Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Tenang
Hana menyerahkan uang ongkos pada pengemudi ojek daring. Selanjutnya, ia berjalan menapaki tangga menuju kamar kos yang berada di lantai dua. Setiap langkahnya dipenuhi rasa was-was sejak mengetahui pria yang kerap menerornya dinyatakan bebas.
Ketika hendak membuka kunci pintu, Hana merasakan getaran pada ponselnya. Diambilnya ponsel dari tas, kemudian menggeser layar untuk membuka kunci. Tampak sebuah panggilan masuk dari nomor rahasia muncul dan membuat gadis itu gemetar ketakutan.
Alih-alih mengangkat telepon, Hana segera membuka kunci pintu dan bergegas masuk. Dinyalakannya lampu kos, kemudian mengalihkan pandangan ke tempat tidur. Sontak, Hana terkejut bukan main tatkala mendapati Yudis sedang duduk di sana sambil memegang ponsel dan memandanginya dengan sinis.
"Kamu ...?!" Hana terbelalak, sembari mundur perlahan.
"Hai, sayang! Kenapa kamu nggak angkat telepon dari aku?" Yudis menyeringai, menunjukkan deretan gigi putihnya yang tampak kontras dengan kulit wajahnya yang pucat.
Hana menggelengkan kepala, berusaha menjauh dari Yudis yang semakin mendekat. "Jangan panggil aku sayang! Kita tidak punya hubungan apa-apa!" gertaknya, hingga langkahnya terhenti tepat di depan tembok.
"Oh, ya? Aku rasa kita sangat dekat, Hana. Sangat dekat hingga kamu tidak bisa lepas dariku." Yudis menumpu sebelah tangannya ke tembok di belakang Hana, sambil menatap wajah gadis itu begitu dalam. Tangan kanannya membelai rambut Hana dengan lembut.
Dengan cepat, Hana menepis tangan Yudis. "Jangan sentuh aku!"
Yudis tertawa sinis. "Kenapa kamu ketakutan seperti ini, Hana? Aku cuma pengen ketemu sama kamu. Emangnya kamu nggak kangen sama aku?"
"Kangen? Kamu gila!" Hana menatap nyalang pada Yudis, tubuhnya gemetar ketakutan. "Kamu sudah meneror aku, Yudis! Kamu membuat hidupku tidak tenang!"
"Aku hanya ingin kamu menerimaku, Hana. Hanya aku yang boleh memilikimu." Yudis mengusap pipi Hana, sembari mendekatkan wajahnya ke bibir gadis itu.
Menyadari Yudis akan melakukan perbuatan tak senonoh, Hana segera mendorong tubuh pria itu dan berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, Yudis yang memiliki kekuatan lebih besar dari Hana, segera menarik lengan gadis itu. Dihempaskannya tubuh Hana ke tempat tidur, kemudian menahan kedua tangan gadis itu agar tak bisa berkutik.
"Kamu mau ke mana, Hana? Bukankah akan lebih menyenangkan kalau kita menghabiskan malam ini bersama-sama?" Yudis menatap kedua mata Hana yang tampak ketakutan setengah mati.
"Lepaskan aku atau aku teriak sekarang juga," ancam Hana, berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Ssstt ...! Nggak baik kamu mengganggu tetangga yang sudah tidur," bisik Yudis. "Sebaiknya kamu tutup pintu dan lakukan yang aku mau. Hm?"
"Najis!" Hana meludahi wajah Yudis, lalu menendang tubuh pria itu sekuat tenaga.
Menyadari genggaman Yudis di tangannya merenggang, dengan cepat Hana melepaskan diri dan berguling. Bergegas ia berlari menuju dapur dan mengambil pisau.
Yudis yang hendak mengejar Hana pun menghentikan langkahnya tatkala mendapati gadis itu menodongkan pisau ke arahnya. Ia mengangkat kedua tangan, seolah menyerah di hadapan Hana.
"Pergi atau aku habisi kamu sekarang juga," ancam Hana dengan lantang, meski kedua tangannya masih tampak gemetar.
Yudis tersenyum sinis. "Jadi, kamu mau mencoba membunuh aku?"
"Pergi!" sergah Hana melangkah maju dan lebih berani.
"Oke, oke. Aku bakal pergi dari sini. Tapi, kamu harus ingat satu hal, Hana. Sekeras apa pun kamu menolak, aku nggak akan menyerah buat mendapatkan kamu. Ngerti?" tutur Yudis sembari melangkah mundur.
"Persetan dengan ancaman kamu itu! Sampai kapan pun aku nggak akan nyerah sama kamu!" tukas Hana memelototi Yudis.
Pria itu mengangguk pelan. "Baiklah. Kita lihat saja nanti. Tekad kamu atau ambisiku yang akan menang."
Yudis berbalik badan, kemudian melenggang meninggalkan kos Hana. Cepat-cepat gadis itu menutup pintu dan menguncinya dengan rapat. Sungguh, Hana tak menyangka, bahwa pria itu sudah ada di dalam kos sebelum ia datang. Hana harus pindah dari kos itu, alih-alih membiarkan Yudis melakukan hal yang lebih mengerikan.
***
Keesokan paginya, Hana bergegas mencari kos yang lebih murah dan tersembunyi dari hiruk pikuk jalanan. Bukan itu saja, ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri, khawatir dirinya akan terus menerus diikuti oleh Yudis.
Setelah mendapatkan kos lain yang lebih nyaman dan diyakini menjadi tempat berlindungnya, Hana segera memboyong barang-barangnya. Tak peduli dengan sisa waktu sewa kos sebelumnya, ia hanya ingin selamat dari ancaman pria gila itu.
Menjelang siang, Hana bekerja di kafe seperti biasa. Ia menemui atasannya lebih dulu, untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Tentu saja, keputusan Hana yang mendadak ini menjadi sebuah kejutan bagi atasannya, Bu Mira.
"Kenapa kamu mendadak resign begini? Apa kamu udah nggak nyaman buat kerja di sini lagi?" tanya Bu Mira mengernyitkan kening.
"Saya mau nyari pengalaman baru, Bu. Mungkin di luar sana, saya akan mendapatkan keterampilan yang lebih menjanjikan," tutur Hana, disertai senyum simpul.
"Sayang sekali. Padahal saya senang dengan kinerja kamu yang gesit dan cekatan," kata Bu Mira dengan raut kecewa.
"Ibu nggak perlu menyayangkan keputusan saya, masih banyak di luar sana yang memiliki kinerja lebih bagus dari saya." Hana meyakinkan Bu Mira.
"Baiklah. Berarti ini hari terakhir kamu kerja di sini, ya. Saya harap, kamu mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik di masa mendatang," ujar Bu Mira.
"Iya, Bu. Terimakasih atas kerjasamanya," pungkas Hana, lalu berjalan ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan sebagai pelayan untuk terakhir kalinya.
Mendengar kabar itu, Santi selaku pegawai senior, merasa sedih atas keputusan Hana. Dengan sungkan, ia menghampiri Hana yang sedang menata minuman dan makanan di nampan.
"Hana, kamu beneran mau mengundurkan diri dari sini?" tanya Santi.
"Iya. Kenapa emang?" Hana menoleh.
"Apa yang bikin kamu memutuskan buat resign? Apa kamu udah dapat kerjaan baru yang lebih bagus di luar? Atau ... jangan-jangan kamu takut Yudis datang lagi kemari?" Santi memandang Hana dengan tatapan menyelidik.
Tertegun Hana mendengar pertanyaan Santi. Gadis itu tertunduk lesu sambil mengangguk pelan.
"Kalau cuma gara-gara Yudis, sebaiknya batalkan saja keputusan kamu. Aku sama teman-teman lain bakal berusaha buat melindungi kamu," bujuk Santi, berusaha meyakinkan.
Hana tersenyum pahit pada Santi, seraya berkata, "Enggak, Kak Santi. Aku nggak mau nyusahin banyak orang cuma karena masalah pribadi aku. Akan lebih baik, kalau kalian bekerja lebih tenang tanpa merasa terganggu oleh aku dan Yudis."
"Tapi, Hana--"
Hana bergegas mengantar pesanan pembeli ke meja tanpa menghiraukan permintaan Santi. Dengan ramah, gadis itu menaruh minuman dan makanan di meja pembeli.
Saat hendak kembali ke dapur, Hana tak sengaja berpapasan dengan Yudis yang baru saja datang. Alih-alih memedulikan kehadiran pemuda itu, Hana mempercepat langkahnya. Tentu saja, Yudis yang berjalan tepat di sebelahnya, langsung memegang tangan Hana.
"Kenapa kamu pura-pura nggak kenal gitu, sih? Aku sakit hati, tau!" bisik Yudis di telinga Hana.
Hana menoleh sembari menatap nyalang wajah pemuda itu. "Lepasin atau aku teriak sekarang."
"Tenang saja. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, kok. Aku cuma mau minta sesuatu dari kamu," kata Yudis sembari mengulas senyum tipis.
"Apa?"
"Malam ini kamu datang ke acara perjamuan makan malam sama aku, ya."
"Kalau aku nggak mau, gimana?"
"Aku akan mengulangi perbuatan yang sama ke keluarga kamu."
"Sialan!"
"Jadi, gimana? Setuju atau enggak?"
Hana menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangguk pelan. "Hanya itu saja, kan?"
"Iya."
Hana melepaskan genggaman Yudis, lalu melengos ke dapur kafe.