Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13.
Aku terkejut mendengar sapaan itu. Pikiranku sudah kemana-mana. Belum lagi area sepeda motorku parkirnya agak dipojokan. Mana cahaya lampunya agak temaram. Meski suara orang yang menyapaku terdengar sopan, tapi aku harus tetap waspada. Diam-diam aku meraba kantong tas ranselku. Disana ada botol spray untuk rambutku. Lumayanlah akan membuat perih mata kalau disemprotkan.
"Kenapa dengan motornya, Mbak?" suara itu kembali menyapa.
"Tidak apa-apa" sahutku menyembunyikan kegugupanku.
"Sepertinya motor Mbak bermasalah. Dari tadi aku perhatikan Mbak tidak bisa menghidupkannya. Boleh saya periksa Mbak."
"Eh, i-iya." sahutku gugup. Sejenak aku tertegun, suara itu sepertinya tidak asing bagiku. Karena aku masih membelakanginya aku tidak mengenali wajah itu. Aku merasakan langkah kakinya makin dekat. Aku mundur dan menjaga jarak agar dia leluasa memeriksa motorku.
"Astaga! Mbak Rania ya?" Ketika langkahnya memangkas jarak antara kami, dia bisa mengenaliku. Karena namaku disebut, spontan aku mendongak ke sosok jangkung itu. Ternyata dia Bastian. Aku yang tadinya merasa cemas, mendadak lega dan merasa aman.
"Aku nyaris tidak mengenali, Mbak. Ngapain Mbak disini?" Bastian memandangku kaget.
"Tadi ada lomba di gedung itu. Aku jadi salah satu jurinya," ucapku terus terang. Bastian ber o panjang.
"Kantorku di depan sana, Mbak. Tapi aku biasa parkir disini." jelas Bastian sebelum ku tanya. Giliranku ber o panjang. Lalu Bastian mencoba menghidupkan sepeda motorku. Berkali-kali dia memutar kunci kontak tapi motorku tidak juga mau hidup.
"Aku antar saja Mbak pulang. Sepertinya motor Mbak harus masuk bengkel ini." Bastian menawariku untuk mengantar pulang. Namun, aku ragu menerima tawarannya.
"Atau Mbak hubungi saja Arbi." lanjut Bastian melihatku ragu atas ajakannya. Aku mencoba menghubungi Arbi, tapi tidak diangkat. Padahal ponselnya aktif.
"Tidak diangkat, mungkin sibuk," ucapku karena sudah beberapa kali ku bell tapi tidak diangkat.
"Kalau begitu Mbak kuantar ya. Sudah larut malam ini."
"Baiklah," akhirnya aku mengalah. Mana aku sudah lelah sekali.
"Bentar ya Mbak, aku ngomong dulu ke satpamnya. Biar jagain motor Mbak." tanpa menunggu jawabanku Bastian setengah berlari menuju post jaga.
Aku sedikit menggigil. Selain karena sudah malam, sepanjang sore tadi hujan turun. Bahkan gerimis masih turun.
"Yuk, Mbak!"
Kuikuti langkah lebar Bastian menuju mobil dan tidak jauh dari motorku di parkir. Pantasan dia melihat ku tadi yang kesulitan menghidupkan motor. Bastian membukakan pintu dan menyuruhku masuk. Sikapnya begitu lembut dan penuh perhatian.
"Mbak kedinginan ya?" ucapnya lagi karena melihatku melipat lengan setelah dia duduk di depan stir. Aku hanya tersenyum tipis sebagai jawabannya. Lalu dia memutar tubuh kebelakang.
"Ini jaketku, pakailah Mbak untuk menahan dingin. Maaf, mungkin sedikit bau," candanya. Aku menerima jaket itu, rasa dingin kini berubah hangat.
"Harum kok," ucapku membalas candaannya. Bastian tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rata. Tawa yang hangat. Entah kenapa bisa meneduhkan hatiku. Sesuatu yang aneh mendadak menjalari hatiku. Sebuah rasa yang belum pernah hadir sebelumnya.
Sulit untukku menjabarkannya. Hal yang kurasakan saat kejadian di depan toilet tempo hari, kembali hadir. Aku merasakan wajahku memerah saat ingat perasaan itu. Duh, malunya. Untung saja ini malam hari. Kalau tidak, Bastian pasti heran melihat parasku saat ini.
"Syukurlah, sehingga tidak malu-maluin," sahutnya seraya melirik sekilas ke arahku. Nada bicaranya begitu santai. Seolah kami sudah lama saling kenal. Apakah karena dia adalah sahabat lama suamiku, sehingga cepat akrab debganku. Tapi selama dirumah kemarin itu, Bastian nampak menjaga jarak denganku. Bicara pun seperlunya saja.
"Masih dingin Mbak? Gimana kalau kita mampir, ngopi dulu di sana." unjuknya ke kafe dadakan dipinggir jalan.
"Boleh." Aku mengangguk setuju. Bastian memarkirkan mobilnya. Lalu membukakan pintu untukku. Namun, langkahku terhenti saat aku melihat sepasang manusia yang duduk di kafe yang kami tuju.
Arbian dan Gladys!
Aku segera berbalik. Hatiku mendadak perih melihat mereka. Aku menyadari kalau hati Arbian hanya untuk Gladys seorang. Bahkan selama ini aku tidak peduli dengan hubungannya itu. Aku sungguh tidak menyangka kalau hatiku akan sesakit ini saat langsung kebersamaannya dengan Gladys.
Kata-kata Gladys yang menyebutku hanya istri pajangan kemarin baru ini kurasakan, betapa menyakitkannya ucapan itu.
"Kenapa Mbak?" Bastian heran melihatku berbalik arah.
"Maaf, antarkan saja aku pulang." Kutinggalkan Bastian yang nampak kebingungan.
"Eh, tunggu dulu Mbak Rania!" seru Bastian menahan langkahku. Mungkin karena mendengar ucapan Bastian, Arbian menoleh ke arah kami. Karena jarak kami hanya beberapa meter.
"Bastian?" seru Arbian kaget, terlebih saat melihatku.
"Arbian?" Bastian juga nampak kaget terlebih melihat ada Gladys bersamanya. Aku bergegas pergi sebelum Bastian dan Arbi mendekat padaku.
Namun, langkah panjang Bastian sekian detik telah menjejeriku langkahku. Disusul oleh Arbi.
"Rania!" Panggil Arbi seraya meraih lenganku.
"Lepasin!" seruku marah.
"Kok bisa kamu bersama, Bas."
"Maaf Bi, motor Mbak Rania mogok. Kami bertemu di depan kantorku. Mbak Rania menghadiri acara disana. Trus tadi aku ajak mau ngopi disini." Bastian menjelaskan.
"Kenapa tidak menelepon tadi, biar aku jemput." Arbi seolah menyalahkan ku.
"Sudah, tapi tidak kamu angkat. Ayo, Bas, antar aku pulang." Aku menarik lengan Bastian.
"Kita pulang bareng, Ra."
"Urus saja pacarmu itu," dengusku saat melihat Gladys mendekati kami. Kutarik lengan Bastian. Aku sempat melihat ada kilatan amarah di mata Arbi saat aku menarik lengan Bastian. Entah apa makna dari tatapannya.
Aku dan Bastian saling diam sepanjang jalan menuju rumahku. Pikiranku berkecamuk. Terutama karena aku tidak bisa mengontrol emosiku.
Entah kenapa aku meluapkan emosiku begitu saja. Apakah aku cemburu? Rasanya bukan itu. Aku bahkan merasa lebih dari itu. Tapi aku tidak tau perasaan apa itu. Sulit bagiku menggambarkannya.
"Maaf Mbak, tak seharusnya tadi aku mengajak Mbak mampir ke sana." Bastian merasa bersalah.
"Bukan salahmu. Aku juga seharusnya tidak mengumbar emosi tadi."
"Aku kira Mbak wajar marah. Aku malah salut sama Mbak, tidak menjamah perempuan yang bersama Arbi."
"Tadi aku malah kepikiran mau menjambaknya. Tapi sudahlah, aku tidak ingin mengotori tanganku. Makasih ya sudah mengantarku." Aku segera bergerak keluar, sebelum Bastian membukakan pintu mobil.
"Selamat malam, Mbak."
"Selamat malam, " sahutku. Kubuka gerendel pintu pagar, lalu memutar anak kunci. Setelah memastikan aku masuk ke dalam rumah, Bastian pergi. Saat itulah aku tersadar ternyata lupa mengembalikan jaketnya.
Beberapa menit setelah Bastian pergi, aku mendengar suara mobil Arbi memasuki pekarangan. Aku memastikan kalau pintu kamar telah kukunci. Dan tidak berapa lama, Arbian mengetuk pintu kamarku. Tapi aku abaikan saja.
"Rania, aku tau kamu belum tidur. Tolong bukakan pintunya. Aku mau bicara." ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor