Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4
Kriuk!
Aku meringis mendengar suara perutku sendiri. Rasa lapar datang tanpa diundang, hampir setengah hari berada di rumah sakit menemani Mamah mertua yang terpaksa harus dirawat karena mengalami dehidrasi.
"Kamu laper, Sha?" Suara lirih Mamah mertua terdengar, kulirik ia tersenyum dari ranjangnya. Masih terlihat pucat, tapi sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Iya, Mah, tapi kalo Shanum pergi Mamah nanti sendirian di sini. Nggak ada yang nemenin," jawabku gamang.
Entah apa yang terjadi, ponsel Raka tak dapat dihubungi. Pesan-pesan yang kukirim pun masih centang satu. Di mana dan sedang apa dia sebenarnya?
"Nggak apa-apa. Kalo kamu mau nyari makan, cari aja dulu. Mamah nggak apa-apa, kok," ucap Mamah mertua sambil tersenyum.
Aku beranjak dan mendekat. Duduk di kursi samping ranjang dan menggenggam tangan hangatnya.
"Beneran Mamah nggak apa-apa ditinggal sendiri? Nanti kalo Mamah perlu apa-apa gimana?" tanyaku risau.
Mamah menumpuk sebelah tangannya di atas tanganku.
"Nggak apa-apa. Dari pada kamu nahan lapar, kasihan cucu Mamah juga lapar pastinya," katanya sambil tersenyum, tapi sorot mata itu menyiratkan kesedihan. Mungkin karena teringat sikap ayah cucunya yang sudah bermain-main.
"Iya, Mah. Ya udah, Shanum pergi cari makan dulu, ya. Nggak akan lama, cuma beli aja. Makan di sini," ucapku sambil tersenyum. Mamah mengangguk lemah.
Aku beranjak meski dengan perasaan yang tak menentu. Meninggalkan Mamah sendirian tanpa ada yang menjaga. Raka memang tidak bisa diandalkan. Bisa-bisanya nomor dia tidak aktif di saat seperti ini. Kuhela napas, semoga tak ada apapun yang terjadi.
****
Satu bungkus nasi khas Minang kutenteng, tak lupa membeli buah dan aneka cemilan untuk Mamah. Lorong rumah sakit yang panjang, entah mengapa terasa begitu jauh. Langkah kaki yang awalnya ringan, tiba-tiba menjadi berat dan enggan beranjak. Apa yang terjadi?
Kuhentikan langkah sejenak untuk mengisi paru-paru dengan udara. Berharap langkah akan menjadi ringan untuk menyusuri lorong panjang tersebut. Namun, baru beberapa langkah saja kaki berayun, mataku tak sengaja menangkap sebuah penampakan yang tak asing.
Raka?
Ragu. Itulah yang ada di hatiku, seseorang yang tengah duduk di sebuah bangku bersama seorang wanita meski berjarak sangat aku kenali. Sesosok laki-laki berkemeja biru langit, duduk di depan sebuah ruang pemeriksaan. Dokter kandungan.
Deg!
"Apa yang dilakukan Raka di sana? Apa Shila hamil?" Mataku membesar tanpa komando, bahkan kurasakan napasku berhenti beberapa saat.
Dugaan demi dugaan datang memenuhi akal sehatku. Prasangka buruk, pikiran jelek, semua hadir tanpa dapat aku cegah.
"Shi-shila ... ha-hamil?" Suaraku lirih menguar, nyaris tak terdengar. Demi apapun, sendi-sendi kakiku terasa lemah tak bertenaga. Bahkan, air mata luruh tanpa terasa. Bagaimana jika Shila hamil anak Raka? Akan seperti apa nasibku bersama anak di dalam kandungan?
Ya Allah!
Sakit dadaku, terasa terhimpit batu. Tercabik ribuan sembilu yang mengoyak segumpal daging pemilik rasa. Kusapu air mata, tapi tetap saja menganak sungai. Kutengadahkan wajah demi menghentikan laju tangis, percuma. Rasa sakit yang menghujam tak mampu membendungnya.
Kamu tega, Raka. Aku tahu, kamu minta uang bukan buat bawa mamah ke rumah sakit, tapi buat Shila. Ya Allah.
"Aw!"
Aku memekik, kemudian meringis merasakan nyeri di bagian bawah perut ketika seorang anak kecil menabrak tubuhku.
"Maaf, Tante." Kubuka mata sedikit, melihatnya yang berkaca-kaca. Ingin tersenyum, tapi rasa nyeri ini mencegah bibirku terangkat.
"Aduh, ya Allah. Maaf, Mbak. Anak saya kurang hati-hati. Mbaknya nggak apa-apa?" Seorang wanita muda menghampiri, memegang bahuku dengan lembut.
Aku mengangguk lemah, tapi rasa nyeri masih tak mampu membuat kelopakku terbuka.
"Kayaknya Mbaknya kesakitan. Kita duduk dulu, Mbak. Istirahat," ajaknya hendak memapahku mendekati bangku.
Kuangkat tangan mencegah, enggan duduk berdekatan dengan sosok yang memberikan rasa sakit bertubi-tubi pada hatiku. Kuhela napas sedalam mungkin, mengumpulkan kekuatan untuk dapat pergi dari tempat tersebut.
Aku tersenyum setelah berhasil menguasai rasa nyeri dan membuka mata.
"Aku nggak apa-apa, Mbak. Lain kali, adik manis hati-hati, ya. Jangan lari-lari, nanti terpleset," ucapku meski dengan nada yang lemah. Kusapu rambut anak gadis itu, dia terlihat manis sama seperti ibunya.
"Iya, Tante. Sekali kali minta maaf," katanya menatapku dengan mata bersalah.
"Nggak apa-apa. Saya permisi," ucapku seraya melangkah dengan pelan. Kulirik bangku yang ditempati Raka, tak sengaja pandang kami bertemu.
Dia tampak terkejut, tapi tidak dengan Shila. Perempuan licik itu tersenyum seolah-olah sedang mengejekku.
"Shanum!" Masih kudengar suaranya memanggil meski lirih. Kupalingkan wajah, seraya melanjutkan langkah menghindarinya. Bukan kamar Mamah tujuanku, tapi toilet. Aku ingin menuntaskan tangisku di sana.
"Kenapa kamu tega, Raka? Aku kira kamu nggak akan pernah nemuin dia lagi? Tapi ternyata aku salah. Aku terlalu naif dan lemah. Ya Allah!" Kuremas dada kiriku yang teramat terasa sakit. Kupukul-pukul berulang kali untuk mengurangi rasa sakitnya.
Namun, semua percuma, rasa sakit itu enggan pergi. Tetap bersemayam bersama hancurnya hati.
Dor-dor-dor!
"Shanum! Apa kamu di dalam, Sha?" Aku mendongak mendengar suara Raka memanggil, apa dia menyusulku? Tapi untuk apa?
"Shanum! Buka pintunya, sayang. Aku bisa jelasin sama kamu."
Aku menggeleng sambil menutup telinga rapat-rapat, enggan mendengar suaranya. Penjelasan apa lagi yang akan dia berikan kali ini? Aku yakin pastinya hanya akan membuat hatiku semakin sakit.
"Shanum! Sayang! Buka pintunya, kamu jangan salah faham kayak gini."
Aku bergeming dengan air mata yang terus meleleh. Tak kuhiraukan teriakannya memanggil namaku.
"Raka!" Aku tersentak ketika suara Shila ikut memenuhi gendang telinga.
"Shanum di dalam, Shil. Dia pasti salah faham lagi."
Ah, semakin sakit aku mendengar suara mereka berdua. Cepatlah pergi, jika memang ingin pergi. Aku muak dengan kalian.
"Udahlah, Ka. Kamu bisa jelasin nanti di rumah. Kamu bisa ngomong baik-baik sama dia nanti. Sekarang, mungkin Shanum butuh waktu sendiri. Ayo, sebentar lagi giliran aku."
Perempuan nggak tahu malu, bisa-bisanya dia bilang begitu. Pelakor memang nggak punya harga diri.
Aku mengumpat, tapi enggan keluar. Biarlah untuk saat ini Shila merasa menang dariku. Kusapu air mata, percuma kutangisi perbuatan mereka. Mencegah Raka aku tak akan bisa karena dia laki-laki dewasa yang sudah memiliki pemikiran sendiri.
Aku beranjak setelah terdengar suara kaki menjauh. Membasuh wajah sebelum membawa diri keluar dari toilet. Oh, Mamah! Kamu baik padaku, tapi anakmu tega menorehkan luka di hatiku.
Kususuri lorong dengan hati yang berkecamuk, menunduk menatap kedua kaki yang bergantian melangkah. Sampai ....
Brugh!
"Ah!"
Untuk kedua kalinya aku bertabrakan dengan seseorang.
"Shanum!" Kuangkat wajah mendengarnya memanggil.
"Ka-kamu!"