Rasanya menjadi prioritas utama bagi seseorang adalah suatu keberuntungan. Canda tawa dan bahagia selalu membersamai mereka dalam hubungan yang sehat ini, hingga membuat keduanya tidak berhenti bersyukur.
Hari demi hari kita lalui dengan berbagai cerita. Saat itu, semua masih terasa baik-baik saja. Hingga tanpa kita sadari, satu persatu masalah mulai menghiasi hubungan ini.
Awalnya kita mampu bertahan di tengah badai yang sangat kuat. Tetapi nyatanya semakin kita kuat, badai itu semakin menggila. Kiranya kita akan bisa bertahan, ternyata kita salah.
Hubungan yang sudah kita jalin dengan baik dan banyak cerita bahagia di dalamnya, dengan sangat terpaksa kita akhiri. Badai itu benar-benar sangat dahsyat! Kita tidak mampu, kita menyerah sebab lelah.
Dan syukurlah tuhan tidak tidur, kebahagiaan yang di renggut paksa oleh seseorang kini telah di kembalikan. Kisah kita kembali terukir hingga menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam ikatan pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Early Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
"Nauu." Panggil Sean.
Pagi itu, seperti biasa Naureen dan Sean adalah orang pertama yang datang ke kantor. Biasanya mereka akan menikmati segelas kopi bersama, sambil menunggu Fey yang entah kapan dia akan datang.
Setelah menyeruput kopinya, Sean pergi ke toilet sebentar. Dia bilang hanya sebentar, tapi hampir lima belas menit Sean belum kembali juga. Tapi ya sudah lah, mungkin dia ngobrol dengan staff lain.
Dan beberapa menit kemudian saat Naureen tengah asyik berkirim pesan dengan kekasihnya. Sean datang dengan membawa setumpuk berkas. Di lihat dari cara dia bernafas, sepertinya cukup berat.
"Ada angin apa lo, bawa berkas segitu banyak. Sanggup?" Ucap Naureen, heran. Pasalnya Sean bukanlah tipe orang yang suka bekerja keras seperti dirinya. Dia terlalu mudah bosan, bahkan dengan pekerjaan yang menghasilkan uang.
"Ah!" Sean mengerang sambil memegangi pinggulnya yang kesakitan setelah membawa berkas-berkas tersebut.
"Nih, minum dulu." Kata Naureen sambil memberikan kopi yang memang milik Sean.
Sean meminumnya, lalu ia menghela nafas kasar dan bersandar di kursinya.
"Lo cuma bawa tumpukan kertas aja kelihatannya udah lelah dan mumet banget, apalagi harus kerjain segitu banyak. Lo yakin, Sen?" Sambung Naureen. Ia masih terheran-heran.
"Mana bisa gue ngerjain berkas segitu banyak." Sahut Sean setelah nafasnya beraturan.
"Terus?" Tanya Naureen.
"Itu buat lo!" Sahut Sean. Nadanya cukup tinggi dan sangat jelas.
"Buat gue? Berkas sebanyak ini buat gue?" Naureen terkejut. Akal pikirannya tidak bisa menerima kenyataan ini. Masalahnya, ia juga masih memiliki banyak berkas yang harus di kerjakan. Deadline. Tapi. Tapi kenapa bisa di tambah lagi dengan jumlah yang... Astaga.
"Jangan ber..."
"Gue enggak bercanda, Nauu. Sumpah itu kerjaan lo semua. Tadi gue enggak sengaja ketemu bu Novi dan di suruh bawa itu buat lo." Jelas Sean, berhasil memotong perkataan Naureen.
"Astaga. Kenapa bisa sebanyak itu? Bu Novi mau menyiksa gue atau gimana sih." Raut wajahnya berubah menjadi khawatir. Ia harus benar-benar bekerja keras.
"Gue juga kaget pas tahu harus bawa sebanyak itu. Gue pikir di bagi buat kita bertiga. Tapi ternyata khusus buat lo." Sean juga menyayangkan hal itu. Karena memang pekerjaan Naureen masih cukup banyak dan paling banyak di antara mereka bertiga. Tapi harus di tambah lagi? Sean sendiri tidak sanggup melakukannya.
Selagi memikirkan hal itu sambil terus menatap berkas-berkas yang tersusun di meja Sean. Naureen tiba-tiba beranjak dari duduknya dan pergi.
"Nauu. Mau kemana?" Sean sedikit berteriak. Namun Naureen mengabaikannya.
___
Tidak perlu waktu lama bagi Naureen untuk datang ke ruangan bu Novi, selaku kepala departemen mereka. Wajahnya biasa saja, tapi Naureen jelas kesal. Tidak biasanya bu Novi seperti ini. Dia harus mencari tahu sendiri.
"Ada apa Naureen?" Tanya bu Novi saat Naureen masuk setelah mengetuk pintu.
"Apa benar berkas sebanyak itu untuk saya?" Tanyanya, tidak perlu basa-basi. Naureen memang terkenal tegas disini, terutama jika hal itu menyangkut pekerjaan.
"Iya. Cuma kamu yang bisa kerjakan berkas-berkas itu." Sahut bu Novi.
"Tapi ibu tahu sendiri kan, masih banyak berkas-berkas deadline yang harus saya selesaikan. Bahkan ibu sendiri yang bilang kalau saya harus memprioritaskan berkas itu." Ucap Naureen, ia mulai menunjukkan kekesalannya.
"Tapi kenapa tiba-tiba di tambah sebanyak itu?" Sambungnya.
"Apa benar cuma saya yang bisa mengerjakan semuanya? Tim kita banyak loh bu." Naureen mulai merasa aneh. Ini bukan bu Novi yang biasanya. Jelas ada yang janggal disini.
Bu Novi terdiam. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Baik, Naureen." Kata bu Novi kemudian.
"Saya akan jujur sama kamu." Sambungnya.
Bu Novi menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar.
"Sebenarnya bu Mira yang perintahkan saya untuk kasih kamu pekerjaan sebanyak-banyaknya." Jelasnya.
"Awalnya saya keberatan karena, betul yang kamu bilang tadi. Kamu harus fokus sama beberapa berkas. Tapi saat saya menolak, bu Mira jadi marah sama saya. Jadi, ya mau tidak mau saya ikuti saja. Meskipun saya sendiri tidak tahu alasan jelas bu Mira meminta hal itu." Tutup bu Novi.
Naureen menganggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan bu Novi. Ia paham sekarang. Jadi hal-hal seperti ini yang akan di mainkan oleh Mira. Dia menggunakan jabatannya untuk bermain-main seperti ini?
Baiklah. Akan ku ikuti permainanmu.
Naureen geram, namun ia masih bisa tersenyum. Karena ada bu Novi tentunya. Setelah itu ia melangkah kembali ke ruangannya. Dengan emosi yang makin menggebu-gebu.
...***...
"Sayang."
Naureen dan Jeno saling memanggil di waktu bersamaan. Mereka berdiri berhadapan, lalu tertawa karena hal kecil itu.
Saat ini mereka sedang berada di balkon rumah Naureen. Berbincang tentang banyak hal, melepas lelah setelah seharian bekerja.
"Kamu duluan." Kata Jeno dengan tawa yang masih tersisa disana.
"Kamu aja." Sahut Naureen.
Jeno menggeleng.
"Kamu duluan. Kamu pasti mau bilang sesuatu yang lebih penting dari pada yang mau aku bilang." Ucap Naureen.
"Baiklah." Jeno mengalah.
"Weekend ini kita hangout sama orang tua ku ya. Mereka mau kamu ikut." Ucap Jeno.
Naureen tersenyum. Salah tingkah. Dan sangat senang mendengarnya. Namun ia masih belum percaya.
"Ini rencana kamu kan?" Tanya Naureen, memastikan. Bisa saja kan ini di atur sendiri oleh Jeno dan hanya menyenangkan Naureen dengan berkata orang tuanya ingin dia ikut.
"Aku serius sayang. Awalnya mama mau ke mall beli sesuatu, terus papa mau ikut. Jadi lah mereka memutuskan pergi sama-sama dan mau kamu datang juga." Jelas Jeno.
"Hm." Naureen semakin salah tingkah. Ia merasa hidup kembali setelah bertemu lagi dengan keluarga Jeno. Terutama mama Jeno yang menyayanginya dengan sangat tulus. Rasanya seperti sang ibu hadir kembali di kehidupannya.
"Gimana. Kamu mau kan?" Tanya Jeno lagi.
Naureen mengangguk. Lalu tersenyum.
"Sampaikan terimakasih ku sama orang tua mu. Berkat mereka aku bisa merasakan lagi kasih sayang dari keluarga yang utuh." Ucap Naureen. Tiba-tiba saja suasana menjadi sendu.
"Selama beberapa tahun terakhir, aku hidup dengan satu sayap. Rasa sayang dari ayah masih sangat terasa, tapi tetap aja itu enggak sempurna karena enggak ada lagi ibu yang melengkapi itu." Sambungnya. Kali ini matanya mulai berbinar.
"Setelah bertemu lagi dengan mama dan papa mu, aku benar-benar hidup kembali. Meskipun kita baru beberapa kali bertemu belakang ini. Tapi itu aja udah buat aku happy banget." Air matanya berhasil lolos. ia menangis di bahu Jeno.
Dengan sigap Jeno meraih tubuh Naureen dan didekapnya. Mengusap bahu dan mengelus lembut pucuk kepalanya. Naureen sedang berada di posisi yang sangat nyaman saat ini. Saking nyamannya, tangisnya pun mulai pecah. Tidak histeris, hanya saja cukup dalam. Jeno sangat mengerti perasaannya. Jadi dia membiarkan Naureen melampiaskan kerinduannya dengan sang mama dalam pelukannya.
...***...