NovelToon NovelToon
Filsafat Vs Sains

Filsafat Vs Sains

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Filsafat dan Fisika bertemu

Hari-hari setelah pameran fisika itu berlangsung seperti biasa. Namun, entah kenapa, Joko merasa ada sesuatu yang berbeda. Sejak malam itu, setiap kali bertemu Vina, perasaan canggung yang biasanya hadir kini berubah menjadi rasa penasaran yang sulit dijelaskan. Dia semakin sering memikirkan percakapan mereka tentang fisika, yang meskipun Joko nggak paham, tetap meninggalkan jejak dalam benaknya.

Di ruang kampus, Joko duduk di meja favoritnya dengan secangkir kopi, mencoba fokus pada materi kuliah tentang Hegel, tapi pikirannya melayang-layang. Setiap kali dia menulis satu kalimat, dia merasa seperti ada hal lain yang lebih menarik untuk dipikirkan.

Tiba-tiba, suara Vina terdengar di telinganya. “Hei, Jok, lu masih mikirin filsafat itu?”

Joko mendongak, sedikit terkejut. Vina berdiri di depannya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangan terlipat di depan dada.

“Hmm, iya sih, lagi mikirin ini—” Joko menunjuk buku Hegel yang terbuka di meja. “Tentang proses dialektikanya, tentang bagaimana pemikiran berkembang dan bertentangan, baru terus berproses.”

Vina menyeringai. “Pasti rumit banget ya. Kalau di fisika, kita nggak perlu pusing soal itu. Semuanya bisa dihitung, kok.”

Joko merasa ada rasa ingin tahu yang mulai tumbuh tentang fisika yang selalu Vina bicarakan. “Tapi lu nggak mikir kalau fisika juga nggak selalu bisa dijelaskan dengan angka, kan? Ada beberapa hal yang tetap misterius, seperti teori chaos atau quantum entanglement. Bahkan fisika juga punya hal yang nggak bisa dijawab dengan cara yang jelas.”

Vina mendengus, sedikit terkejut dengan tanggapan Joko. “Wah, lo mulai paham juga ya. Gue kira lu bakal bilang semua itu cuma kebetulan. Tapi, ya, gue setuju sih. Fisika nggak selalu bisa dijelaskan dengan cara sederhana. Kadang kita juga butuh ‘logika’ yang lebih abstrak.”

Joko tersenyum kecil, merasa sedikit bangga. “Itu dia, Vin. Filsafat dan fisika tuh nggak beda jauh, cuma beda pendekatan. Kalau di filsafat, kita berusaha mencari makna, sedangkan di fisika, kita mencari hukum yang mengatur alam semesta. Keduanya punya titik temu, cuma kadang kita lebih suka terjebak di dalamnya.”

Vina duduk di sebelahnya, menatap buku Joko yang terbuka, seolah mencoba memahami kata-kata yang baru saja Joko ucapkan. “Maksud lo, kita bisa jadi terjebak dalam pemikiran kita sendiri?”

“Betul,” jawab Joko dengan yakin. “Dan itu nggak cuma soal fisika atau filsafat. Semua orang bisa terjebak dalam cara berpikir yang sudah biasa mereka pakai, padahal mungkin ada cara lain untuk melihat masalah itu.”

Vina memandang Joko dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Keren juga lo, Jok. Kayaknya gue mulai paham kenapa lo suka banget sama filsafat.”

“Gue nggak tahu juga, Vin. Tapi setiap kali gue baca, gue merasa ada sesuatu yang harus gue pahami lebih dalam, dan itu yang bikin gue terus terjebak dalam dunia ini,” jawab Joko dengan nada yang lebih serius, meski sedikit canggung.

Vina hanya tersenyum, tidak membalas. Suasana menjadi sedikit hening, hanya ada suara ketikan keyboard dari laptop-laptop yang ada di sekitar mereka. Joko merasakan keheningan itu, tapi entah kenapa, kali ini dia tidak merasa cemas.

Setelah beberapa menit, Vina tiba-tiba bersuara lagi. “Eh, ngomong-ngomong, gue ada ujian fisika minggu depan. Gue nggak tau kenapa, tapi kayaknya gue butuh bantuan lu.”

Joko mengangkat alis, agak terkejut. “Bantuan gue? Gue kan nggak ngerti fisika.”

Vina tertawa kecil. “Maksud gue, gue butuh orang yang bisa kasih perspektif yang beda, gitu. Gue tahu lo jago dalam hal-hal yang kayak gini—” dia menunjuk buku filsafat Joko. “Lo pasti bisa membantu gue lihat sesuatu dari sudut pandang yang nggak biasa.”

Joko merenung sejenak. Ini kesempatan langka, pikirnya. Mungkin inilah cara dia bisa sedikit memberi pengaruh pada Vina, memberi perspektif yang sedikit berbeda. “Oke deh, gue bantu. Tapi, nanti gue jelasin soal Hegel, dan lo jelasin soal fisika, setuju?”

Vina menyeringai lebar. “Setuju! Tapi lo harus siap denger penjelasan panjang lebar soal quantum physics, ya!”

Joko tertawa kecil, merasa sedikit lebih tenang. Mungkin ini bukan hanya tentang fisika dan filsafat. Mungkin ini tentang dua dunia yang saling bertabrakan, dan keduanya justru bisa melengkapi satu sama lain.

Joko dan Vina duduk di sebuah kafe di dekat kampus, tempat yang biasa mereka kunjungi setelah selesai kuliah. Vina duduk dengan laptop di depan, sementara Joko menatap secangkir kopi yang hampir kosong. Kedua dunia mereka—fisika dan filsafat—kembali bertemu dalam percakapan yang semakin intens.

“Jadi, lo bakal jelasin teori quantum entanglement, kan?” tanya Vina sambil memeriksa catatannya.

Joko mengangguk, meskipun sebenarnya dia masih merasa sedikit bingung. “Gue baca-baca, sih... Tapi buat gue ini lebih mirip filsafat, Vin. Konsepnya tuh kayak... ya, hubungan antar dua partikel yang jauh, tapi tetap bisa berpengaruh satu sama lain, tanpa ada penjelasan fisik yang masuk akal.”

Vina menatap Joko dengan serius, lalu tertawa kecil. “Gue kira lo bakal ngomong soal teori ketidakpastian Heisenberg. Tapi ya, lo benar. Ini tuh kayak analogi hubungan manusia aja. Kadang kita nggak bisa jelasin kenapa kita bisa berhubungan erat meskipun terpisah jauh, kan?”

Joko tersenyum. “Iya, lo bener. Gue selalu ngerasa ada benang merah antara konsep fisika dan filsafat. Di filsafat, kita sering ngomongin ‘keterhubungan’ antara satu hal dengan hal lainnya, meskipun nggak kelihatan secara langsung. Jadi, ya... ada banyak hal yang nggak bisa dijelaskan, tapi kita tetap merasakannya.”

Vina menatapnya dengan penuh perhatian. “Jadi menurut lo, kita sebagai manusia ini... juga nggak bisa dijelaskan sepenuhnya, ya? Kita itu kayak... partikel yang saling terhubung, tapi nggak bisa diprediksi?”

Joko mengangguk, merasa bahwa mereka baru saja melangkah ke wilayah yang lebih dalam. “Iya. Gue nggak bilang kita itu nggak bisa dipahami sama sekali, tapi ada banyak aspek dalam hidup kita yang nggak bisa dijelaskan dengan logika atau rumus. Misalnya, kenapa kita bisa suka sama seseorang meskipun nggak ada alasan yang jelas?”

Vina tersenyum dengan sudut mata yang agak tajam. “Hmm, kenapa ya? Mungkin karena ada... ‘entanglement’ juga di sini?” katanya dengan menggoda.

Joko merasa sedikit tersentak. Mungkin Vina sadar bahwa percakapan ini bukan sekadar tentang fisika atau filsafat. Namun, dia mencoba mengalihkan perhatian dengan berbicara lebih lanjut. “Tapi... lo tahu nggak, kalau di filsafat ada banyak yang ngomongin soal ‘keterhubungan’ ini? Ada yang bilang, segala sesuatu itu saling berhubungan. Bahkan mungkin, kalau kita tahu lebih banyak, kita bisa ngerti kenapa kita suka sama seseorang atau kenapa kita merasa terikat dengan satu hal.”

Vina menggigit ujung pulpen dan menatap Joko dengan serius. “Kayaknya lo lagi ngomongin diri lo sendiri, Jok.”

Joko kaget. “Hah? Maksud lo gimana?”

Vina mencondongkan tubuhnya ke meja, semakin dekat. “Lo pasti punya alasan tersendiri kenapa lo tertarik sama filsafat, kan? Mungkin lo lagi ngomongin soal perasaan lo yang nggak bisa dijelaskan sama rumus, sama kayak teori fisika yang lo sebutin tadi.”

Joko merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Gue... nggak tahu deh, Vin. Gue cuma ngerasa kalau kadang ada hal-hal yang nggak bisa kita pahami dengan logika, dan itu bikin kita terus mencari makna. Mungkin itu yang bikin gue nyaman di dunia filsafat. Kayak... ya, hal-hal yang nggak bisa dijelaskan itu.”

Vina menatap Joko dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Jadi lo nganggap semua perasaan yang nggak bisa dijelaskan itu... kayak entanglement, ya?”

Joko menatap Vina, berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatinya perasaan yang tidak bisa dijelaskan mulai muncul. “Ya... bisa dibilang begitu. Kadang kita terhubung sama sesuatu atau seseorang tanpa tahu kenapa. Tapi itu yang bikin hidup menarik, kan? Ketidakpastian itu.”

Vina terdiam, lalu kembali menulis sesuatu di laptopnya. “Gue paham sekarang. Mungkin filsafat dan fisika nggak terlalu beda. Kita berusaha memahami dunia yang jauh lebih besar dari kemampuan kita. Dan mungkin, jawabannya bukan dalam rumus atau teori, tapi dalam perasaan kita.”

Joko menatap Vina, merasa ada kesamaan yang tak terucapkan di antara mereka. Ada banyak hal yang mereka coba pahami, tetapi beberapa hal mungkin lebih baik dibiarkan mengalir begitu saja.

“Ada sesuatu yang bikin gue penasaran, Jok,” kata Vina setelah beberapa saat.

“Apaan?” Joko bertanya.

Vina tersenyum lebar. “Kapan lo bakal mulai jelasin soal perasaan lo yang nggak bisa dijelaskan itu?”

Joko menelan ludah, merasa canggung. “Eh... itu... maksud lo gimana?”

Vina tertawa kecil. “Gue nggak tahu, Jok. Mungkin aja ada fisika yang bisa jelasin perasaan lo ke gue.”

Joko merasakan kehangatan di pipinya. Dia nggak tahu lagi apakah ini tentang fisika atau filsafat, tapi yang jelas, perasaan aneh itu semakin sulit dihindari.

1
Arifu
Filsafat vs Sains.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!