Cerita ini benar karya orisinil Author.
✅️ Bijak dalam membaca
✅️ Mohon saran dan kritik yang membangun
❌️ Tidak boomlike dan lompat bab
Uswa wanita yang penuh luka, menemukan secercah cahaya dalam sorot mata Hanz, seorang nahkoda yang ia temui di dermaga.
Gayung pun bersambut, bukan hanya Uswa yang jatuh hati, namun Hanz juga merasakan getaran kecil di hatinya.
Seiring berjalannya waktu, rasa di antara keduanya semakin besar. Namun, Uswa selalu menemukan ketidakpastian dari kegelisahan Hanz.
Uswa pun terjebak dalam penantian yang menyakitkan. Hingga akhirnya, ia dipertemukan oleh sosok Ardian, pria yang berjuang untuk Uswa.
Lantas, kisah mana yang akan dipilih Uswa?
Tetap menanti Hanz yang perlahan memulihkan luka, namun selalu berakhir dengan ketidakpastian?
Atau membuka lembaran baru bersama Ardian yang jelas memiliki jawaban yang sudah pasti?
Ikuti kisah dan temukan jawaban Uswa pada cerita Senandung Penantian.
Cover by Ig : @desainnyachika
Ig : @oksigentw
TT : @oksigentw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksigen TW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Dua minggu berlalu, Uswa masih tidak mendengar kabar Hanz. Pria itu benar-benar hilang bagaikan ditelan bumi. Uswa semakin kesal dengan sikap Hanz. Mengungkapkan cinta seenaknya, dan pergi begitu saja.
Namun, sesaat ia sadar. Ia tidak bisa menyalahkan pria itu sepenuhnya. Ia juga tidak tahu, mengapa dirinya senyaman itu dengan Hanz(?) Sampai detik ini, ia masih tidak mengerti, kenapa ia jatuh hati secepat itu.
Uswa terbungkam tanpa kata. Ia duduk sendirian di kursi yang biasa ia dan Dila tempati, di coffe shop Fajar. Harusnya, saat itu ia bersama Dila. Akan tetapi, Dila tidak bisa datang, karena ia sedang berada di luar kota, mengunjungi neneknya.
Akhirnya Uswa berakhir duduk sendiri menanti Fajar, karena sahabatnya itu lembur. Uswa menyesap lemon teh dingin. Meski malam itu cukup dingin, namun Uswa perlu menyesap minuman dingin untuk menyegarkan isi kepalanya.
Sesekali Uswa menatap ponsel di hadapannya. Ia berharap satu notifikasi dari Hanz muncul. Akan tetapi, apa yang dilakukan Uswa sia-sia, hingga berujung mengembuskan napas berat. Uswa masih diam tanpa kata. Memori kepalanya teringat akan kalimat yang disampaikan kakaknya malam sebelumnya, saat ia kembali ke rumah orang tuanya.
“Tidak ada yang bisa mengatur perasaan jatuh hati untuk siapa. Jika perasaan itu sudah hadir, maka hati akan mencintai orang itu. Jangan terlalu keras dengan perasaanmu. Jangan bertanya, mengapa kamu secepat itu jatuh hati?
Karena itu hal yang sia-sia. Tidak akan pernah ada jawabannya. Biarkan ia mengalir, mengkuti arus ke mana ia ingin bermuara. Namun, kita tetap harus mengontrol perasaan, untuk tidak semakin terjerumus, dan akhirnya kita binasa karena cinta, yang ternyata itu hanya tipu daya setan.”
Uswa semakin diam. Ia semakin merasa dirinya di tengah padang kehampaan yang sunyi, hening, bahkan angin pun berembus dengan lembut tanpa suara. Uswa kembali merenungi kata demi kata yang terucap dari bibir kakaknya.
Ia sadar, bahwa ia terlalu larut pada rindu yang tak seharusnya bersemu. Namun, semakin ia menepis rindu itu, maka akan semakin sakit ia menanti kabar dari Hanz. Uswa tertunduk, lagi-lagi embusan napas berat berhasil lolos dari mulutnya.
Uswa semakin dalam menunduk. Matanya terpejam. Ia seolah merasakan rindu yang belum pernah ia rasakan. Hingga ia terperanjat, karena ada tangan yang menepuk bahunya. Uswa refleks mengangkat pandangan, menatap Fajar yang sudah duduk di hadapannya, yang dibatasi oleh meja.
“Ngelamunin apaan? Dipanggil berkali-kali nggak denger,” celetuk Fajar, menatap Uswa penuh selidik.
Uswa memilih diam. Ia merentangkan tangan ke depan. Mengerahkan seluruh tenaga, agar pikiran dan tubuhnya merasa rileks. Uswa masih diam. Ia langsung menyesap lemon teh yang sudah mulai mengembun, membentuk butir-butir air pada dinding gelas. Uswa masih terus diam. Alih-alih menjawab pertanyaan Fajar, ia memilih menatap langit yang bertabur bintang.
“Jangan kebiasaan diam, Wa! Kalau ditanya itu dijawab, bukan makin diam!”
Fajar mulai kesal dengan sikap Uswa. Meski ia sudah tahu watak Uswa, namun ia kesal karena itu membuat dirinya khawatir. Uswa melipat kedua tangan di atas meja. Ia tersenyum menatap sahabatnya yang sejak SMP sudah berteman dengannya.
“Saat saya tau Darma juga menyukai saya, mengapa saya sangat sulit untuk menerimanya? Padahal jelas saat itu saya juga menyukai dia. Bahkan … kamu tau sendiri, bahwa saya cukup lama menghapus perasaan untuknya. Tapi, mengapa sekarang berbeda, Jar?”
Bukan jawaban yang keluar dari bibir Uswa. Ia malah menyampaikan pertanyaan yang memang membuatnya bingung. Jatuh hati terlalu cepat, yang menurutnya adalah sebuah rasa sakit yang harus ditanggung. Uswa menghela napas. Ia kembali menyesap lemon teh yang sudah mulai kehilangan rasa.
“Apa ini soal lelaki Laut itu?” tanya Fajar.
“Iya.” Jawaban yang singkat dan pasti, membuat Fajar mengulas senyum terbaiknya.
“Nggak ada yang salah dengan jatuh hati terlalu cepat, Wa. Apa kau lupa, kalau aku suka dengan Dila dalam waktu yang singkat, bahkan seminggu aku sudah menyatakan perasaanku. Dan, kau liat sendiri, kan? Sekarang aku sudah mau menikahinya,” jelas Fajar.
“Itu karena kamu yakin dengan perasaanmu, Jar.”
“Memangnya kau nggak yakin dengan perasaanmu?”
“Yakin. Sangat yakin. Tapi, entah dirinya. Saya tidak tau, dia yakin atau tidak dengan perasaannya.”
“Kau ragu dengannya?”
“Sedikit.”
Fajar mengembuskan napas berat. Sesaat, ia menyesap cappuccino hangat. Fajar meletakkan kembali secangkir cappuccino di hadapannya. Ia pun bertanya, “Apa yang kau ragukan?”
“Banyak.”
“Kau mencurigai dirinya?”
“Tidak.”
“Lantas apa?” Fajar semakin kesal dengan ketidakjelasan sahabatnya. Ia kembali menghela napas berat. “Wa … aku tau apa yang membuatmu ragu. Kau merasa dia kasihan denganmu, kan?”
Uswa diam membisu mendengar pertanyaan Fajar. Ia ingin menjawab ‘iya’. Namun, itu sangat membuat hatinya semakin sakit. Itu adalah keraguan terbesar Uswa, setiap ada seseorang yang menyukainya.
Saat itu, ia tahu bahwa Darma juga menyukainya, keraguan itu menjadi pemicu terbesar hubungan mereka renggang, bahkan saat Fajar akhirnya juga marah pada Darma, dan mereka semakin jarang bertemu Darma.
“Diammu kuanggap jawaban. Dan kau … bisa nggak, kesampingkan perasaan itu? Keraguanmu itu akan membuat rasa sakit yang sama. Kayak saat Darma bertunangan dengan wanita yang sama namanya denganmu.”
Penjelasan Fajar mengingatkan dirinya akan rasa sakit yang pernah ia rasakan, hingga akhirnya ia memilih untuk tidak jatuh hati dengan siapapun, sebelum ia benar-benar siap, dan menyelesaikan perselisihan dirinya dengan ayahnya. Dan pada akhirnya, ia jatuh hati di saat perselisihan semakin membara.
“Saat itu, saya sendiri tidak menyangka kalau dia juga menyukai saya. Dan kamu sendiri tau, saat itu perselisihan terjadi antara saya dan bapak. Saya merasa malu, kesal, dan jelas ragu dengan perasaannya. Dan sekarang, pria itu melihat perselisihan itu. Dan jelas, saya merasa kalau dia …."
“Kalau dia kasihan denganmu, karena melihatmu kayak gitu?”
Uswa hanya terdiam saat Fajar memotong kalimatnya. Namun, dalam hatinya sangat menyetujui kalimat Fajar. Bahkan, jauh di lubuk hatinya, apa yang terjadi pada dirinya, dan dilihat oleh Hanz, itu adalah hal yang sangat memalukan.
Karena itu, Hanz mengetahui bahwa keluarganya sangat tidak baik-baik saja. Akan tetapi, ia tidak bisa menyembunyikan, kalau dia benar jatuh hati pada suara Hanz di pertemuan pertama.
Suara yang menggetarkan kepiluan sebuah rindu, suara yang mampu membuat siapapun jatuh hati bila mendengarnya. Suara yang disampaikan karena kerinduan yang memuncak, rindu pada wanita, yang kasih dan ketulusannya tidak pernah ditemukan di manapun. Ibu. Suara Hanz saat itu begitu menggetarkan jiwa Uswa, yang juga sangat merindukan ibunya.
“Kali ini … tolong buang keraguanmu, Wa. Dan jika dia mengatakannya, kau harus menelaah dulu, apa penyebab dia seperti itu. Apapun keputusanmu, selagi itu membuatmu bahagia, aku dan Dila akan selalu ada untukmu, Wa …” lirih Fajar, membuat Uswa tersenyum tipis.
“Entahlah. Saya pun bingung harus bagaimana, sedang kabarnya tak lagi terdengar.”
Uswa menjawab dengan getar suara penuh rindu yang menyiksa. Senyum manis yang ia tujukan untuk Fajar, karena ketulusan Fajar dan Dila, langsung berubah menjadi senyum getir. Senyum yang jelas menggambarkan rindu, pilu, dan rasa yang tidak jelas akan menuju ke mana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jika kabarmu saja sulit kudengar, bagaimana aku yakin dengan rasamu, Tuan....
...~Oksigen TW~...
...****************...
berasa jadi TTM