Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersiksa
Alex’s POV
Aku menghujamkan diriku berkali kali dalam dirinya. Aku merasa Valeria sungguh wanita yang berbeda. Setiap erangan dan desahan yang keluar dari mulutnya membuatku makin keras dan makin ingin memacu diriku diatas dirinya dengan kekuatan penuh. Hingga kami sama sama lelah dan tertidur sampai fajar menjelang.
Malam menjelang pagi ketika aku terbangun dan merasakan hal aneh pada diriku. Ah..ya, ternyata aku tertidur dalam kondisi tanpa busana selembar pun. Disebelahku Valeria masih pulas dan dia juga tertidur tanpa sehelai kain. Kuperhatikan badan nya yang sintal dan menggoda. Entah mengapa tiba tiba terbesit rasa kasihan padanya. Sepertinya aku sudah mempermainkan wanita ini.
Dia tidak berbohong, saat mengaku masih perawan. Pagi itu aku melihat ada bercak darah di atas sprei tempat kami tidur. Dia pasti kesakitan semalam. Tapi aku sudah tidak lagi mampu menahan hasratku yang menggelora dan sejak lama ingin kulampiaskan padanya. Bagiku wanita hanya seonggok daging yang hanya layak dinikmati dan tidak untuk dinikahi. Tidak terkecuali Valeria
Valeria tidak mengenal siapa diriku. Aku adalah laki laki yang tidak akan pernah memberi tempat sejajar bagi wanita di sisiku. Tidak juga untuk istriku. Dalam benakku istri hanyalah sebuah sebutan tanpa makna, dan aku juga tidak ingin punya anak, tidak juga dengan Valeria. Wanita asing yang kukenal sebagai pengacara ternama saat aku mengurus bisnisku di London.
Perkawinan dengannya hanyalah formalitas dan tidak lebih dari itu. Setelah malam ini pun, biarpun aku mendapatkan kegadisannya, tidak berarti serta merta aku membuka diri dan hatiku untuknya. Aku malas jatuh cinta pada wanita mana pun. Aku hanya ingin bermain main dengan mereka. Termasuk dengan Valeria. Aku tidak pernah membayangkan akan serius mencintainya dan memujanya sebagai Kekasih apa lagi Istri.
Aku turun dari tempat tidur, dan melihatnya sekali lagi. Terlintas rasa kasihan, aku sudah merenggut keperawanannya. Ada rasa bersalah yang muncul. Seharusnya tidak kubiarkan diriku terlena dan mencumbunya semalam. Seharusnya dia tidak mempersembahkan kegadisannya padaku. Aku bukan pria yang pantas. Namun aku juga merasa layak mendapatkan keperawanan itu karena dia adalah milikku saat ini. Dia adalah propertiku dan aku sudah membayarnya mahal. Dia sendiri yang ingin kami berperan layaknya suami istri yang sesungguhnya. Itu berarti dia sudah tahu konsekuensi yang akan timbul jika itu terjadi.
Aku membayarnya tidak murah, 20 juta poundsterling untuk peran sebagai istri palsu demi memenuhi persyaratan aneh atas hak waris dari kedua orang tuaku. Sepertinya kedua orang tuaku tidak ingin aku mewarisi harta mereka dalam kondisi sebagai lelaki liar tanpa istri. Dan aku sudah harus menunjukkan keseriusan ku dalam menjalin hubungan dengan wanita sebelum usia 40 tahun. Disinilah aku sekarang, punya istri, yang masih gadis, dan menikmatinya sebagai lelaki pertama yang menerobos keluguannya.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dirasakan oleh Valeria yang mungkin beranggapan setelah malam ini aku dan dia akan menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. No, itu mustahil. Setahun lagi, saat usiaku 41 tahun, aku akan mengajukan gugatan cerai padanya, dengan alasan apapun asalkan dirasa masuk akal. Aku akan menceraikannya dan menikmati kebebasanku lagi.
Paris adalah saksi betapa diriku adalah petualang sejati. Sudah banyak wanita yang kutiduri diatas tempat tidur ini, dan bisa dikatakan tidak ada satupun yang tidak puas dengan permainanku. Bahkan mereka rela melemparkan dirinya padaku tanpa ikatan dan perjanjian khusus. Hanya karena ingin menikmati malam panjang bersamaku.
Bagi Valeria, aku mungkin lelaki pertama yang menidurinya. Tetapi bagiku, dia bukan perawan pertama yang kuterobos. Dia hanyalah satu diantara banyak perawan lain yang pernah kunikmati. Kadang aku merasa puas dan bangga, bahwa secara hitungan aku sudah pernah menikmati keperawanan paling kurang 5 wanita cantik diluar Valeria. Dengan track record macam itu, apakah layak jika Val menuntutku untuk setia dan tulus padanya. Rasanya itu adalah hal yang mustahil. Masih beruntung dia aku bayar dan kehilangan kegadisannya karena pernikahan, meski itu hanya sebuah kontrak bisnis. Dari pada dia mempersembahkan kegadisannya pada pria random yang miskin di luar sana, jauh lebih terhormat jika aku yang menikmatinya dengan status suami sah baik dimata hukum maupun agama.
Sudah seharusnya dia tidak perlu kecewa apalagi merasa dipermainkan. Klausul perjanjian kawin kontrak kami jelas. Bahwa hubungan fisik bukan opsi yang wajib, tetapi bisa dilakukan atas dasar mau sama mau. Dan aku merasa apa yang terjadi semalam sudah mencerminkan hal itu. Yah semoga saja dia tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi perayaan Valentine kami. Dia sendiri yang menginginkan sebuah drama yang sempurna tidak hanya di depan orang, tetapi juga saat kami berdua saja. Dalam hal ini aku sudah mengabulkan apa yang diinginkannya. Kami sudah melakukan sandiwara dengan sempurna.
******
Valerie’s POV
Aku terbangun sendirian di tempat tidur luas yang masih menyisakan jejak kebersamaan kami semalam. Alexander tidak ada di sana. Tidak ada kehangatan, tidak ada kata-kata manis.Hanya selimut berantakan dan perasaan kosong yang mulai menggerogoti hatiku. Perlahan muncul kecemasan dalam hati. Kecemasan atas kebodohanku semalam. Aku tahu bahwa aku kontak fisik diantara kami dimungkinkan dalam Klausul kontrak pernikahan ini hanya atas suka sama suka. Dan parahnya bisa saja itu terjadi tanpa tuntutan.
O My God, aku sudah memberikan keluguanku, kegadisanku pada pria yang bisa jadi hanya menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan romantisme belaka,dan bukan karena jatuh hati atau bahkan cinta.
Aku duduk di tepi ranjang dan dengan mata tertutup kuingat kembali semua detail yang kami lakukan semalam. Aku masih bisa merasakan hangat hembusan nafasnya di sekujur tubuhku, sentuhannya yang membuatku mengalami sensasi dahsyat hingga aku tidak mampu menahan mulutku dari pekikan kecil berkali kali. Sejenak aku merasa terbuai, tubuhku yang luluh lantak karena keganasannya semalam, seperti menjerit mendambakannya lagi pagi ini.
Namun apa yang kudapati pagi ini sungguh bertolak belakang. Dia sudah pergi entah kemana dan sejak kapan aku pun tak tahu. Perlahan kukenakan kembali bajuku yang berserakan di lantai bawah ranjang. Bergegas aku kembali ke rumah utama dan mencari Alex disana. Aku merasa seperti habis manis sepah dibuang tanpa dia disisiku pagi ini.
Aku berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka dan mencoba meneliti apakah ada tatapan sejuk dan penuh kasih seperti tadi malam.
"Kau pergi tanpa mengatakan apa pun?" ujarku perlahan
Alexander melirikku sekilas, ekspresinya dingin, seolah tadi malam tidak pernah terjadi apa apa antara aku dan dia.
"Apa aku harus memberimu laporan tentang setiap gerakanku?" ujarnya dengan nada dingin.
Ku gigit Bibirku, menahan amarah dan perasaan terbuang.
"Aku hanya berpikir setelah apa yang terjadi tadi malam…"
Namun belum selesai aku berbicara Alexander menyela, "Itu tidak berarti apa-apa."
Aku seperti tertampar. Kurasakan wajahku memerah dan panas, kutatap wajahnya yang dingin seraya berkata,” Tidak berarti apa apa?”
Alexander mengancingkan jasnya, lalu melangkah melewatiku tanpa melihat lagi.
“Kita ini hanya pernikahan kontrak, Valeria. Jangan berharap lebih,’ ujarnya enteng seperti dia manusia tanpa perasaan.
Aku menatap nanar ruang kosong yang ditinggalkannya, dan terduduk lesu. Air mataku pun perlahan berhamburan. Aku tiba tiba merasa bingung dan lesu. Apakah aku sudah salah paham dengan sikapnya? Atau aku merasa berlebihan menyikapi peristiwa semalam? Kembali aku hanya bisa diam dan menangis dalam bisu.
******
Hari-hari berikutnya, Alexander semakin menjauh dan memperlakukan ku seperti sesuatu yang bisa dibuang. Dia tidak lagi berbicara dengan ku kecuali di depan publik. Setiap kali aku mencoba membahas hubungan kami, Alexander selalu mengabaikan atau memotong pembicaraan. Aku mulai merasa seperti tahanan dalam pernikahan ini, bahkan lebih parah lagi jiwaku merasa kesepian dan terluka.
Pada suatu saat, kami menghadiri acara makan perusahaan, disana rekan kerjanya mencoba berbicara denganku untuk sekedar mengakrabkan diri sehingga aku tidak hanya terlihat bengong tidak berguna. Tetapi Alex justru menyela percakapan kami dan berkata, "Istriku lebih baik diam saja tentang bisnis. Dia pengacara, bukan pengusaha."
Di lain waktu saat berada di rumah, aku menunggu Alexander pulang, tetapi pria itu sering pulang larut malam tanpa menjelaskan apa pun. Setiap kali aku bertanya, dia hanya melontarkan jawaban tajam.
"Aku tidak harus menjelaskan kegiatanku padamu."
Pada suatu malam, aku telah mencapai batas kesabaran, aku merasa dia sama sekali tidak menghargai perasaanku dan apa yang terjadi diantara kami.
"Kenapa kau bersikap seperti ini? Kau tidak bisa terus memperlakukan aku seperti aku tidak ada!"
Alexander menatapku dingin, lalu mendekat dengan ekspresi tajam.
"Aku memperlakukanmu sesuai dengan posisi yang seharusnya. Ini bukan pernikahan sungguhan, Valeria. Kau hanya ada di sini karena kontrak.”
Aku tersentak mendengar pernyataan itu. Memang semua itu benar, tetapi kami telah begitu dekat dan dia bahkan sudah merenggut kegadisanku.
Tangan Alexander mencengkram daguku, membuatku menatap langsung ke matanya.
"Jangan berharap aku akan mencintaimu."
Aku merasa seolah pernyataan Alexander itu baru saja menghancurkan sesuatu di dalam diriku. Perasaanku, kepercayaanku dan harga diriku. .Mataku terasa kabur berkaca-kaca, tetapi aku tidak tidak akan menangis di depannya.
Dengan suara bergetar,aku membalas perkataannya, "Aku tidak ingin dicintai oleh seseorang yang tidak punya hati seperti kau."
Mendengar perkataanku, Alexander menunjukkan ekspresi terkejut, lalu dia menatapku tajam, sebelum akhirnya dia meninggalkanku seorang diri.
Aku duduk di balkon mansion, menatap langit malam yang gelap, aku merasa seperti tawanan dalam pernikahan ini, tetapi lebih dari itu, aku merasa dihancurkan sedikit demi sedikit oleh Alexander.
Kugenggam cincin pernikahan pemberian Alexander, sembari bertanya-tanya apakah aku bisa bertahan lebih lama dalam situasi ini. Malam ini timbul sebuah kesadaran dalam diriku, sepertinya aku telah mengambil keputusan yang salah dengan menerima Klausul Pernikahan kontrak ini. Terbersit dalam hatiku untuk membatalkan segalanya dan pulang ke london secepat mungkin.
*****