Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10
Suara gemerisik daun-daun mangga yang tumbuh berjejer di depan asrama terdengar menenangkan kala semilir angin sesekali menyambangi terik matahari siang hari. Langit begitu cerah. Awan sepertinya enggan menetap ataupun sekedar menyambangi birunya langit.
Di dalam asrama, hanya terlihat beberapa orang santri yang masih duduk di bawah pohon mangga sambil menikmati minuman dingin. Selebihnya, mereka memilih tidur atau sekedar menghabiskan waktu siang di dalam kamar masing-masing.
Fahira Hidayati nampak cantik setelah sedikit berdandan sehabis mandi beberapa waktu lalu. Tak ada lagi make up tebal seperti yang terlihat kemarin sore. Hanya sedikit tambalan pada bintik hitam di pipi sebelah kirinya. Fahira Hidayati benar-benar merasa tidak percaya diri dengan bintik hitam itu. Padahal obrolan siswa di sekolahnya, bintik hitam itu menambah eksotis wajahnya.
Seharusnya ia mempergunakan siang ini untuk istirahat. Mengingat tadi malam dia hanya tidur beberapa menit saja. Tapi entahlah, sehabis shalat tadi ia sudah berusaha memejamkan matanya tapi tetap tak bisa. Malah hawa panas membuat sekujur tubuhnya berkeringat. Ia pun memilih mandi. Rencananya ia akan menjemput Amelia di kamarnya dan mengajaknya duduk di salah satu pohon mangga yang tumbuh paling ujung asrama. Kebetulan para santri sedang menikmati tidur siang mereka.Ini lah waktu yang tepat untuk memberitahukan Amelia masalah yang sedang ia rahasiakan. Siapa tahu ada jalan keluar yang akan diberikan oleh Amelia. Tapi yang jelas, ia berharap Amelia tidak menyalahkannya.
Fahira Hidayati melangkah mendekat ke arah cermin yang digantung di dekat pintu kamar. Ia mendesah kesal saat kembali melihat bintik hitam di pipi kirinya.
"Assalamualaikum!"
Fahira Hidayati terkejut dan memegang dadanya. Tatapannya tajam melihat Amelia yang tiba-tiba saja sudah berdiri di luar kamar.
"Astaghfjrullah, bisa gak batuk dulu atau mendehem dari jauh dari pada ucap salam tapi tiba-tiba seperti ini. Kaget tahu," kata Fahira Hidayati sambil mendekat dan mencubit perut Amelia. Amelia yang dicubit keras setengah berteriak meminta ampun sambil berusaha menahan tangan Fahira Hidayati.
"Maaf, maaf. Habis, dari tadi aku lambaikan kamu tanganku gak noleh-noleh. Makanya aku langsung samperin kamu kesini," kata Amelia sambil perlahan menjauhkan tangan Fahira Hidayati dari perutnya.
"Gak lihat," jawab Fahira Hidayati singkat dan kembali menghadap ke cermin.
"Bagaimana gak lihat. Dari tadi aku lihat kamu mengaca terus," kata Amelia. Fahira Hidayati tidak menjawab. Dia asik memperbaiki jilbabnya.
"Memangnya mau kemana siang-siang begini. Cantik. Lebih cantik sepuluh kali ketimbang yang kemarin. Kamu itu cantik alami. Jadi alaminya hilang kalau dipakaikan make up," kata Amelia terus mengoceh sendiri. Bukannya menjawab, Fahira Hidayati menarik tangannya dan mengajaknya berjalan menuju rerimbunan pohon mangga.
"What? Sudah cantik-cantik begini ujung-ujungnya berakhir di sini?" kata Amelia mempermainkan kedua tangannya saat mereka berhenti di bawah pohon mangga yang tumbuh paling ujung.
"Sudah, duduk. Kamu mau aku cerita enggak," kata Fahira Hidayati sambil menarik tangan Amelia mengajaknya duduk. Mendengar itu, Amelia segera duduk. Fahira Hidayati menoleh ke sekelilingnya.
Fahira Hidayati mengambil nafas panjang. Untuk sesaat hanya terdengar kesiar angin di dedaunan pohon. Fahira Hidayati menoleh dan meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Amelia.
"Ini memang akan terdengar konyol di telingamu. Tapi aku tahu kamu adalah teman terbaikku. Kamu sudah bisa merasakan apa yang aku rasakan. Dan aku yakin kamu sudah tahu sebelum aku memberitahukannya," kata Fahira Hidayati memulai pembicaraannya dengan suara bergetar. Amelia tersenyum. Ia memegang tangan Fahira Hidayati erat hendak menguatkan.Amelia mengangguk-anggukkan kepalanya seperti sedang meminta Fahira Hidayati melanjutkan pembicaraannya.
"Dari sejak kita masih duduk di kelas satu aliyah, aku sudah mengagumi seseorang." Kening Amelia mengerut. Dia tak ragu lagi. Yang dimaksud Fahira Hidayati pasti Ustadz Pahlevi.
"Perasaan mengagumi itu tidak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun aku sudah mencoba menjalin cinta dengan beberapa orang, dengan harapan aku bisa mengubur rasa kagum itu, tapi aku tetap tak bisa. Rasa kagum itu tetap ada. Hingga pada suatu hari aku baru menyadari bahwa rasa itu bukan sekedar kekaguman saja. Rasa itu telah menjelma menjadi rasa cinta dan rasa ingin memiliki. Rasa itu semakin kuat hingga hari ini," lanjut Fahira Hidayati bercerita panjang.. Amelia semakin erat memegang tangan Fahira Hidayati.
"Siapa laki-laki yang beruntung itu, Fahira," tanya Amelia sembari tersenyum.
Fahira Hidayati menghela nafas panjang dan tersenyum. Matanya terlihat berbinar-binar.
"Aku yakin kamu sudah tahu, Mel. Aku malu jika harus menyebut namanya," kata Fahira Hidayati. Amelia memalingkan pandangannya ke arah depan. Dia masih berpikir apakah akan berlagak tidak tahu atau ia langsung akan menyebut nama bersangkutan. Tapi semoga saja ia salah. Bukan nama itu yang dimaksud Fahira Hidayati.
Setelah untuk lama terdiam. Amelia kembali menatap Fahira Hidayati.
"Ustadz Pahlevi?"
Fahira Hidayati menundukkan kepalanya malu. Air mata tiba- tiba jatuh membasahi gamisnya. Amelia menghela nafas panjang. Ternyata memang benar. Orang itu adalah Ustadz Pahlevi. Begitu dalam perasaan Fahira Hidayati sampai-sampai meneteskan air matanya.
" Maaf, Fahira. Kamu hanya sekedar cinta, kan? Kamu tidak berpikir jauh untuk memilikinya?" tanya Amelia. Tetap memegang erat tangan Fahira Hidayati. Fahira Hidayati hanya menjawab dengan semakin banyak air mata yang menetes. Amelia menoleh sekelilingnya. Takut ada yang memperhatikan mereka. Melihat Fahira Hidayati yang mulai sesenggukan, Amelia segera merangkulnya.
"Sudah. Apapun yang kamu lakukan. Jika itu baik, akh akan mendukungmu. Ayo, hentikan tangisanmu. Jangan sampai teman-teman yang lain melihat kita," kata Amelia sambil mengusap-usap kepala Fahira Hidayati. Sekali waktu, diusapnya air mata Fahira Hidayati dengan tangannya.
"Tenangkan dirimu agar kita bisa mencari solusi untuk masalahmu ini," sambung Amelia. Fahira Hidayati mengusap air matanya. Untuk sejenak ia berusaha menenangkan diri dan menghentikan tangisannya.
"Aku tahu Ustadz Pahlevi sudah berumah tangga. Aku tahu aku akan jadi perusak rumah tangganya. Tapi aku juga tidak mengerti dengan perasaan yang begitu lama ini. Rasa yang tidak bisa hilang dengan kehadiran rasa yang lain. Hingga pada akhirnya aku membuat kesimpulan. Tuhan punya kehendak lain atas perasaan ini. Jika Ustadz Pahlevi adalah jodohku, maka aku bukan seorang perusak rumah tangga orang. Karna jodoh, ajal dan rizki sudah ditentukan Allah. Ustadz Pahlevi adalah jodoh bersamu dengan Bik Zulaikha," kata Fahira Hidayati panjang lebar dengan nada suara menahan tangis.
Amelia melihat dan mendengarkan cerita Fahira Hidayati dengan mata berlinang penuh haru. Sesekali di dekatkannya tubuh Fahira Hidayati dan memeluknya. Jika sudah seperti itu keadaan sahabatnya itu, dia sudah tidak bisa mencegahnya. Walaupun itu akan menyusahkan kehidupannya dan juga kehidupan keluarga Ustadz Pahlevi. Mencegahnya hanya akan membuat Fahira Hidayati akan merasa sendiri dan menyesal karna telah bercerita kepadanya. Tapi ia berharap, semoga saja rasa itu tetap dipendam Fahira Hidayati dalam hati. Tak ada satupun yang akan mengetahuinya selain dia. Bahkan Ustadz Pahlevi pun jangan.
"Tapi bagaimana jika Ustadz Pahlevi tidak mengetahui bahwa kamu mencintainya?" tanya Amelia. Fahira Hidayati mendongakkan kepalanya. Dia tersenyum.
"Aku tak pernah merisaukan itu. Tuhan pasti sudah mempersiapkan jalan jika memang Dia menakdirkan Ustadz Pahlevi untuk tahu. Saat ini aku tetap yakin. Tak perlu bersusah payah untuk mengejar sesuatu yang memang diperuntukkan untuk kita. Apapun yang terjadi nanti, itulah yang dikehendaki Allah." kata Fahira Hidayati. Ia menoleh dan menatap Amelia dengan tersenyum.
"Terimakasih telah mendengar ceritaku. Hatiku saat ini sungguh tenang," kata Fahira Hidayati. Ia kemudian memeluk Amelia. Amelia membalas pelukan Fahira Hidayati lebih erat. Walaupun ia ikut merasa bahagia melihat senyuman bahagia Fahira Hidayati, namun ia tetap merasa cemas atas apa yang nantinya akan terjadi jika orang-orang mengetahuinya.
" Jadikan itu semua tidak terjadi Ya, Allah. Tampakkan laki-laki terbaik buat sahabatku dan buat dia melupakan Ustadz Pahlevi," batin Amelia penuh harap.
Tak terasa waktu terus berlalu. Suara tarhim penanda waktu ashar terdengar. Keduanya kemudian sepakat untuk menyudahi pembicaraan.