Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. SembilanBelas
Setelah selesai membersihkan halaman belakang, Anna berjalan ke kamarnya. Dia duduk di tepi ranjang, mengusap keringat di pelipisnya dan menghela nafas panjang.
“Hari ini benar-benar melelahkan,” gumamnya.
Namun, pikirannya tak bisa tenang. Lamaran Enzio masih terngiang di benaknya, begitu pula perlakuan pria itu di kafe tadi.
Senyumnya.
Wajah tampannya.
Cara Enzio memperhatikannya.
Anna buru-buru menggelengkan kepala, mencoba menepis semua itu.
Dia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Dulu, Enzio selalu bersikap dingin padanya, tapi sekarang segalanya berubah.
Kenapa?
Apakah pria itu benar-benar menginginkannya?
Anna menggeleng lagi. Tidak, dia tidak boleh terbawa perasaan.
“Seharusnya kamu sadar diri, Anna,” bisiknya pelan.
Kenyataannya, dia dan Enzio berasal dari dunia yang berbeda.
Enzio adalah pria terpandang, sementara dia hanyalah seorang gadis biasa yang bekerja untuk keluarganya.
Lagipula, Enzio akan bertunangan dengan Viona.
Apa dia ingin menjadi orang ketiga di antara mereka?
Dia tidak akan pernah melakukan hal sekejam itu. Meskipun Viona bersikap kasar padanya, Anna tetap menganggapnya seperti adik sendiri, seorang gadis labil yang butuh bimbingan, bukan kebencian.
Drrt! Drrt!
Lamunannya buyar saat ponselnya bergetar di atas meja.
Anna mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar.
Ibunya, Sumi.
Anna segera menjawab dengan penuh semangat.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapanya lembut.
“Waalaikumsalam,” jawab Sumi ketus.
Senyum di wajah Anna perlahan memudar. Namun, setidaknya ibunya masih mau berbicara dengannya.
Selama ini, sejak dia berada di Jakarta, dia tidak berani menghubungi Sumi. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ibunya menolak bicara dengannya.
Tapi sekarang, Sumi menghubunginya lebih dulu.
Hati Anna menghangat sejenak.
“Bagaimana kabar Ibu?” tanyanya, berharap ibunya akan menanyakan kabarnya juga.
Namun, harapannya sirna begitu saja.
“Tidak usah basa-basi!” sentak Sumi. “Kamu kerja hampir satu bulan, tapi kenapa belum kirim uang? Apa jangan-jangan kamu tidak berniat mengirimnya?”
Anna meremas ponselnya. Terlalu naif. Seharusnya dia tahu, ibunya tidak menelepon karena rindu.
“Ibu butuh uang untuk berobat dan biaya sekolah adikmu!” lanjut Sumi, nadanya semakin tajam.
Air mata mulai menggenang di sudut mata Anna. Dia pikir ibunya akan bertanya apakah dia baik-baik saja, apakah pekerjaannya lancar…
Tapi ternyata, yang dipedulikan ibunya hanya uang.
Anna menelan ludah, mencoba menjawab dengan suara stabil.
“Ibu, aku belum gajian. Mungkin besok atau lusa. Ibu sabar, ya. Aku janji akan mengirimnya tepat waktu.”
“Halah! Kamu kan bisa cash bon duluan!” bentak Sumi. “Toh, Nyonya Kania sama Tuan Adrian itu baik. Tinggal kamu manfaatkan saja. Begitu saja repot!”
Anna menggigit bibir bawahnya. Meminta uang muka dari Kania atau Adrian?
Tidak, dia tidak bisa melakukan itu.
Mereka sudah sangat baik padanya. Dia tidak ingin terlihat seperti pekerja yang hanya memikirkan uang.
“Pokoknya ibu tunggu sampai besok pagi,” lanjut Sumi tegas. “Kalau kamu tidak mau kirim uang, lebih baik kamu pulang kampung, urus bapakmu yang mulai sakit-sakitan ini dan menikah saja dengan Arman!”
Jantung Anna mencelos.
“Bapak sakit?” tanyanya cemas. “Lalu, apa hubungannya dengan aku harus menikah dengan mas Arman, Bu? Kami tidak punya hubungan seperti itu.”
Sumi mendengus. “Arman melamar mu. Katanya dia sudah lama memendam perasaan padamu.”
Anna terdiam, tangannya gemetar.
Arman bos sekaligus laki-laki yang selama ini dianggapnya sebagai teman.
Laki-laki yang bahkan tidak pernah mengungkapkan apapun padanya sebelumnya.
Sumi melanjutkan tanpa memberi Anna kesempatan bicara.
“Sudah, intinya minta gaji dulu. Soal Arman, kita bicarakan saat kamu pulang nanti. Mengerti?”
Anna menahan napas, berusaha mengatur emosinya.
“Iya, Bu,” jawabnya lirih.
Sambungan terputus.
Anna masih menggenggam ponselnya, tapi pikirannya kosong. Rasanya seperti ditampar keras oleh kenyataan.
Perlahan, tubuhnya terjatuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan mata nanar.
Hanya begitu saja? Tanpa menanyakan bagaimana keadaannya? Tanpa menanyakan apakah dia bahagia?
Tangannya terangkat, menyeka air mata yang akhirnya jatuh dari sudut matanya. Bibirnya bergetar, mencoba menahan isakan.
Sejak kecil, dia selalu berusaha menjadi anak yang berbakti.
Dia rela bekerja keras, meninggalkan kampung halaman demi membantu keluarganya.
Tapi, kenapa rasanya seperti dia hanya dilihat sebagai alat?
Sebagai seseorang yang hanya dihargai saat dia bisa memberikan sesuatu?
“Aku harus bicara pada nyonya dan tuan, sekalian minta izin pulang kampung.”
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Anna bangkit, menghapus air matanya, dan melangkah keluar kamar.
•••••
Anna melangkah menuju halaman belakang, di mana Adrian dan Kania tengah berbincang di dekat kolam renang.
“Tuan, Nyonya,” panggilnya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Adrian dan Kania menghentikan percakapan mereka, menoleh ke arah Anna dengan tatapan lembut.
“Ada apa, Sayang?” tanya Kania dengan nada penuh perhatian.
Anna menarik napas panjang.
“Saya ingin meminta gaji di muka,” katanya tanpa bertele-tele. “Ayah saya sedang sakit, dan adik saya butuh biaya sekolah.”
Sejenak, suasana terasa hening. Sungguh, Anna benar-benar malu saat ini. Anna seperti pengemis di hadapan mantan orang tua asuhnya.
Adrian dan Kania saling berpandangan, lalu kembali menatap Anna.
Kania tersenyum, tanpa ragu mengangguk. “Tentu saja, Anna. Kamu tidak perlu meminta izin untuk hal seperti itu.”
Adrian juga ikut mengangguk, kemudian tanpa banyak tanya, dia mengeluarkan cek dari sakunya dan menandatanganinya.
“Kami akan memberikan lebih,” ucapnya tegas.
Anna tertegun, menatap cek yang kini berada di tangannya. Jumlahnya lebih dari cukup. Bahkan mungkin cukup untuk biaya hidup keluarganya selama beberapa bulan ke depan.
“Terima kasih…” ucapnya hampir tidak terdengar.
Kania mengulurkan tangan, menggenggam jemari Anna dengan penuh kasih sayang.
“Anna, aku masih menganggapmu seperti putriku sendiri. Aku tahu selama ini kami gagal menjagamu, tapi tolong jangan pernah ragu untuk meminta bantuan pada kami.”
Anna mengatupkan bibir, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Dia tidak bisa menangis di sini. Dia harus tetap kuat.
Setelah mengumpulkan keberanian, dia kembali berbicara.
“Saya juga ingin meminta izin untuk pulang kampung, menengok ayah saya,” ujarnya pelan.
Kania sedikit terkejut. “Kamu ingin pulang?”
Anna mengangguk. “Ya, Nyonya. Saya ingin melihat keadaan Ayah secara langsung. Ibu bilang ayah merindukan saya.”
Kania terdiam, lalu mengangguk dengan senyum penuh pengertian. “Tentu, Sayang. Aku izinkan. Tapi pertunangan Enzio dan Viona bertepatan dengan kepulanganmu. Apa kamu tidak ingin menyaksikannya lebih dulu?”
Pertanyaan itu membuat Anna terdiam. Dia tahu bahwa hari pertunangan Enzio sudah ditentukan. Dia juga sadar diri, tidak akan pernah ada tempat untuknya di sisi pria itu.
“Tidak, Nyonya. Kesehatan ayab lebih penting,” jawabnya dengan suara yang hampir bergetar. Anna tidak ingin melihat Enzio goyah hanya karena dirinya ada di sana.
Tidak ingin membiarkan dirinya berharap lebih. Lebih baik Anna pergi dan menjauh untuk sementara sebelum semuanya menjadi lebih sulit.
Enzio menyaksikan percakapan itu. Dia tidak mengatakan apa-apa sejak tadi, hanya duduk di tepi kolam dengan air yang masih menetes dari rambutnya.
Kedua tangannya mengepal erat. Matanya tidak lepas dari Anna. Dia mendengar semuanya. Permintaan Anna untuk pulang. Penolakannya untuk menghadiri pertunangannya dengan Viona.
Dan yang paling menyebalkan adalah keputusan Anna untuk pergi darinya.
“Jadi kamu mau mencoba kabur dariku?” gumamnya.
Enzio ingin berbicara.
Meminta Anna untuk tetap tinggal. Tapi suaranya seakan terperangkap dalam tenggorokannya.
“Silahkan pergi sejauh mungkin, sama seperti kamu meninggalkanku dulu. Tapi jangan lupa, aku akan membuatmu kembali dengan caraku sendiri, Anna.”
Bagaimana rasanya tak dianggap oleh orang tua sendiri dan disanjung saat memberikan sesuatu?? Ah malah curhat😂
yg atu lagi up ya Thor
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️