NovelToon NovelToon
Kusebut Namamu Dalam Doaku

Kusebut Namamu Dalam Doaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Janda / Selingkuh / Cerai / Pelakor / Pelakor jahat
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lindungi Mereka

"Baiklah, aku akan pulang," ucap Dito dengan suara berat, mengakhiri percakapan teleponnya dengan Mutia. Ia menatap kosong ke arah jalanan yang ramai, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia enggan kembali ke rumah yang penuh dengan aturan dan kekangan. Di sisi lain, suara Mutia yang lembut dan penuh kekhawatiran membuatnya tak kuasa menolak.

Dito menyalakan mesin mobilnya dan melaju membelah keramaian kota. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, namun tak mampu meredam gejolak emosi di dalam dirinya. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, terpenjara oleh harapan dan impian orang tuanya.

Sesampainya di rumah, Dito disambut oleh tatapan cemas Luluk, mamanya. Wanita paruh baya itu segera menghampiri Dito dan memeluknya erat. "Mama khawatir sekali, Nak. Kenapa kamu pergi tanpa mau mendengarkan Mama?" tanya Luluk dengan suara bergetar.

Dito melepaskan pelukan mamanya dan menatapnya dengan tatapan sendu. "Aku butuh waktu untuk sendiri, Ma. Aku merasa tertekan dengan semua ini," jawabnya jujur.

Luluk menghela napas panjang dan mengangguk pelan. "Mama mengerti, Nak. Tapi jangan pergi seperti ini lagi. Mama sangat menyayangimu," ucapnya lembut.

****

"Mutia, dengarkan Ibu. Kamu tidak boleh lagi berhubungan dengan Dito," ucap Leha dengan nada tegas, memecah keheningan ruang keluarga. Ahmad, ayah Mutia, hanya bisa menghela napas panjang, menatap putrinya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Kamu terlalu baik, Nak. Kamu selalu melihat sisi baik orang lain, bahkan ketika mereka memanfaatkanmu. Ibu tidak mau kamu terus-menerus dimanfaatkan," ucap Ahmad, akhirnya bersuara.

Mutia termenung di kamarnya, pikirannya melayang-layang. Perkataan kedua orang tuanya masih terngiang di telinganya. Ia tahu mereka hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya juga bergejolak, dipenuhi perasaan yang membingungkan.

Sebenarnya, Mutia sendiri pun masih belum yakin dengan perasaannya terhadap Dito. Pria yang jauh lebih muda darinya itu berhasil membangkitkan sesuatu yang sudah lama mati dalam dirinya. Dito mampu membuatnya merasa hidup kembali, merasa dicintai dan diinginkan.

Padahal, sebelum bertemu Dito, Mutia sudah bertekad untuk tidak pernah lagi membuka hatinya untuk pria lain. Ia masih trauma dengan perceraiannya dengan Zulfikar, mantan suaminya. Pria itu telah menghancurkan hatinya, membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.

"Kenapa aku jadi seperti ini?" gumam Mutia pada dirinya sendiri. Ia merasa bingung dan takut. Ia takut jatuh cinta lagi, takut terluka lagi.

Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahagia saat bersama Dito. Pria itu selalu membuatnya tertawa, membuatnya merasa istimewa. Dito mampu melihat sisi lain dari dirinya, sisi yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.

Mutia menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus-menerus berada dalam kebimbangan. Ia harus memilih, antara mengikuti kata hatinya atau mendengarkan nasihat kedua orang tuanya.

****

Di rumah lain, suasana tegang menyelimuti ruang tamu. Zulfikar duduk di sofa, wajahnya dingin dan acuh tak acuh, sementara Lestari, istrinya yang sedang hamil, berdiri di hadapannya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu masih mencintai Mutia, kan?" tuduh Lestari, suaranya bergetar menahan tangis.

Zulfikar mendengus kasar. "Jangan mengada-ada, Lestari. Kenapa kamu selalu mencurigai aku?"

"Karena sikapmu! Kamu selalu melamun, selalu memikirkan masa lalu. Kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku!" teriak Lestari, emosinya meluap.

Zulfikar berdiri, wajahnya memerah karena marah. "Cukup, Lestari! Aku sudah muak dengan kecemburuanmu yang tidak beralasan ini!"

"Tidak beralasan? Kamu yang lemah iman, Zulfikar! Kamu yang tergoda olehku saat kamu masih suami Mutia!" balas Lestari, air matanya mengalir deras.

"Itu masa lalu, Lestari! Jangan ungkit lagi!" bentak Zulfikar, suaranya menggelegar.

"Masa lalu yang masih menghantuimu, kan? Kamu menyesal telah meninggalkannya, kan?" desak Lestari, hatinya terluka.

Zulfikar terdiam, rahangnya mengeras. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada penyesalan dalam hatinya, tetapi ia tidak akan pernah mengakuinya di depan Lestari.

"Aku mencintaimu, Lestari. Aku memilihmu untuk menjadi istriku, untuk menjadi ibu dari anak-anakku," ucap Zulfikar akhirnya, mencoba meredakan amarah Lestari.

"Tapi cintamu tidak tulus, Zulfikar. Cintamu masih milik Mutia," sahut Lestari, suaranya lirih.

****

Lestari menggeram marah, air matanya bercampur dengan dendam yang membara. "Kamu pikir aku akan diam saja, Zulfikar? Kamu salah!" desisnya, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku akan membuat Mutia membayar mahal atas semua ini!"

Zulfikar menatap Lestari dengan tatapan dingin. "Jangan bodoh, Lestari. Jangan lakukan hal yang akan kamu sesali seumur hidupmu," ucapnya memperingatkan.

"Diam kamu! Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan!" bentak Lestari, matanya berkilat penuh kebencian. "Mutia telah merebut kebahagiaanku, dan aku akan merebut kebahagiaannya juga!"

Lestari meraih ponselnya dan menekan beberapa nomor. "Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya dengan suara dingin kepada seseorang di seberang sana. "Aku ingin kamu mencelakai dua anak perempuan. Sephia dan Sania. Usia mereka 12 dan 11 tahun."

"Apa? Kamu gila, Lestari?" Zulfikar terkejut mendengar rencana jahat istrinya.

"Diam, Zulfikar! Ini urusanku!" bentak Lestari, matanya berkilat liar. "Aku ingin Mutia merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan. Aku ingin dia kehilangan orang yang paling dicintainya."

Zulfikar mencoba merebut ponsel Lestari, tetapi istrinya itu dengan cepat menghindar. "Jangan ikut campur, Zulfikar! Jika kamu mencoba menghentikanku, aku akan menyakiti diriku sendiri," ancam Lestari, air matanya mengalir deras.

Zulfikar terdiam, hatinya hancur melihat istrinya yang berubah menjadi begitu jahat. Ia tahu bahwa Lestari tidak main-main dengan ancamannya. Ia terjebak dalam situasi yang mengerikan, di mana ia harus memilih antara melindungi Mutia dan anak-anaknya atau menyelamatkan Lestari dari kehancurannya sendiri.

Lestari tersenyum sinis, menatap Zulfikar dengan tatapan penuh kemenangan. "Kamu lihat, Zulfikar? Aku bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan aku menginginkan Mutia menderita."

****

Malam semakin larut, namun Sephia dan Sania belum juga pulang ke rumah. Mutia duduk gelisah di ruang tamu, matanya terus menatap ke arah pintu, berharap kedua anaknya segera muncul. Hatinya diliputi kecemasan yang mendalam.

"Sudah jam berapa ini, kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Mutia, suaranya bergetar.

Ahmad dan Leha, orang tua Mutia, juga merasakan kekhawatiran yang sama. Mereka duduk di samping Mutia, mencoba menenangkan putri mereka, tetapi wajah mereka sendiri juga menunjukkan ketakutan.

"Mungkin mereka mampir ke rumah teman, Nak. Jangan terlalu khawatir," ucap Ahmad, mencoba menenangkan Mutia.

"Tapi ini sudah larut malam, Ayah. Mereka tidak pernah pulang selarut ini," balas Mutia, air matanya mulai mengalir.

"Kita harus mencari mereka," ucap Leha, berdiri dari duduknya. "Ayo, kita cari mereka bersama-sama."

Mutia mengangguk, menyeka air matanya, dan bergegas keluar rumah bersama kedua orang tuanya. Mereka menyebar, mencari Sephia dan Sania di sekitar lingkungan rumah, tetapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mereka.

Waktu terus berlalu, dan Mutia semakin panik. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada kedua anaknya.

"Ya Allah, lindungilah anak-anakku," bisik Mutia, air matanya mengalir deras. Ia berlutut di pinggir jalan, memohon kepada Tuhan untuk keselamatan kedua anaknya.

1
StepMother_Friend
semangat kak
Serena Muna: makasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!