viktor, yang berdiri tegap di belakang Natalia dengan ekspresi sulit ditebak.
"Kamu sudah banyak berubah," kata Viktor akhirnya, nada suaranya dalam dan penuh arti.
Nikolai melepaskan diri dari pelukan ibunya dan mengangguk. "Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, Ayah."
Natalia menyentuh pipi putranya dengan lembut, matanya berkaca-kaca. "Kamu pasti lelah. Ayo masuk, kami sudah menyiapkan makan malam kesukaanmu."
Nikolai mengikuti kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah besar itu, tapi pikirannya masih jauh. Ia mengamati rumah besar itu, semua masih sama hanya saja kini di rumah itu hanya berisi tiga orang bukan empat orang seperti dulu.
Di ruang makan, aroma daging panggang memenuhi udara. Meja telah disiapkan dengan mewah, tetapi Nikolai menyadari satu kursi kosong di ujung meja.
"Apa Kak Sergey tidak ke sini?" tanyanya, menyebut nama kakaknya.
Keheningan menyelimuti ruangan. Natalia dan Viktor saling bertukar pandang.
"Kakakmu sedang sibuk, Nik. Urusannya sangat banyak, jadi dia belum bisa datang ke sini." Jawab Natalia.
Senyum kecut terbit di bibir Nikolai, "Aku rasa kakak masih marah padaku, Ma."
"Itu tidak mungkin," sanggah Natalia cepat. "Kakakmu hanya sibuk, besok kita undang mereka ke sini, ya."
Namun, Nikolai tahu ibunya hanya berusaha menenangkannya. Ia mengenal Sergey lebih baik daripada siapa pun, kakaknya bukan tipe yang sibuk sampai lupa keluarga, kecuali jika ia memang sengaja menghindari seseorang. Dan dalam hal ini, Nikolai yakin orang itu adalah dirinya.
Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir pikiran yang mulai menyusup ke dalam kepalanya.
"Ayo duduk, makanannya sudah hampir dingin," kata Viktor, ayahnya, dengan suara berat yang tak bisa disangkal sebagai perintah.
Nikolai menghela napas dan menarik kursinya. Ia memperhatikan piring-piring porselen mahal yang tersusun rapi, kilauan perak di ujung garpu, serta cahaya lilin yang berpendar di atas meja makan. Semua terlihat seperti dulu, tapi terasa berbeda.
Kepergian satu orang telah mengubah segalanya.
Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara dentingan peralatan makan yang mengisi ruangan.
Natalia sesekali mencuri pandang ke arah Nikolai, sementara Viktor tetap fokus pada makanannya, seolah tak ingin membahas apa pun yang bisa mengganggu makan malam mereka.
Tapi Nikolai tak bisa menahan diri lebih lama lagi.
"Pa, Ma," katanya, meletakkan sendok kembali ke atas piring. "Kalau Kak Sergey tidak datang ke sini... bolehkah aku yang menemui beliau?"
Viktor menghentikan gerakannya sejenak, sebelum kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Natalia tampak lebih gelisah.
"Nik, mungkin sebaiknya kita beri dia waktu sedikit lagi," kata ibunya pelan.
"Berapa lama lagi?" desaknya. "Sudah bertahun-tahun aku-"
"Nik." Suara Viktor terdengar lebih tajam kali ini. "Makanlah."
Nikolai mengepalkan tangannya di atas pangkuan. "Pa, sampai kapan hubunganku dan... kak Sergey seperti ini?"
Viktor mendongak menatap dingin putra keduanya, "Sampai dia mau membuka pintu maaf untukmu."
Nikolai terdiam. Kata-kata ayahnya terasa seperti pukulan telak di dadanya.
Sampai dia mau membuka pintu maaf untukmu.
Jadi benar. Ini bukan sekadar kesibukan Sergey. Kakaknya memang masih menutup hati, masih menolak keberadaannya.
"Apa dia benar-benar tak mau melihatku lagi?" suara Nikolai nyaris berbisik.
Natalia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Viktor lebih dulu meletakkan sendok dan garpunya, menatap Nikolai dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Kamu tahu apa yang sudah terjadi, Nik," katanya dengan nada lebih tenang, tapi tegas. "Beberapa hal memang butuh waktu. Dan beberapa luka... mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya."
Hati Nikolai mencelos. Ia menunduk, menatap pantulan cahaya lilin di permukaan meja.
"Jadi, aku harus menunggu?" tanyanya lirih.
"Kamu harus bersabar," jawab Viktor.
Natalia menyentuh tangan Nikolai dengan lembut. "Nik, kami hanya tidak ingin kamu terluka lebih dalam. Kamu tahu sikap kakakmu seperti apa, dia tidak bisa di ajak bicara baik-baik untuk saat ini."
Tapi Nikolai merasa ia sudah cukup terluka. Bertahun-tahun berlalu, namun hubungannya dengan Sergey tetap membeku seperti es di musim dingin. Ia tidak bisa terus begini. Ia tidak ingin terus menunggu tanpa kepastian.
"Aku akan menemui Kak Sergey," katanya akhirnya, suaranya mantap.
"Nikolai-" Natalia tampak khawatir, tetapi Viktor hanya menghela napas panjang.
"Jika itu yang kamu inginkan," kata ayahnya, "jangan berharap dia akan menyambutmu dengan tangan terbuka."
Nikolai menegakkan bahunya. "Aku tidak mengharapkan itu. Aku hanya ingin mencoba."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Di luar, angin malam bertiup perlahan, menggetarkan tirai di jendela besar ruang makan.
thor 😄😄😄😄😄😄