Reina Amelia merupakan pembunuh bayaran terkenal dan ditakuti, dengan kode name Levy five. Sebut nama itu dan semua orang akan bergidik ngeri , tapi mati karena menerima pengkhianatan dan gagal misi.
Namun, Alih-alih beristirahat dengan tenang di alam baka, jiwa Reina malah masuk ke tubuh seorang siswi bernama Luna Wijaya yang merupakan siswi sangat lemah, bodoh, jelek, dan menjadi korban bullying di sekolah.
Luna Wijaya, yang kini dihuni oleh jiwa pembunuh bayaran, harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kehidupan sekolah yang keras hingga mencari cara untuk membalas dendam kepada keluarga dragon!
“Persiapkan diri kalian … pembalasan dendamku akan dimulai!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Seketika saja koridor sekolah menjadi hening. Beberapa pertengkaran dan perdebatan mengenai Bria menjadi bisu. Kini atensi semua orang terganti ke arah Alfian atau pemuda yang kerap dipanggil Al tersebut.
Wajah ketiga pria itu kian menjadi masam. Mereka jelas tak suka akan kehadiran lelaki entah berantah tersebut.
Alfian Mahendra, kendati memiliki paras yang cukup elok bukan berarti ia populer. Akan tetapi muka dia cukup menarik perhatian para wanita.
"Dia siapa sih?"
"Ga tahu ... Luna sebut dia 'Al.' tapi dia lumayan ganteng."
Wajah Brian dan kedua temannya lantas berubah menjadi masam. Mereka tak terima dengan adanya pengganggu baru entah berantah.
"Kamu siapa lagi?" tanya Brian ketus. Ia memandang lengan Alfian yang merangkul Luna secara tak suka, ada perasaan cemburu dan iri yang dalam. Harusnya ia yang merangkul wanita yang dia anggap sebagai miliknya. Bukan pria lain.
"Aku Alfian Mahendra. Panggil aku "Al" biar keren."
"Bukan gitu maksudnya Brian," seru Angga marah. Lelaki dingin pun juga ikut murka bilamana mangsanya direbut. "Kami tanya 'kamu siapanya Luna?"
Alfian tersenyum, sebelum menjawab. Ia mengetahui jawaban yang tepat untuk situasi sekarang. "Aku paca—"
Namun Luna lebih sigap terlebih dahulu. Jawaban yang akan dilontarkan jelas malah akan menimbulkan masalah baru. Maka Luna dengan pintar mengambil arah situsi.
"Ya. Hubungan kita gak penting. Maaf Brian, Angga, Yusuf. Seperti yang kalian lihat, aku udah ada janji. Makan, sama Al!" Si gadis tersenyum senang. Lalu melotot, menarik Alfian menjauh. "Ayo, pergi Al!"
Setelah kepergian Luna semua orang dibuat kebingungan, kerena Luna ternyata lebih memilih pria entah berantah alih-alih tiga cowo paling populer di SMA.
Disisi lain Brian mengerakkan gigi, sebal. "Alfian Mahendra. Berani banget rebut gadisku, awas aja dia!"
*
Waktu istirahat sering dihabiskan di kantin, untuk makan bersama dan bersenang-senang. Tentu saja Lingkungan di sana ramai bukan main.
Oleh karena itu spesies langka yang menyukai kesunyian dan kesendirian memilih makan di tempat sepi.
Luna dan Alfian masuk dalam ranah spesies langka, alih-alih makan di keramaian mereka malah makan di roftop sekolah. Tempat bahkan seharusnya dilarang untuk dimasuki.
Luna menatap pria yang kini duduk dengan tenang, membawa dua buah bekal.
Yang satu kotak makan berwana biru sedangkan satu lagi berwana pink.
"Makasih, Al."
Alfian menaikan alis, bingung. Tangannya gesit menyiapkan dua bekal tersebut. "Buat?"
"Untuk yang barusan."
Bagi Luna kehidupan barusan itu bisa dibilang gawat, bilamana Alfian tidak datang. Boleh jadi dia akan buat keributan lagi.
"Gak perlu pakai terima kasih segala. Lagian ..." ucapnya terputus. Lelaki berkacamata itu menyerahkan bekal berwana pink ke Luna. "Udah biasa, kan. Kita makan bareng kayak gini."
Hati Luna tiba-tiba saja berdetak karena melihat tatapan intens dari Alfian. Sekilas ingatannya pun muncul. Memang sejak dulu Luna selalu makan bersama Alfian di roftop ini.
Bahkan mereka selalu bertukar bekal, setiap hari. Di hari pertama Luna akan membuat dua bekal untuk makan bersama, sementara di hari kedua gantian Alfian yang memasak.
Dengan wajah memerah, ia menerima bekal warna pink itu. "Makasih."
"Yup. Jangan terlalu berharap, Aku gak terlalu mahir masak.
Luna membuka bekal warna pink itu dengan hati-hati, senyum kecil menghiasi wajahnya. Aroma makanan yang hangat dan lezat menyebar ke udara. Dia melihat ke dalam kotak dan menemukan nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, serta beberapa potong ayam panggang yang terlihat menggugah selera.
"Hmm, sepertinya enak," gumam Luna sambil mengambil sepotong ayam dan mencicipinya. "Wow, Al! Ini enak banget!"
Alfian tersenyum lebar, merasa senang mendengar pujian dari Luna. "Serius? Aku cuma coba-coba resep baru aja."
Luna mengangguk antusias. "Serius, kamu harus masak lebih sering lagi. Ini enak banget."
"Kalau itu gak bisa! Jatah besok masak itu kamu, bukan aku. Jadi kunantikan bekal buatku, besok. Luna." Ucap Alfian mengedipkan mata yang entah kenapa membuat hati si gadis bergetar.
Mereka melanjutkan makan dalam keheningan yang nyaman, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan dan burung-burung yang berkicau di kejauhan. Setiap kali Luna melihat Alfian, hatinya berdetak lebih kencang. Dia merasa bahagia dan tenang di dekatnya.
Namun ketenangan itu seketika saja hilang, tak kala saat Lelaki itu bertanya dengan nada serius. Dan berbeda dari biasanya.
"Omong-omong, kamu banyak berubah. Akhir-akhir ini. Seperti orang lain saja."
Luna hampir saja tersedak makanan atas ucap mendadak itu. "Apa yang kamu katakan Al? Aku masih aku. Kendati fisik berubah, Luna masih Luna."
Alfian menatap Luna dengan penuh kecurigaan. "Bukan sekedar fisik saja, Luna? Tingkah dan cara makanmu berbeda. Luna biasanya dengan belepotan dan berantakan."
"Aku cuma mengubah kebiasaan buruk, saja."
"Bukan cuma itu! Aku senang kamu melawan Tina dan membuatnya tidak menganggumu lagi, tapi kamu jelas bukan tipe orang yang cari masalah dengan Niko. Terlebih kamu tak sekuat itu."
Kali ini Luna tak bisa menjawab, ia menelan ludah.
Alfian mendekati Luna, menatap si gadis dengan lekat. Tangan memegang dagu si gadis, matanya sangat dingin.
"Semenjak pulang dari rumah sakit, kamu sangat berbeda ... Hei, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu bukan Luna yang kukenal."
Suasana menjadi lengang. Sialan! Harus diakui Luna melakukan hal yang salah. Lelaki bernama Alfian ini cukup pandai.
Saat Luna ingin menjelaskan dan menyangkal.
Tiba-tiba. Bel istirahat berbunyi, mengakhiri momen mereka.
Melihat wajah panik Luna. Alfian terkekeh, menepuk bahu si gadis. "Cuma bercanda. Jangan terlalu pikir serius!"
"Ayo, kita balik ke kelas," kata Alfian sambil mengemas bekal mereka.
Luna mengangguk, meski dalam hatinya mengerutu sebal. Ia jelas tak bercanda ia meragukannya.
Mereka berdua pun bangkit dan berjalan menuju pintu keluar roftop.
"Alfian Mahendra," ucap Luna tiba-tiba. Membuat langkah pria itu terhenti.
"Bukan, 'Al' lagi ya?" Gumam Alfian yang dapat didengar oleh Luna. "ada apa?"
"Untuk pertanyaan barusan. Akan kujawab suatu saat nanti... Tapi untuk sekarang Jangan usik masalah dan cari latar belakangku!" Seru Luna. Entah kenapa dia merasa bahwa sosok di depannya bukan sekedar murid biasa, melainkan seseorang yang lebih patut diwaspadai.