Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Bintang menggulung kemejanya sampai siku, wajahnya masih memerah, bahkan urat-uratnya sampai menonjol. Ia membanting ponselnya, saat Sera mematikan panggilannya.
"Ia menolak panggilanku, demi bajingan itu!" Bintang menatap sekertarisnya dengan tajam, yang ditatap semakin menciut dan tidak berani menatap balik.
"Aku menyuruhnya jalan-jalan. Lalu, apa ini? Dia malah asyik pacaran," teriak Bintang dengan berapi-api.
Reza terpaku ditempat, apalagi Bintang berbicara seolah melampiaskan kepadanya. Ia menjadi serba salah, ingin berbicara takut kena semprot. Ingin berpamitan, sepertinya lebih parah. Lebih baik, ia menjadi patung dan mendengarkan semua ocehan atasannya.
Bunyi notifikasi terdengar beruntun dari ponsel Bintang. Karena si empunya tidak merespon, Reza memilih memungut ponsel itu dari atas lantai.
"Siapa?" tanya Bintang dan Reza bingung harus menjawab bagaimana. Karena, jawabannya akan membuat Bintang semakin meradang.
"Anu ... itu, istri Anda sepertinya ... bagaimana, yah?"
"Dia kenapa?" bentak Bintang.
"Sepertinya, dia menggunakan kartu Anda, untuk membayar tagihan." Sekali gertak, Reza langsung menjawab tanpa jeda.
Bintang merebut ponselnya dan detik itu juga ia benar-benar meradang. Tidak cukup bermesraan, tapi juga menggunakan uangnya. Dan apa ini, mereka bahkan memberi tiket nonton untuk 4 orang. Artinya, si brengsek itu masih bersama Sera.
"Beraninya dia?" Urat-urat muncul ditangan Bintang yang terkepal sempurna. "Kirim orang, untuk mengamati mereka."
"Iya, Pak."
Sementara Sera, masih asyik makan popcorn dan cola. Mereka duduk berdekatan dengan layar lebar terpampang. Pak Herman dan Rio, terdengar menghela napas panjang. Tentu saja, kenapa gadis-gadis ini malah mengajak nonton kartun. Dua pria itu, hanya menatap saja sembari menunggu dengan meminum cola.
Masih jam dua siang, Sera belum juga lelah berkeliling mall. Ia sudah makan, entah berapa banyak. Ia juga sudah nonton, tapi ia belum ingin pulang.
"Lu, belum ngasih gue penjelasan." Rio mengaduk jus mangga. Kini mereka berada di cafe yang menyajikan banyak jenis kue.
"Lu sendiri?" tanya Sera dengan tatapan sinis.
"Maksudnya?"
"Ayolah, Rio. Gue tahu, lu berasal keluarga seperti apa. Bukankah kita sama?"
"Oke, sekarang kita berdua buka kartu. Elu duluan, lepas itu baru gue!" Rio memberikan solusi, daripada saling tuding yang tidak jelas.
"Gue, seperti yang lu lihat sekarang. Orang tua gue, disiplin dan punya aturan ketat. Gue nggak bisa mengekspresikan diri. Makanya, gue harus pintar-pintar buat nutupin."
"Jadi, emak lu yang jualan. Emak siapa? Kalau bapak lu, yah gue kenal." Rio melirik pak Herman yang sedang meminum kopi.
"Tetangga kontrakkan," jawab Sera santai. Sudah terlanjur ketahuan, untuk apa ditutupi lagi. Yang penting sekarang, bagaimana cara mereka menjaga rahasia ini.
"Sebentar." Rio berpikir sejenak. "Jadi, lu beneran sewa kontrakkan? Buat apa?"
"Buat nyimpan pakaian gue."
"Wah, salut gue." Rio bertepuk tangan. "Dari rumah setelan princess, sampai kampus setelan preman lu. Hahaha.... "
Sera menjitak kepala Rio. Dan seseorang yang sedang mengambil gambar, akan merasa senang mendapat jepretan bagus.
Rio menengadahkan tangan kanannya dan Sera bertanya. "Apa?"
"Balikin, uang gue."
"Uang apaan?" Sera bingung. Ia memang punya peran miskin, tapi anti buat ngutang.
"Selama ini, lu hitung. Udah berapa banyak gue kasih donasi untuk bayar sewa kontrakkan lu, yang katanya nunggak? Belum lagi biaya rumah sakit. Katanya, bapak lu jatuh, pas lagi jadi kuli bangunan. Ah, ntar. Apalagi, yah." Rio kembali berpikir. "Ah benar. Belum lagi, emak lu katanya dipalak preman."
Sera menyengir, lalu tertawa kaku. Ia lupa, kalau selama ini kebohongannya sudah melampaui batas normal.
"Anggap aja, sedekah. Lagian, kan gue nggak pernah minta. Lu aja yang maksa."
"Hello. Gimana, gue nggak mau ngasih. Muka elu, menunjukkan minta di donasi. Gue penasaran, kalau mereka tahu, kayak gimana responnya."
"Riiiioooo, sahabat ganteng dan baik hati. Jangan gitu dong. Lu, kan juga punya kartu." Sera mendadak manja dan genit.
"Merinding gue dengarnya." Rio memeluk tubuhnya, seperti kedinginan. "Lalu, orang tua lu sebenarnya kerja apa, Ser?"
Sera berpura-pura mengunyah, padahal cake selembut itu bisa dikunyah sampai dua kali saja sudah cukup. Ia sedang berpikir. Karena, tidak semua rahasia boleh dibuka. Lagian, dia bisa ketahuan sudah menikah dan itu tidak boleh terjadi.
"Dari tadi, gue melulu yang buka kartu. Gantian dong!" Sera mengubah topik.
"Lah, bukannya lu dah tahu?"
"Gue mau denger, kisah lengkapnya."
"Gue sama kayak elu. Tapi, gue nggak lagi kamuflase. Dari rumah, udah dandan kayak gini."
"Serius, lu?" tanya Sera dengan mata terbelalak. Andai dia seperti itu pasti menyenangkan dan tidak repot seperti dirinya, yang harus berganti pakaian dan berdandan.
"Iya, gue serius. Orang tua gue nggak larang, selama gue kuliah nggak banyak embel-embel."
"Terus, maksud lu apaan, jarang ganti baju?"
"Hahaha .... " Rio terpingkal, hingga nyaris tersedak. "Gue paling malas beli pakaian, yang lama aja belum habis."
Sera menyipitkan mata. Ia sebenarnya iri, sekaligus marah karena hidup mereka yang sama. Namun, berbeda dalam keseharian.
Di meja sebelah, Wita sudah dari tadi berdehem memberikan kode. Bukan karena ada seseorang, tapi sudah bosan duduk berjam-jam lamanya. Apalagi, mereka berdua tidak melakukan apa-apa. Makan pun, perut sudah kenyang, bahkan mau muntah. Pak Herman malah mengantuk, padahal sudah menghabiskan dua cangkir kopi.
Sera dan Rio, masih asyik berbagi rahasia. Ternyata, semenyenangkan ini berbicara pada pria, yang menjadi sahabatnya.
Sudah pukul lima sore, masih beberapa jam lagi, waktu yang ditentukan oleh Bintang. Sera mulai bosan, apalagi ia merasa gerah ingin mandi.
"Udah sore, pulang yuk," ajak Rio, yang melihat sekeliling ternyata sudah mulai gelap.
"iya, deh. Gue juga udh lelah, pengen istirahat." Sera memegang tangan Rio yang membantunya bangkit dari tempat duduk. "Lu bawa motor?"
"Iya. Lu pikir, gue terbang ngikutin elu."
"Serius? Motor butut lu, bisa nyampe sini?" Sera seakan tidak percaya, mengingat motor itu lebih sering mogok dari pada jalan.
"Sialan, ni anak!" Rio mencubit pipi Sera, hingga merah. "Butut gitu, lu juga udah ratusan kali nebeng gratis."
Sera hanya menyengir, lalu keduanya berjalan menuju parkiran. Namun, pembicaraan mereka belum juga usai, meski sudah memutuskan untuk pulang.
"Ingat yah, rahasia kita. Awas, lu bocorin!" ancam Sera, sebelum masuk dalam mobil. Rio sendiri berdiri di depannya, masih mode tersenyum.
"Iya, takut amat. Pulang sana. Dicari emak lu dipasar."
Rio dan Sera kembali tertawa. Mereka tidak menyadari, ada seseorang yang terus membuntuti dan mengambil gambar.
Sepanjang jalan, Sera terus tersenyum. Selama ini, ia berpikir respon Rio akan marah atau kecewa, ternyata sebaliknya. Meski begitu, ia belum siap berkata jujur kepada teman-temannya yang lain, terutama Renata.
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up