Vino Bimantara bertemu dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan orang yang ia cintai dulu. Wanita itu adalah tetangganya di apartemennya yang baru.
Renata Geraldine, nama wanita itu. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang cukup mapan dan seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah bagaimana Vino begitu menarik perhatian Renata. Di tengah-tengah kehidupannya yang monoton sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak, tanpa sadar Renata membiarkan Vino masuk ke dalam ke sehariannya hingga hidupnya kini lebih berwarna.
Renata kini mengerti dengan ucapan sahabatnya, selingkuh itu indah. Namun akankah keindahannya bertahan lama? Atau justru berubah menjadi petaka suatu hari nanti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Dosa yang Manis
"Stop, Vin," cegah Renata seraya mendorong pelan pundak Vino menjauh darinya.
Wajah Vino terlihat kecewa, "kenapa, Mbak? Aku kangen sama Mbak." Vino kembali mendekat, segera Renata menahan bibir Vino agar tidak kembali melmat bibirnya.
"Gavin bentar lagi pulang. Sekarang kamu harus pulang," ujar Renata memberikan pengertian.
Vino menghela nafas paham. "Ya udah kalau gitu. Oh iya, besok aku ke Jakarta dulu. Ketemu Opa aku."
"Oh ya? Kenapa kamu bilang sama aku?" tanya Renata bingung.
"Ya siapa tahu besok Mbak nyariin aku. Lagian aku kayak gini kan karena nganggep Mbak itu spesial buat aku. Makanya aku ngabarin ke Mbak kalau aku mau pergi," gerutunya.
"Maaf," Renata terkekeh gemas. "Ya udah makasih kamu udah ngabarin. Berapa hari kamu di sana?"
"Sehari doang. Aku masih harus kerja. Tenang aku gak akan lama-lama."
"Lama juga gak apa-apa," ucap Renata enteng.
"Dasar curang. Gak ada aku Mbak masih ada Gavin makanya bisa ngomong gitu."
Seketika Mood Renata memburuk. "Vino, jangan ngomong tentang hubungan kita seenteng itu bisa gak? Rasanya aku jadi tambah ngerasa bersalah sama Gavin. Tapi aku juga gak bisa nolak kamu. Aku bener-bener bingung."
"Jangan ngerasa bersalah, Mbak. Kan Mbak udah janji mau ngebebasin perasaan Mbak."
"Kalau kita ketahuan gimana?" tanya Renata resah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kacaunya jika Gavin mengetahui semuanya.
"Kalau ketahuan, aku gak akan lepasin Mbak. Aku harap Mbak akan lebih milih aku dan ninggalin Gavin."
Renata menggeleng. "Gak mungkin. Gavin gak akan pernah aku lepasin. Aku cinta sama suami aku."
"Kalau sama aku?"
"Aku..."
Vino tersenyum ikhlas jika Renata memang belum bisa mencintai dirinya sebesar Gavin. Bahkan ia sendiri pun tidak setulus itu terhadap Renata. Jika saja Renata tidak mirip dengan Rania, mungkin Vino tak akan pernah senekat ini, menjalin hubungan dengan seorang wanita bersuami.
"Gak apa-apa. Pelan-pelan aja. Tapi yang pasti Mbak harus mulai berusaha buat lebih cinta sama aku dibanding sama suami Mbak itu."
"Kenapa? Palingan kamu bentar lagi juga ngejauh dari aku. Aku yakin kamu cuma main-main sama aku," cibir Renata.
Vino tak bisa tak setuju dengan ucapan Renata. Ia sendiri tak tahu bagaimana ke depannya mengenai hubungan mereka ini. Yang Vino tahu ia hanya ingin dekat dengan wanita yang begitu mirip dengan wanita yang ia cintai ini, dan juga ia ingin membantu Renata yang masih saja naif agar segera sadar bahwa sang suami tidak sebaik yang dia pikirkan.
"Kita lihat aja, Mbak. Kita gak usah mikirin gimana ke depannya. Yang penting kita sama-sama bahagia dengan hubungan ini, terlepas dari rasa-rasa yang lainnya, rasa bersalah atau yang lainnya."
"Aku kayaknya emang udah gila karena ngelakuin ini semua," tegur Renata pada dirinya sendiri.
Vino tertawa mendengarnya. "Aku temenin gilanya Mbak. Tenang aja. Kalau Mbak terluka, aku juga bakal terluka. Dosa yang manis ini kita nikmati berdua, bahagia berdua, sakitnya juga berdua. Mbak gak usah khawatir aku gak akan curang."
Renata mulai mengenal Vino. Pria muda ini begitu positif thinking. Walaupun Renata merasa semua ini salah, tapi entah bagaimana ia begitu positif thinking bahwa semuanya akan aman, baik-baik saja.
Renata mengalungkan tangannya di leher Vino. "Bener ya, kamu jangan curang. Jangan tinggalin aku di saat aku terpuruk."
"Mbak gak akan terpuruk. Mbak akan baik-baik aja. Percaya sama aku. Tapi kalaupun Mbak ada di posisi itu, aku gak akan pernah ninggalin Mbak."
Renata mendekatkan tubuh Vino padanya dan memeluknya. "Aku percaya sama kamu."
Vino pun membalas pelukan itu dengan eratnya. "Iya. Mbak bisa percaya sama aku."
"Ya udah," Renata melepaskan pelukannya. "Sekarang kamu harus pulang. Aku gak mau kamu ketemu sama Gavin di sini."
"Ya udah. Aku pulang, makasih ya makan malamnya."
"Makasih juga udah ajak Nathan main dan belajar."
"Latihan, Mbak. Siapa tahu dia jadi anak sambung aku nanti."
"Vino," tegur Renata.
Vino terkekeh, mengecup kening Renata dan pergi dari apartemennya.
Keesokan harinya, Vino sudah berada di rumah sang kakek. Ia berada di taman belakang rumah besar nan mewah itu.
"Opa mau aku ketemu sama siapa?" tanya Vino to the point.
"Bagaimana Bali? Apa nyaman jadi karyawan biasa yang gajinya gak seberapa?" tanya Bimantara, mengabaikan apa yang sang cucu tanyakan padanya.
Vino mengalah. Ia pun menjawab, "asyik banget. Aku udah nemu jalan hidup aku, Pa. Opa gak usah khawatirin aku lagi. Sekarang aku udah bisa hidup tanpa bergantung sama Opa."
"Maksud kamu, kamu akan membuktikan ucapan kamu waktu itu? Kamu gak akan melanjutkan bisnis Opa dan melepaskan semua yang kamu punya?"
Vino mengangguk mantap. "Iya. Opa udah membesarkan aku dengan cara di mana aku hidup kayak orang biasa. Aku masih inget Opa kasih uang jajan buat aku cuma Rp. 20.000,- sehari di saat harga makanan di Satya IHS aja gak ada yang segitu. Makanan di Satya minimal aja Rp. 50.000,- per porsinya. Aku sampai harus beli makanan sebelum aku masuk sekolah. Beli nasi kuning, atau nasi padang. Pertama aku kesel banget, tapi akhirnya aku kebiasa buat beli makanan murah dan berpikir ini hidup yang cocok buat aku."
"Baguslah. Opa senang kamu bisa merakyat seperti itu. Persis Opa waktu masih merintis semua bisnis Opa. Tapi sekarang udah saatnya kamu kembali. Kamu cucu pertama Opa, kamu harus melanjutkan bisnis Opa. Kamu boleh pilih bisnis mana yang mau kamu lanjutkan. Opa akan mempersiapkan semuanya."
Vino tersenyum tipis. "Enggak, Pa. Aku gak mau nerusin bisnis Opa. Kalau aku mau, aku bakal bikin bisnis aku sendiri."
"Kenapa? Apa kamu masih marah pada Opa karena cara Opa mendidik kamu?"
"Enggak, Opa. Aku udah dewasa sekarang. Aku gak akan memberontak lagi. Tapi ya emang itu yang aku pengen sekarang. Lebih baik bisnis Opa, Opa kasih ke Om Tama, Tante Tantri, atau ke Kakek Sutomo. Siapalah itu, yang penting bisa dipercaya."
"Kamu tetap aja keras kepala. Okay, Opa gak akan maksa. Kalau gitu apa kamu mau buat travel agent sendiri? Kamu butuh modal berapa, berapapun akan Opa kasih."
"Makasih, Opa. Tapi aku gak tertarik. Aku lebih suka kayak gini jadi karyawan yang gak banyak pikiran. Jalan-jalan sambil foto. Udah paling nikmat," tolak Vino tanpa pikir panjang.
"Ya sudah. Kita bicarakan itu nanti. Kamu harus memikirkan semua ini matang-matang. Pokoknya Opa gak akan menyerah bujuk kamu. Sekarang, Opa ingin kamu ketemu seseorang. Calon istri kamu."
"Istri?!" pekik Vino terkejut.
Saat asyik mengobrol tiba-tiba datang tiga orang mendekat ke arah Vino dan sang kakek. Mata Vino terbelalak melihat kedatangan mereka, terutama satu orang yang sudah ia kenal dengan cukup baik.
"Marsha?!"
tunggu update aku besok. thx. lv u 💙
semoga endingnya membahagiakan semuanya sich 🤭😁🤪
move on vino dari Rania 💪
lanjutin jaa Renata ma vino 🤭🤭🤭 situ merasa bersalah sdngkn suami mu sendiri dh selingkuh duluan 🙈😬😞😞