"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)
Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.
Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.
Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Giliran Kakakku
Andi, suamiku, semakin tidak terkendali emosinya. Setelah insiden dengan ibuku dan temanku Ilo dan adikku, Iwan. Kini giliran kakakku lagi yang menjadi korban.
Suatu hari, kakak perempuanku datang mengunjungi rumah kami. Ia khawatir dengan kondisiku apalagi setelah ia mendengar informasi dari Iwan. Ia kebetulan sedang cuti dari pekerjaannya sebagai guru di luar daerah, sehingga menyempatkan menemuiku. Ia pun melihat kondisiku yang semakin tertekan dan depresi akibat perlakuan Andi.
“Kapan datang kak?” Tanyaku kepadanya sambil berjabat tangan dan mencium tangannya dan memeluknya dengan penuh kehangatan. Sudah beberapa tahun ini dia keluar dan tidak pernah pulang.
“Belum lama dek. Gimana keadaanmu dan ponakanku?”
“A- aku ba - baik-baik saja kak” jawabku terbata, sementara mataku sudah mulai berkaca-kaca.
“Tidak perlu berdusta tentang kondisimu. Aku bisa melihatnya dari raut wajahmu dek. Kau nampak tertekan dan tidak berdaya”
Sontak aku langsung memeluk kakakku dan menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya. Ia pun menyambut pelukanku dengan penuh kasih sayang.
“Aku sangat tersiks4 dibuatnya kak, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku kasian dengan anak-anakku yang masih kecil-kecil. Aku tidak mau mereka semua menjadi korban ketidakharmonisan kami. Biarlah aku yang menjadi tameng bagi anak-anakku”
“Aku salut dan bangga pada ketegaran, kebesaran hati dan kesabaranmu dek. Kakak doakan kau bisa melewati semua ini dan bisa menemukan keindahan di ujung kisah hidupmu nanti. Kau harus yakin dek, Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya terus menerus dalam kesengsaraan dan Allah juga tidak pernah menguji hambaNya di luar batas kemampuannya” Nasehat kakakku. Aku merasakan ketenangan dan pencerahan dari nasehat kakak. Mungkin karena dia seorang guru, yang sudah terbiasa memberikan motivasi kepada peserta didiknya, sehingga nasehat yang baru saja dia ucapkan, terasa begitu merasuk dan menghujam dalam benakku.
“Insya Allah aku akan terus mencoba bertahan kak. Sampai batas kemampuanku”. Kataku sambil melepaskan pelukanku dari kakak.
“Suamimu kemana?”
“Entahlah, dia bahkan setiap hari keluar rumah, jangankan mau memberi tahuku kemana tujuannya, permisi pun tidak pernah, meski itu hanya basa-basi”
“Aku disini tidak ada hargaku bagi dia” Kataku lagi. Air mataku tak terasa keluar membasahi pipiku.
“Sekarang aku sedang hamil ke tiga, tapi tidak ada sama sekali perhatiannya kepadaku. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan kami pun, dia sangat enggan. Kalaupun dia lakukan tapi penuh drama, penuh cacian dan makian, aku dan anak-anakku dianggapnya sebagai beban hidup bagi dia. Makanya sudah beberapa kali dia mengusir kami karena kami ini hanyalah beban hidupnya”
“Aku tahu semua ini berat. Tapi kau tidak boleh menyerah untuk terus berjuang agar suamimu bisa kembali menjadi sosok suami yang baik buat kau dan anak-anakmu”
“Maafkan aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak pernah memperhatikan keadaan kalian” Kata kakak merasa bersalah.
“Tidak apa-apa kak. Aku juga bisa mengerti itu. Lagian kakak juga kan punya keluarga sendiri yang harus diperhatikan”
“Mulai sekarang, aku akan sisihkan sedikit dari gajiku untuk kau dan keponakanku. Mungkin tidak akan banyak, tapi paling tidak bisa membantu meringankan bebanmu dek”
“Terima kasih banyak atas perhatiannya kak” Kataku sambil menggenggam tangan kakakku.
Memang sudah lama kami tidak bertemu sehingga kerinduan kami sangat besar. Mumpung Andi tidak berada di rumah jadi aku bisa bebas mencurahkan isi hati dan perasaan yang selama ini aku pendam sendiri.
“Aku lega bisa mencurahkan perasaanku kepada kakakku dengan bebas” Kataku dalam hati.
Baru saja aku selesai berucap dalam hati, tiba-tiba…
“Apa yang kau lakukan disini? Beraninya datang di rumahku tanpa seijinku” Teriak Andi dengan kas4r.
Aku dan kakakku kaget bukan kepalang. Membuat kami langsung berdiri dari tempat duduk.
“Kami hanya bercakap-cakap biasa” Jawab kakakku.
“Aku sebagai iparmu berharap dengan penuh kerendahan hatimu, tolong jaga baik-baik keponakan-keponakanku. Mereka masih sangat kecil. Mereka masih membutuhkan sosok ayah”
Kata Kakakku mencoba memberi nasehat. Dia berusaha berbicara baik-baik dengan Andi. Dia mencoba mengingatkan Andi untuk tidak memperlakukanku dengan kasar. Tapi Andi sama sekali tidak mau mendengarkan.
Malah Andi semakin menjadi-jadi marahnya dan tanpa peringatan, ia mendaratkan pukulan keras ke wajahku yang membuatku terhuyung ke belakang. Kakakku sangat terkejut. Melihat kejadian itu.
Kakakku menjerit histeris. Dia tidak menyangka Andi akan berani berbuat sejauh itu, bahkan di hadapannya sendiri.
Kakakku mencoba melakukan pembelaan kepadaku, tapi Andi malah mendorongku dengan kas4r sehingga iapun terjatuh.
Tetangga terkejut mendengar keributan dan segera datang untuk melerai. Mereka berusaha menarik Andi dan kakakku yang sudah mau saling adu jotos.
Akhirnya, keributan itu berhasil dihentikan. Kakakku langsung keluar dari rumahku, tanpa permisi. Dia begitu kecewa dengan perlakuan kas4r Andi kepadanya dan kepadaku.
Aku hanya bisa menangis menyaksikan semua ini. Aku tidak menyangka Andi akan berlaku sej4hat dan sek4sar itu, bahkan terhadap keluargaku sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?
Peristiwa itu semakin menunjukkan perubahan drastis pada diri Andi. Aku semakin khawatir dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan rumah tangga kami yang semakin nestapa.
***
Setelah keributan dan perkelahian antara Andi, suamiku, dan kakakku, akhirnya suasana di rumah menjadi hening. Kakakku telah pergi dari rumah. Para tetangga yang tadi melerai, sudah pulang.
Tinggal aku, Andi dan anak-anakku yang berada di rumah dalam keadaan yang sangat tegang. Andi masih terlihat marah dan emosional sedangkan anak-anakku masih berada di dalam kamar.
"Kau lihat apa yang telah kau lakukan? Gara-gara kau, kakakmu jadi korban!" sembur Andi padaku.
Aku terkejut mendengar tuduhan yang ia lontarkan.
"Apa? Tapi aku tidak melakukan apa-apa! Justru kaulah yang memulai semua ini dengan memukul wajahku!" bantahku.
"Kau ini selalu saja membela diri! Kau pasti menceritakan yang aneh-aneh ke kakakmu kan? Dasar istri tidak tahu diri!" cerca Andi sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
“Kenapa kau selalu menyalahkanku? Semua keburukan yang terjadi di rumah ini selalu saja kau limpahkan kepadaku. Aku ini istrimu. Aku punya harga diri. Aku juga berhak untuk membela diri. Lihat dirimu sekarang, biar salah tapi selalu merasa benar. Tidak mau disalahkan, tidak mau juga menerima saran. Semua nasehat yang disampaikan, kau selalu abaikan. Dasar suami egois”
tapi Andi tidak mau dikalah dan tidak mau mengalah. Ia terus saja menghujatku dengan kata-kata kas4r dan menyalahkanku atas semua yang terjadi.
"Kau benar-benar istri yang tidak berguna! Selama ini aku sudah terlalu baik padamu, tapi kau malah mengkhianatiku!" bentak Andi.
“Apa? Baik katamu? Baik dari nerak4?. Ambil itu cermin lalu tempel mukamu di depan cermin itu. Biar kamu sadar semua perbuatanmu tidak ada satupun yang beres” Kataku dengan bibir gemetar dan dada berdebar tidak karuan.
Air mataku pun akhirnya menetes. Aku merasa sangat sedih, kecewa dan terluka atas semua perkataan dan perlakuan Andi yang semakin memburuk.
Andi tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikit pun. Ia malah terus memakiku tanpa henti, seakan-akan akulah yang bersalah atas semua ini.
Saat aku merasakan lemah tak berdaya karena telah melepaskan energi buruk dari tubuhku, aku hanya bisa terdiam dan menangis, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Andi benar-benar sudah berubah menjadi sosok yang tidak kukenal lagi. Perlakuannya begitu kej4m dan tidak berperasaan.
Rumah tangga kami kini benar-benar dipenuhi dengan kesengsaraan. Aku merasa hidup di tengah-tengah situasi yang sangat nestapa.
Akankah semua ini berakhir? Akankah Andi kembali menjadi sosok yang dulu kucintai? Hatiku dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan.