Tolong " teriak seorang wanita bercadar itu ketika mulut berlapis cadar itu didekap seorang pria. setelah berhasil menutup pintu itu ia langsung melempar perempuan itu ke sofa.
Pria asing itu membuka paksa cadar perempuan yang menjadi mangsa saat ini. Ia mendekam wanita ini dengan tubuh besarnya.
pria itu mulai mencium leher wanita itu, gadis itu terus saja memberontak dengan memalingkan wajahnya. Ciuman yang sangat begitu kasar dan sangat brutal.
Ia membuka paksa baju panjang yang perempuan ini kenakan. Dan sekarang nampak perempuan ini itu sudah menampakkan tubuh polosnya tanpa busan.
Gadis itu terus saja memberontak, ia mencoba memukul dan semau cara ia lakukan tapi tidak berhasil. Tenaga pria ini lebih kuat dari dirinya.
Gadis itu terus menangis dan meminta pertolongan. tapi tidak ada sama sekali yang datang menolongnya.
" aku mohon jangan lakukan itu " ucapnya dalam tangisnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon limr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu [ revisi ]
Setelah kepergian dua pria itu dari apartemennya, Aira akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya, dengan cara ini, ia tidak akan membuat kedua orang tuanya kecewa. Walaupun... kemungkinan besar, mereka akan menentang keputusannya nanti.
"Sekarang tinggal menyakinkan Ummi dan Abi," gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Aira beranjak dari sofa, mengambil kunci, dan keluar menuju parkiran. Di dalam mobilnya, tas yang tadi ia tinggalkan masih tergeletak di kursi belakang. Ia mengambilnya, lalu kembali masuk ke apartemen.
🍁🍁🍁
Sementara itu, di kantor Kenzo...
Kenzo duduk di balik meja kerjanya, memeriksa berkas-berkas yang menumpuk. Ekspresinya tenang seperti biasa, tapi pikirannya jauh dari ruangan itu. Ia berusaha fokus, namun bayangan tentang gadis bercadar itu terus mengganggunya.
Di sisi lain, Andre sibuk mengetik laporan, namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah atasannya.
"Cari tahu latar belakang keluarga wanita itu, Andre," perintah Kenzo tiba-tiba.
Andre menoleh cepat. Ia sedikit terkejut, namun tak menunjukkan ekspresi. "Baik, Tuan," jawabnya singkat.
Dalam hati, ia bertanya-tanya. Kenapa Tuan Kenzo ingin tahu lebih jauh tentang wanita itu? Apa ia serius?
Kenzo menyandarkan tubuhnya. Banyak pertanyaan yang mengganggu benaknya. Siapa Aira sebenarnya? Kenapa gadis seperti dia bisa tinggal sendirian di kota besar tanpa keluarga? Apakah orang tuanya tahu? Bukankah biasanya keluarga yang konservatif akan melarang anak perempuan mereka hidup sendiri di tempat seperti ini?
Ia mengusap pelipisnya pelan. Pikiran-pikiran itu tak bisa hilang.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar. Seorang wanita masuk tanpa mengetuk.
"Ada apa kau ke sini? Apa uangmu habis lagi?" tanya Kenzo dingin tanpa menoleh lama. Ia kembali menunduk, membaca dokumen di tangannya.
"Ken, kenapa setiap kali mama datang, kamu selalu membahas uang? Tak bisakah sekali saja kamu bertanya kabar mama? Sudah seminggu kamu tidak pulang. Mama khawatir, Nak."
Kenzo mendesah. "Khawatir? Jangan bercanda, kau tak perlu berpura-pura. Aku tak butuh perhatian dari orang yang bahkan tidak punya hati."
"Apa maksudmu? Mama sungguh khawatir..."
Kenzo menatap tajam ke arah wanita paruh baya itu. "Sudahlah, Ma. Jangan bersandiwara. Memanggilmu 'Mama' saja aku sudah tak sudi."
Wanita itu—Elma—terdiam. Matanya berkaca-kaca.
"Mama harus bagaimana, Nak? Harus bagaimana supaya kamu percaya kalau mama benar-benar menyesal?"
Elma mulai terisak. Tapi Kenzo malah berdiri, menatapnya dengan penuh kemarahan.
"Cukup! Kenzo sudah muak dengan drama air mata seperti ini!" bentaknya.
Ia berjalan ke jendela, menahan napas berat.
"Kau akan selalu menjadi pembunuh di mataku. Dan kejadian itu... tak akan pernah aku lupakan."
Elma membeku di tempat. Tubuhnya lunglai. Ia tahu kalimat itu akan keluar, tapi tetap saja, sakitnya seperti pertama kali mendengarnya.
Lima tahun lalu...
Kenzo baru saja tiba di rumah saat ia melihat sesuatu yang tak pernah bisa ia hapus dari ingatannya.
Saat itu, Elsa—tunangan Kenzo—sedang menelepon seseorang. Ia membicarakan sesuatu yang terdengar mencurigakan, seperti sedang merencanakan sesuatu. Tanpa Elsa sadari, Elma mendengarnya dari balik pintu.
Dengan marah, Elma masuk ke kamar.
"Apa maksudmu?! Menjadikan anakku ATM berjalan? Dasar perempuan tak tahu diri!"
"Bukan begitu, Tante! Elsa cuma—"
"Aku akan bilang semuanya pada Kenzo!"
Elsa yang panik, tak ingin rencananya terbongkar, mengambil gunting dari meja rias. Tangannya gemetar. Saat Elma mencoba mendekat, Elsa mengayunkan tangan dengan niat menakut-nakuti. Tapi Elma menghindar. Saat itulah pintu kamar terbuka.
Kenzo berdiri di ambang pintu.
Dalam detik yang kacau itu, Elsa refleks memeluk Elma dari belakang... dan gunting itu—entah bagaimana—menancap ke perutnya sendiri.
Darah menyembur. Elsa terjatuh.
"Apa yang Mama lakukan?!" teriak Kenzo kaget, matanya melebar, wajahnya pucat.
"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Nak!" Elma panik.
"Ken..." Elsa memanggil lemah. Kenzo segera menghampirinya dan mendorong Elma menjauh.
"Sayang, bertahanlah. Kita ke rumah sakit, semuanya akan baik-baik saja!"
Ia menggendong Elsa, berlari ke mobil, membawa tunangannya ke rumah sakit. Tapi segalanya sudah terlambat.
Elsa menghembuskan napas terakhir di ruang UGD, dan sejak itu, Kenzo tak pernah lagi menatap ibunya dengan pandangan yang sama.
Dendamnya sudah membeku.
Dan rasa percaya... sudah mati.
Lanjut Thor...