Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Bantuan Daniel
Setelah beberapa bulan berlalu, suasana sekolah terasa lebih tenang. Kirana tetap dengan rutinitasnya dengan penuh semangat, mengerjakan pekerjaan rumah, sekolah dan berlatih bersama Ririn di bawah bimbingan Kakek Sapto. Meskipun kegiatannya padat setiap hari, Kirana selalu terlihat semangat. Wajahnya yang cerah dan senyumnya yang hangat seolah menjadi penyemangat bagi siapa pun yang berada di dekatnya. Energi positifnya seperti menyebar ke seluruh sudut sekolah dan membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman jika berbincang dengannya.
Di sekolah Kirana tetap menjadi siswi yang lebih menonjol daripada yang lainnya. Nilai-nilai ulangannya selalu berada di peringkat teratas dan kecantikan alaminya membuatnya sulit untuk diabaikan. Namun yang membuat diri Kirana istimewa adalah kerendahan hatinya. Kirana tidak pernah menyombongkan diri atau merendahkan orang lain. Sikapnya yang ramah dan peduli dengan teman-temannya membuatnya disukai oleh banyak teman sekaligus disegani oleh siswa lainnya.
Suatu siang di kantin sekolah saat jam istirahat pelajaran, Kirana, Ririn dan Dina teman sekelas Kirana duduk bersama di meja dekat jendela. Mereka sedang menikmati makan siang sambil bercakap-cakap. Ririn dan Dina dengan nasi goreng di depannya sedangkan Kirana menikmati bakso urat yang dipesannya tadi.
Ririn tiba-tiba menghela napas panjang sambil menatap Kirana dengan tatapan penuh kekaguman. “Kir… nilai ulanganmu selalu bagus… padahal kamu terlihat santai saja… aku saja sampai begadang semalaman tapi nilai ulanganku masih aja pas-pasan… bagi trik nya dong Kir…!” keluh Ririn sambil mengunyah nasi gorengnya.
Kirana tersenyum lembut dengan matanya berbinar penuh kelembutan. “Aku juga belajar keras Rin… Tapi mungkin yang paling penting adalah kita menikmati prosesnya. Kalau kita terlalu stres malah akan susah konsentrasi.”
Ririn mengerutkan keningnya dan masih penasaran. “Tapi kamu sibuk dengan pekerjaan rumah yang seabrek itu… Apalagi mendengar ocehan Bibi Tari dan Rara setiap hari… ditambah lagi kita sibuk latihan dengan Kakek Sapto. Gimana kamu bisa bagi waktu Kir…?” tanya Ririn kembali menatap Kirana dengan heran.
Kirana menghela napas ringan dan matanya menerawang sejenak memikirkan rutinitas yang dia jalani setiap hari. “Kadang memang melelahkan… Latihan dengan Kakek Sapto bukan hanya soal fisik tapi juga melatih kesabaran dan ketekunan kita. Aku belajar banyak dari beliau,” ujar Kirana sambil menikmati bakso yang dipesannya tadi. Suaranya lembut namun terasa penuh keyakinan.
Ririn memandang Kirana dengan kekaguman yang semakin dalam. “Kamu ini kayak Kakek Sapto saja… Padahal umurmu sama kayak aku … tapi pikiranmu jauh lebih bijaksana… seperti… Kakek Sapto muda… ha… ha… ha…,” ujar Ririn sambil tertawa lepas membayangkan Kirana dengan jenggot panjang seperti Kakek Sapto yang sedang memberikan ceramah.
Kirana ikut tertawa lalu menepuk pundak Ririn dengan lembut. “Jangan bilang begitu Rin… Kamu juga punya kelebihan yang aku nggak punya. Misalnya kamu itu selalu bisa bikin orang tertawa… seperti saat ini… Aku saja sangat bersyukur punya sahabat kayak kamu.
Ririn tersipu malu dan wajahnya jadi memerah. “Ah kamu ini… selalu saja bisa ngomong hal-hal manis,” ujarnya sambil menunduk mencoba menyembunyikan senyumannya yang lebar.
Dina teman sekelas Kirana yang duduk di sebelah Ririn, ikut tertawa. “Iya Kir… kamu itu kayak magnet positif. Semua orang pasti merasa nyaman dekat sama kamu.”
Kirana menggeleng dengan senyum tetap hangat. “Aku cuma berusaha menjadi teman yang baik buat kalian. Kita punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang penting kira saling mendukung dan tidak saling iri.”
Percakapan mereka terus mengalir penuh canda dan tawa sambil menikmati istirahat siang mereka di kantin sekolah. Suasana kantin yang riuh rendah seolah mereda di sekitar mereka dan digantikan oleh kehangatan persahabatan mereka yang tulus.
-----
Suatu siang menjelang sore saat matahari sudah mulai sedikit condong ke barat menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Cuaca sedikit mendung menambah sejuknya hari itu. Namun kesejukan udara siang itu tidak dirasakan oleh Susi. Mobilnya yang biasa dia pakai pulang pergi sekolah tiba-tiba mogok di tempat yang agak sepi dan jauh dari keramaian. Jalanan yang biasanya ramai kiri terasa sunyi dan hanya ditemani suara angin yang berembus pelan. Susi mencoba menyalakan mesin mobilnya berulang kali tapi mobilnya tetap tidak mau hidup. Suara mesin yang hanya berputar-putar tanpa hasil membuatnya semakin frustasi.
“Kenapa harus sekarang…?” gumannya sambil memukul setir mobilnya dengan kesal. Tangannya mulai berkeringat dan perasaan kesal bercampur panik mulai menguasainya. Dia berusaha mencari ponselnya tapi tiba-tiba dia ingat bahwa baterai ponselnya habis sejak siang tadi. Susi menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri tapi rasa cemas itu terus membayang.
“Apa yang harus aku lakukan…?” bisiknya dalam hari dan matanya memandang sekeliling berharap ada seseorang yang bisa membantunya.
Tidak lama kemudian dari kejauhan Susi melihat Daniel dan beberapa temannya mendekat dengan motor yang mereka pakai. Susi merasa lega. Setidaknya ada orang yang dia kenal. “Daniel…! Tolong… mobilku mogok..!” teriak Susi mencoba menarik perhatian Daniel dan teman-temannya. Suaranya terdengar gemetar tapi penuh harap.
Daniel dan teman-temannya mendekat dan memarkirkan motor mereka di dekat mobil Susi. Daniel memandang Susi dan senyum lebar langsung menghias wajahnya. Namun ada sesuatu yang tidak tulus dalam senyumannya. Matanya menyipit dan senyum itu lebih terasa seperti senyum sinis daripada senyum ramah. “Wah kebetulan sekali Sus… Jangan khawatir… akan kami bantu…,” ujarnya dengan nada yang terlalu ramah.
Namun Susi tidak menyadari hal ini. Hatinya hanya dipenuhi rasa senang, apalagi Daniel sudah dari dulu sangat disukainya. Mungkin dengan kejadian ini dia bisa lebih dekat dengan Daniel. “Makasih Daniel… Aku nggak tahu harus ngapain. Mobilku nggak mau nyala dari tadi dan ponselku juga kehabisan baterai,” ujarnya dengan senyum lebar dan mencoba menjelaskan situasinya dengan tenang. Matanya berbinar penuh harap namun ada sedikit rasa gugup.
Daniel melangkah lebih dekat dan diikuti oleh dua temannya yang hanya diam sambil memandang Susi dengan tatapan yang membuatnya sedikit tidak nyaman. “Tenang aja Sus… Kira pasti bisa bantu…,” kata Daniel sambil menepuk bahu Susi dengan sikap yang terlalu akrab. Susi terkejut… walaupun dia suka dengan Daniel, tapi sedikit terkejut dengan sikap Daniel tersebut. Susi berusaha tidak melangkah mundur tapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Hal ini terlihat dari senyum dan pandangan Daniel yang seperti menelanjanginya hingga membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.
Daniel membuka kap mesin mobil Susi dan mengutak-atik mesin mobil itu seperti seorang ahli yang sedang memperbaiki mobil. “Kamu coba nyalain mesinnya Sus… Siapa tahu cuma masalah kecil…,” ujar Daniel sambil menyeringai. Susi mengangguk lalu mencoba menyalakan mobilnya sekali lagi. Tetapi seperti sebelumnya… mobilnya tetap tidak mau menyala.
“Tetap nggak bisa…,” ujar Susi dengan suara mulai terdengar putus asa.
“Daniel menghela napas dramatis lalu berpura-pura berpikir sejenak. “Hmmm… kayaknya masalahnya serius nih. Tapi jangan khawatir Sus… Aku ada solusi…” kata Daniel mencoba menyakinkan Susi. Mata Susi berbinar ada yang bisa membantunya saat ini.
“Solusinya apa…?” tanya Susi tanpa curiga. Susi masih terlalu polos untuk membaca niat tersembunyi di balik senyum Daniel.
Daniel tersenyum lebar lagi dan kali ini lebih lebar dari sebelumnya. “Gampang… kamu akan kami antar pulang… biarkan saja mobilnya di sini. Minta ayahmu nanti mengambil mobilmu dengan derek…,” ujarnya dengan nada tiba-tiba berubah menjadi lebih serius seolah-olah sedang menawarkan solusi yang sempurna.
Susi hanya berpikir sejenak lalu tersenyum. “Baiklah… nanti sampai rumah aku minta ayah mengambil mobilku. Terima kasih atas bantuannya Daniel… Aku nggak tahu gimana kalau kamu tidak tidak datang,” ucap Susi dengan tersenyum lebar. Susi masih terlalu naif untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Daniel tersenyum samar dan matanya berbinar dengan sesuatu yang tidak bisa Susi baca “Ayo naik ke motorku…! Aku antar pulang…! Ayo teman-teman…!” ucap Daniel ke Susi dan teman-temannya.
Susi naik ke motor Daniel dan memegang bahu Daniel dengan sangat erat. Hatinya berdebar-debar campuran antara rasa senang dan sedikit cemas. Dia sangat senang karena akhirnya bisa dibonceng oleh orang yang disukainya, tapi di sisi lain ada perasaan tidak nyaman yang yang tidak bisa dia abaikan. “Terima kasih Daniel…,” ujarnya pelan dan mencoba menenangkan diri.
Daniel hanya mengangguk lalu menyalakan mesin motornya. “Siap…? Ayo kira pergi…,” ujarnya dengan nada yang terdengar biasa namun ada sesuatu yang gelap di baliknya.
Susi memandang ke depan dan mencoba menikmati momen ini. Tapi dalam hatinya ada perasaan was-was yang tidak bisa dia abaikan.
-----
Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Apalah Daniel tulus menolong Susi? Kita ikuti kisahnya pada bab selanjutnya.