NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Verio menatap hujan yang mengguyur di luar penginapan dengan ekspresi datar, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, lamunannya terhenti ketika suara ketukan terdengar di pintu.

Dengan sigap, Verio mendekati pintu, suaranya dingin saat bertanya, "Siapa?"

"Maaf, Tuan. Saya membawa pesanan Anda. Dua porsi makan malam dan satu set pakaian anak perempuan," jawab suara pria dari balik pintu.

Verio mengintip sejenak melalui lubang kecil sebelum membuka pintu. Dua pengurus penginapan berdiri di sana, memegang tray makan malam dan sebuah paperbag. "Terima kasih," ucap Verio pendek, mengambil barang-barang itu tanpa basa-basi, lalu menutup pintu dengan bunyi 'blam.'

Ia berjalan mendekati Ragna yang masih duduk di ranjang. Dengan gerakan santai, Verio melemparkan paperbag itu ke arahnya. Ragna menangkapnya dengan kedua tangan, keningnya berkerut bingung.

"Apa ini, Pa?" tanyanya penasaran.

"Pakaian untukmu," jawab Verio sambil mulai menata piring-piring makan malam di atas meja kecil di dekat jendela.

Ragna membuka paperbag itu dengan hati-hati, lalu matanya berbinar saat melihat dress hijau cantik di dalamnya. Ia memandangi pakaian itu dengan kagum, jemarinya menyusuri kain lembutnya. Pakaian seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

"Terima kasih, Papa," ucapnya tulus, senyumnya kecil namun begitu berharga.

Verio meliriknya sekilas sebelum berkomentar dengan nada sarkas, "Itu untuk dipakai besok. Aku nggak mau orang bilang aku menelantarkan anak karena pakaiannya robek."

Ragna mengangguk pelan dan dengan hati-hati melipat kembali dress itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di dekat ranjang.

"Ayo, makan," ajak Verio sambil duduk di kursi dan mengambil garpu.

"Papa duluan saja. Aku makan setelah Papa selesai," sahut Ragna santai, menggoyangkan kakinya di tepi ranjang. Setelah itu, ia merebahkan diri, meregangkan tubuhnya seperti seekor kucing yang baru saja menemukan tempat nyaman.

Verio menatapnya sejenak, lalu menggeleng kecil, tak bisa menahan senyum samar di balik wajah dinginnya. "Dasar bocah aneh," gumamnya

Verio melirik sekilas ke arah Ragna yang sedang merebahkan diri di ranjang. Bibirnya sedikit terangkat dalam senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Namun, ia tak berkata apa-apa dan mulai mendekati bocah itu.

Ragna yang asik menatap langit-langit penginapan menoleh ke arah Verio yang menjulang di atasnya. Tanpa ragu, pria itu mengangkat tubuh kecil gadis itu ke pelukannya.

"Tubuhmu ringan sekali." Komentarnya sambil membawa Ratna menuju meja makan dadakan, "Kau sekarang putriku. Tidak ada salahnya makan bersama."

Ragna terdiam. Sejak tinggal di panti asuhan, dia selalu makan sendirian dan paling akhir. Bahkan saat diadopsi pun, gadis kecil itu selalu makan paling akhir dan mendapatkan makanan sisa.

Verio mendudukan Ragna di kursi yang berhadapan dengan Verio. Ia memandang piring berisi makanan yang terhidang di hadapannya dengan tatapan ragu-ragu. Ini adalah makanan yang terlihat jauh lebih enak daripada apa yang biasa dia makan di panti asuhan maupun saat di adopsi dulu. "Papa yakin aku boleh makan ini?" tanyanya pelan.

Verio yang kini sudah duduk di hadapan gadis itu mengangkat sebelah alisnya. "Kau pikir makanan ini untuk siapa lagi? Ayo makan, atau aku yang akan memakannya."

Ragna tersenyum kecil dan mulai menyantap makanannya. Setelah beberapa gigitan, matanya berbinar. "Ini enak sekali!" serunya dengan antusias.

"Jangan terlalu terkesan. Itu cuma makanan penginapan biasa," komentar Verio datar sambil menyuap makanannya, meskipun ada nada samar kepuasan dalam suaranya melihat Ragna menikmati makanan itu.

Setelah selesai makan, Ragna kembali ke ranjang, menatap Verio yang sedang membereskan meja. "Papa selalu seperti ini ya? Dingin tapi baik," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Verio berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Aku bukan orang baik, Ragna. Jangan salah paham."

"Tapi Papa berbeda," balas Ragna cepat, matanya penuh keyakinan. "Papa tidak seperti mereka."

Verio tidak menjawab, hanya kembali mengalihkan perhatiannya pada jendela. Di luar, hujan masih mengguyur deras, membentuk irama monoton yang entah kenapa terasa menenangkan. Di dalam kamar itu, meskipun tanpa kata-kata lebih lanjut, ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang di antara keduanya.

🐾

"Ayah, jangan Ayah! Kumohon!" Ragna berlutut sambil memegang kaki seorang pria yang berdiri menjulang di hadapannya. Di sebelah pria itu, seorang wanita dengan dress putih mewah bergelayut manja di lengannya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang penuh manipulasi.

"Sayang, apakah permintaanku ini terlalu berlebihan? Aku hanya ingin dia melompat dari kapal ini. Bukankah dia anak yang tidak kau inginkan? Aku yakin, dia bisa berenang. Lagipula laut ini tidak terlalu dalam," ucap wanita itu dengan nada santai, tatapannya berbinar seolah-olah sedang meminta hadiah.

Ragna menggeleng kuat, air matanya bercucuran. "Jangan, Ayah! Jangan! Aku mohon, jangan lempar aku! Aku janji akan hidup seperti tikus mati, seperti yang Ayah inginkan! Kumohon, Ayah!"

Namun, tubuhnya terasa tertarik, seperti ada yang menyeretnya. Kepanikan membuncah di dadanya hingga suara hangat seorang pria dewasa perlahan menyelinap di pendengarannya.

"Ragna! Bangun, Ragna!"

Ragna tersentak. Nafasnya tersengal saat pandangannya bertemu dengan wajah Verio yang berada tepat di atasnya. Wajah pria itu sedikit panik, dan tangannya menggenggam kedua bahu Ragna dengan erat. Ragna merasakan wajahnya basah-mungkin karena air mata atau keringat dingin.

"Eh? Ada apa, Pa?" tanyanya dengan suara serak, khas orang yang baru saja bangun dari tidur.

Verio mengerutkan alis, tatapannya dipenuhi kebingungan bercampur kekhawatiran. 'Ada apa dengan anak ini?' pikirnya. Saat Verio hendak memejamkan mata tadi, Ragna tiba-tiba berteriak keras dalam tidurnya, wajahnya basah oleh air mata.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau kenapa? Mimpi buruk?" tanya Verio dengan nada sedikit tegas, meski raut wajahnya menunjukkan keprihatinan.

Ragna menunduk sejenak sebelum tersenyum tipis, senyum yang tampak rapuh. "Tidak apa-apa, Pa. Hanya mimpi buruk biasa. Maaf, sudah mengganggu tidur Papa."

Verio menatapnya lekat-lekat, seperti mencoba membaca sesuatu di balik senyum gadis itu. Ia mendesah pelan, lalu mengusap kepala Ragna dengan lembut. "Kalau memang mimpi buruk, kau tidak perlu menanggungnya sendiri. Tidur lagi. Aku di sini."

Ragna menatap Verio dengan ragu, namun perlahan-lahan ia membaringkan tubuhnya kembali, memeluk bantal erat-erat. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia benar-benar aman sekarang. Di tengah kesunyian kamar, suara hujan yang turun perlahan menjadi pengantar tidur mereka, meski kegelisahan tetap mengintip di sudut hati kecilnya.

"Tidurlah. Malam masih panjang. Aku akan menemanimu di sini," ujar Verio dengan nada datar, meski ada kelembutan yang terselip di dalam kalimatnya.

Pria itu duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap punggung Ragna perlahan, seolah mencoba menyalurkan rasa aman dan ketenangan pada gadis kecil itu. Sentuhannya hangat, meski sikapnya tampak tetap tenang dan terukur.

Ragna mengangguk pelan. Matanya mulai terpejam sambil menguap kecil, tubuh mungilnya perlahan-lahan tenggelam ke dalam kasur yang empuk. Sebelum benar-benar tertidur, suara pelan terdengar dari bibirnya, hampir seperti bisikan.

"Terima kasih, Pa."

Verio terdiam sejenak, menatap wajah kecil yang kini tampak damai dalam tidur. Ia menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela, di mana hujan masih mengguyur deras, menciptakan irama monoton yang mengisi kesunyian kamar.

"Mungkin... aku bisa melakukan ini," gumam Verio pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Sebuah harapan kecil muncul di hatinya, meski masih diselimuti keraguan.

Ia tetap di sana, duduk tanpa suara, memastikan kehadirannya cukup untuk menghalau setiap mimpi buruk yang mungkin kembali menghampiri anak itu.

🐾

Pagi datang menjelang dengan gerimis masih setia membasahi kota. Di sebuah penginapan kecil, terdengar suara ribut dari kamar yang dihuni Verio dan Ragna. Gadis kecil itu tampak mengembungkan pipinya sembari memainkan busa sabun dengan ekspresi kesal, merasa kalah berdebat dengan pria yang kini resmi menjadi ayahnya.

Sementara Verio tampak menggosok tubuh bocah itu dengan hati-hati dan lembut, namun pikirannya melayang entah kemana.

Bagaimana tidak, Verio membangunkannya terlalu pagi dan menyuruhnya segera bersiap. Ragna yang masih setengah mengantuk, menguap kecil sebelum berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Namun, setelah lima menit berlalu, tak terdengar suara air mengalir dari dalam. Karena curiga, Verio memutuskan mendobrak pintu kamar mandi, khawatir gadis kecil itu malah tertidur di dalam.

Saat pintu terbuka, Verio mendapati pemandangan yang membuatnya hanya bisa menghela napas panjang. Ragna berdiri di depan bathtub, tangan mungilnya berusaha keras menjangkau keran air yang posisinya terlalu tinggi untuknya.

"Kenapa kau tidak pakai shower saja?" tanya Verio dengan nada datar, membuat Ragna menoleh.

"Aku nggak sampai, Pa," jawab Ragna polos, mendekati shower untuk membuktikan ucapannya. Ia mengangkat tangannya setinggi mungkin, namun tetap tak berhasil menjangkaunya. "Papa lihat, kan?"

Verio menyilangkan tangan di dada, senyum tipis terukir di wajahnya. "Oh, jadi kau pendek ternyata."

Ragna langsung mengernyitkan alis, ekspresi wajahnya berubah kesal. "Aku nggak pendek, Papa! Aku cuma belum tumbuh! Nanti aku pasti lebih tinggi dari Papa!" balasnya dengan semangat, meski wajahnya mulai memerah karena malu.

Verio mendengus kecil, nadanya santai namun terdengar menyindir. "Iya, iya. Pendek tapi banyak alasan."

"Papa!" seru Ragna kesal, menatap Verio dengan mata melotot kecil.

"Kau lambat sekali. Sudah, biar aku yang mandikan," ujar Verio sambil menghidupkan keran air di bathtub.

"Jangan! Aku bisa mandi sendiri!" tolak Ragna cepat, tubuhnya mundur beberapa langkah.

"Kau sudah menghabiskan waktu lima menit cuma untuk menjangkau keran. Kalau dibiarkan, kita akan menginap semalam lagi di sini. Itu artinya, aku rugi," ucap Verio santai sambil menarik lengan Ragna pelan untuk mendekatinya.

Ragna hanya bisa mendengus pelan, namun akhirnya menyerah. "Baiklah... Tapi jangan lama-lama, ya!" gumamnya dengan nada enggan, sembari menunduk.

Verio hanya menggeleng kecil, tak menyangka akan memiliki pagi yang seberisik ini.

Begitu Verio menyibak pakaian atas Ragna, langkah tangannya seketika terhenti. Matanya membeku saat melihat lebam yang mulai memudar dan bekas luka berwarna keputihan di punggung kecil gadis itu. Seolah tak percaya, Verio menarik pakaian Ragna sedikit lebih tinggi untuk memastikan. Namun, karena terlalu tua dan rapuh, pakaian itu robek dengan mudah, membuat punggung Ragna terlihat jelas.

Saat itu, waktu terasa berhenti. Wajah Verio mengeras, pandangannya terpaku pada punggung gadis kecil yang penuh dengan bekas luka seperti cambukan dan lebam yang memudar. Di sudut perutnya, samar-samar terlihat bekas memar yang juga mulai hilang.

Verio menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun, pikirannya berteriak keras, "Apa yang sudah dia lalui?" Wajah tenangnya tak dapat menyembunyikan tatapan penuh kemarahan yang perlahan muncul.

Dia mengangkat pandangannya ke wajah Ragna. Gadis kecil itu menunduk, tangannya meremas ujung pakaian yang tersisa. Wajahnya pucat, dan ada kilatan ketakutan di matanya yang membuat Verio terdiam lebih lama.

"Kau... Kau terluka seperti ini, tapi tidak bilang apa-apa padaku?" Verio berbicara dengan suara serak, nadanya penuh keterkejutan yang bercampur amarah, namun tidak diarahkan pada gadis itu.

Ragna menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku... Aku baik-baik saja, Pa," gumamnya pelan, tapi matanya menghindari tatapan Verio.

Perkataan itu hanya menambah rasa sesak di dada Verio. Dia menatap gadis kecil itu, mencoba mencari jawaban. Apa yang telah mereka lakukan padamu? Namun, dia tahu, memaksa gadis itu berbicara sekarang hanya akan membuatnya semakin terpojok.

Dengan gerakan pelan, Verio menarik napas panjang dan memeluk Ragna, melingkarkan lengannya dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka-luka itu. "Maaf, Ragna. Maaf aku terlambat datang," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Gadis kecil itu membeku di pelukannya, matanya membelalak kecil. Perlahan, ia mulai merasa bahwa kehangatan yang ditawarkan Verio berbeda. Ini bukan lagi kasih sayang semu yang ia kenal, tetapi perlindungan yang tulus. Satu-satunya kata yang terucap darinya hanyalah, "Papa..."

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!