"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Baru lima menit kelas berakhir. Eva sudah merapikan buku serta laptopnya ke dalam tas. Bersiap untuk keluar dengan Saroh, dua gadis itu akan pergi ke kantin yang sudah di tunggu oleh ke tiga teman mereka. Budi, Doni dan Ajeng.
"Babe,"
Eva menghela napas dan menatap datar seseorang yang memanggilnya.
Janu. Pacarnya itu sudah nangkring di atas pagar tembok depan kelasnya.
"Lo duluan, Roh. Gue nyusul bentar lagi," kata Eva yang di angguki oleh Saroh.
Eva diam menunggu Janu yang berjalan mendekatinya. Sudah ia duga jika pagi ini akan di hadapkan dengan sosok Janu.
"Babe. Lo dari mana semalem?"
Lihat cowok itu. Pertanyaannya enteng sekali seperti tidak melakukan apa pun tadi malam kepadanya.
Lima detik saja Eva tatap Janu, setelahnya dia berjalan begitu saja untuk menyusul teman-temannya tanpa mau menjawab pertanyaan Janu.
Moodnya pagi ini sudah di tata rapi, tak mau berlarut memikirkan pacarnya yang gila itu. Jadi Eva memilih bungkam untuk menjaga moodnya. Karena jika dia ladeni, bisa hancur harinya.
"Babe, lo masih marah?" Janu cekal tangan Eva.
"Pertanyaan bodoh," gumam Eva yang masih bisa di dengar oleh Janu. Namun cowok itu hanya diam saja karena sadar jika dirinya salah.
"Maaf ya? Gue beneran hilang kontrol. Lo tau itu, Beib. Sorry,"
Eva tersenyum sinis. Sorry katanya. Lantas bagaimana dengan hatinya yang masih sakit. Apakah kata sorry itu bisa membuatnya lupa dengan kalimat yang di tuduhkan itu?
"Dah lah, Jan. Jangan ganggu. Gue mau sendiri dulu," kata Eva.
Janu menggeleng. Tangannya sudah di lepas oleh Eva. "Beib, please. Jangan gini. Gue beneran minta maaf," masih berusaha untuk mendapatkan maaf, Janu terus mengikuti pacarnya.
"Jan. Gue lagi nggak mau debat. So, please. Biarin gue sendiri dulu," dengan pelan Eva memohon agar Janu bisa mengerti. Dia hanya ingin waktu untuk sendiri. Tanpa Janu. Biarkan hatinya tenang dulu.
"Nggak bisa," tolak Janu. "Gue nggak bisa lo diemin gini,"
Jangankan membiarkan Eva sendiri tanpanya. Hanya berdua tapi di abaikan karena kesibukan lain saja Janu tidak bisa.
"Jan!" Eva mulai kesal.
"Oh, come on, Beib! Gue udah minta maaf!" seru Janu. Tak pedulikan di koridor ini masih banyak mahasiswa lain yang berlalu lalang melihatnya.
Peduli setan Janu dengan orang lain.
"Terus kata maaf lo langsung bisa ilangin sakit disini?" sarkas Eva seraya menepuk dadanya sendiri. "Really?"
Menggeleng tak habis pikir Eva dibuatnya. Janu satu-satunya manusia gila yang pernah ia temui. Tapi lebih gila lagi karena hatinya masih tidak bisa membenci Janu.
"Lo tau gue cemburu, Evaa," mohon Janu dengan gurat frustasinya. Akui jika salah, tapi tak mau mengelak karena masalah kemarin Eva ikut andil sebagai penyebabnya.
Baru saja Eva akan buka suara, tapi terintrupsi oleh kedatangan Saroh yang lari tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ada apa, Roh?" tanyanya.
"Gawat, Pe. Ajeng!"
"Ajeng kenapa?" Eva berseru panik saat nama Ajeng di sebut oleh Saroh.
"Ajeng di lagi jambak-jambakan di kantin!"
"Arrgh. Asu! Kenapa lagi tuh bocah!" umpat Eva. Berlari dengan Saroh untuk ke kantin. Di belakangnya sudah ada Janu yang ikut berlari.
Janu mengalah, jika sudah berurusan dengan manusia mungil yang namanya Ajeng, sudah pasti pacarnya itu langsung gercep.
Benar yang dikatakan Saroh, sampai di kantin Eva melihat Ajeng yang sedang debat dengan dua perempuan. Rambut Ajeng dan dua perempuan itu sudah berantakan. Disamping Ajeng ada Budi yang mendekapnya.
"Ajeng!" seru Eva. "Ada apasih?" tanyanya.
Ajeng menoleh, wajah sok garangnya langsung luntur setelah melihat kedatangan Eva. Bibirnya mimbik-mimbik mau menangis.
"Ipee. Huhu. Gue di jambak sama sama tuh sundel," adunya sambil menunjuk cewek yang menjadi lawannya. "Padahal dia yang udah jadi pelakor. Dia selingkuhannya Daren. Huhu,"
Eva menghela napas lelah. Melirik cewek yang memang jadi selingkuhan si Daren. Mantannya si Ajeng yang baru saja putus tadi malam.
Tadi malam selain Eva yang galau, juga ada Ajeng yang meraung-raung menangisi pacarnya yang ketahuan selingkuh. Dua gadis itu menjadikan rumah Budi sebagai tempat pelampiasan galaunya.
"Lo jambak temen gue?" tanya Eva ke Ratna, cewek selingkuhan Daren.
"Temen lo ngelabrak gue duluan. Dia nyalahin gue dan nuduh gue pelakor!" jawab Ratna sambil berseru kesal.
Eva mengernyit heran saat menatap Ratna. "Ya wajar lo di labrak. Lo tau kalo Daren pacarnya Ajeng, tapi masih lo embat juga. Gimana sih?" masih santai Eva menjawabnya. Hanya dengusan geli saja yang ia berikan ke Ratna.
Daren itu satu jurusan dengan Ratna. Satu gedung juga dengan Eva. Dan siapa yang tidak tahu jika Daren itu pacaran sama Ajeng. Hubungan keduanya masih satu bulan. Tapi sudah kandas karena Daren ketahuan selingkuh dengan Ratna.
Janu yang awalnya berdiri di samping Eva, mundur perlahan. Menggeser satu kursi yang tak jauh dari keributan itu. Duduk disana akan menikmati pacarnya yang akan mulai beraksi.
Janu itu sangat suka sekali melihat Eva jika sudah dalam posisi mau gelud begini. Pacarnya itu berkali kali lipat lebih seksi jika sudah menunjukkan keberaniannya.
"Ya jangan salahin gue, dong! Si Daren yang ngedektin gue duluan. Dia yang ngejar-ngejar gue!" ini nih, contoh para betina labil. Sudah tahu salah tapi masih tak mau mengaku salah.
"Pe. Udah!" seru Budi. Sudah banyak warga kampus yang menontonnya. Mereka sampai tak peduli dengan makanan masing-masing, lebih tertarik untuk melihat pergelutan para betina rupanya.
"DIem!" sentak Eva dan Ajeng dengan kompak, membuat Budi meringis.
"Tapi lo sadar kan, kalo Daren masih pacarnya Ajeng?" tanya Eva.
"Temen lo tuh ngebosenin. Wajar kalo Daren cari yang lebih menarik. Jangan salahin gue lah! Daren juga yang ngejar-ngejar gue ya!"
Eva menahan tangan Ajeng yang sudah mau maju. Memintanya untuk diam saja.
"Gini ya, Rat. Daren tuh anjing. Lo tau kalo anjing suka jilat-jilat. Bukannya lo ngejauh, malah lo jilat balik. Sama aja lo kek biadab itu. Sama-sama anjeng! Sampe sini paham lo?" seru Eva.
Tadi sudah di bilang dia tata rapi moodnya. Tapi si Janu datang mengusik dan ngeyel tak mau mendengar permintaannya yang sepele. itu mood sudah anjlok jadinya. Mau ngamuk ke Janu tapi sudah ke serobot datangnya kabar Ajeng di jambak. Sama pelakor pula.
Ya habis itu mood gila Eva di lampiaskan ke Ratna.
"Lo tuh yang anjeng!"
"Begini nih kalo manusia yang otaknya isi selangkangan. Udah salah, bukannya minta maaf, malah bangga merasa dirinya benar. di sini yang jadi selingkuhan itu elo, kampret!"
Di kursi, dengan santainya Janu tersenyum tipis. Tidak salah memang hatinya berlabuh ke gadis itu. Pesona pacarnya sungguh sangat kuat.
"yaelah, si gendeng malah duduk anteng. Seret cewek lo, bego!" semprot Budi yang kesal melihat Janu, bukannya melerai malah asyik nontonin Eva. Kena geplak itu bahunya Janu. "Anak orang bisa mimisan kena bogem cewek lo, Jan!" sentaknya lagi.
"Keren emang cewek gue," sahut Janu tanpa beban, tak mengindahkan sama sekali peringatan dari Budi.
Padahal di kerumunan itu sudah jelas-jelas Eva mengunci tangan Ratna yang mau mampir untuk menampar pipinya. Sedangkan Ajeng sudah jambak-jambakan lagi sama teman Ratna.
"Sarap emang lo, Jan!"
Janu mengedikan bahunya. Dia akan maju jika sudah saatnya. Selagi yang jadi lawan pacarnya itu masih perempuan, Janu mah santai saja. Pasti pacarnya yang menang.
Beda urusan jika sudah lawan jenis yang ikut masuk, Janu tidak akan tinggal diam untuk menjadi tameng pacarnya.
Budi kuwalahan, yang gelud empat orang. Dia hanya sendirian melerainya. Melarang Saroh untuk tidak ikut campur, karena gadisnya itu terlalu lemah. Sekali kena dorong langsung oleng.
Mengumpat keras Budi karena banyak penonton tapi tidak ada yang mau melerai.
Janu baru beranjak ketika sudah dirasa cukup untuk pacarnya itu mengeluarkan emosi. Berjalan santai ke arah lima orang itu.
"Beib, udah." katanya. Menarik tangan Eva, lalu mendekapnya karena Eva tak mau berhenti. Belum puas agaknya untuk lampiaskan emosi.
Janu beralih melirik ke Ratna. "Cabut," suruhnya dengan datar.
Ratna mendengus kasar. Nyalinya tak cukup berani untuk mengomeli Janu. Lagian siapa yang tidak tahu Janu. Selingkuhan Daren ini masih ingin hidup tenang.
Dengan perasaan dongkol, Ratna menarik temannya. Pergi begitu saja dengan sorakan pelakor yang melekat di telinganya.
"Bisa lepasin nggak? Tuh sundel udah pergi!" sarkas Eva. Modus sekali si Janu. Ratna sudah hilang tapi pelukannya masih erat.
"Seksi banget ceweknya Janu,"
Cup.
Tak punya malu sama sekali si Janu ini. Dia baru melepaskan Eva setelah mencium pipi gadis itu. Di depan banyak orang pula.
"Brengsek lo!" amuk Eva yang langsung pergi begitu saja.
DIkira kesalnya sudah hilang apa ya? Meski sudah di lampiaskan ke Ratna, bukan berarti emosinya ke Janu sudah hilang.
"Beib. Eva!" Janu berdecak dan mengejar pacarnya.
"Tuhaaan. Drama pelakor kelar, sekarang malah lanjut drama pasangan gila. Ampun dah gue!" keluh Budi yang melihat Eva dan Janu debat di ujung sana.
"Huhu .. Bud. Rambut guee,"
Makin puyeng si Budi yang ditambahi rengekan dari Ajeng.
"DIem kagak? Udah tau bocah, malah sok sok an gelud. Nanges kan sekarang?"
Ajeng mencebik. Beralih mengadu ke Saroh dengan reekannya.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..