Hal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri.
***
Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku.
Namun, semua hilang saat jiwaku bereinkarnasi ke dunia lain, di tubuh yang berbeda sebagai seorang antagonis dalam novel romantis kerajaan.
Petualangan ku dimulai, di Akademi Evergreen menjadi seorang antagonis.
***
"Aku tidak melakukannya karena keinginanku, melainkan ikatan yang melakukannya." - Aristella Julius de Vermilion
[COPYRIGHT FYNIXSTAR ]
[INSPIRATION FROM ANIME]
1. RAKUDAI KISHI NO CAVALRY
2. GAKUSEN TOSHI ASTERISK
3. CLASSROOM OF THE ELITE
[ENJOY]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Estellaafseena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER XIX
Di sebuah kastil terbuang, terdapat ruangan besar yang hanya disinari oleh cahaya dari lentera di dinding membuat kesan suram semakin terasa. Seseorang duduk di kursi singgasana kehormatan yang sekaligus menjadi penguasa tempat itu.
Suara deritan pintu yang terdengar ngilu di telinga karena engsel pintu yang berkarat, membuat sang penguasa menatap ke depan dengan dingin.
Makhluk berwarna hijau, berbadan kurus pendek, kukunya yang panjang, bertelinga dan berhidung panjang, serta mata merah, dan giginya yang runcing berlutut di depan sang penguasa. Dia berasal dari ras Goblin pemakan manusia.
Mulutnya bergerak seakan memberikan informasi.
"Mereka gagal," ujarnya dengan bahasa aneh, terdengar seperti pengucapan kumpulan huruf mati.
Sang penguasa yang menopang kepalanya dengan kepalan tangan hanya diam menatap dingin dengan aura mencekam.
Hening sejenak. Hanya ada suara ketukan dari ujung jari telunjuk Sang Penguasa.
"Pergilah," ucap sang penguasa.
Goblin itu menunduk lalu balik badan dengan langkah sedikit terpincang-pincang karena perbedaan panjang kakinya yang kurus.
Saat pintu tertutup, Sang Penguasa mengeluarkan sebuah bola sihir. Saat telapak tangannya yang dingin mengusapnya, bola sihir itu bercahaya menampilkan seperti cuplikan kejadian.
Wajahnya yang tertutupi oleh kegelapan, kini menyeringai.
"Tak apa. Aku akan segera merebutnya dari mereka, termasuk bintang itu."
...***...
Musim dingin. Musim dimana sepasang 'kekasih' menjalani kehidupan romansa dengan adanya natal. Bertukar hadiah atau sweater hangat, bahkan satu syal untuk berdua. Minum coklat bersama dengan makanan utama daging kalkun.
Namun, tidak bagi para lajang dengan segala hawa dingin dan suramnya kehidupan. Tidak adil rasanya dikelilingi pasangan kekasih penuh kehangatan batin. Sudah dingin, tidak ada penghangat pula. Jadi, selamat melajang.
...***...
"Hachi-!"
Sudah ku duga. Musim dingin ini ternyata tidak cocok denganku.
Tubuh ini masih saja menggigil meski sudah memakai syal dan sarung tangan. Beruntungnya masih ada almamater akademi yang bisa sebagai pengganti sweater. Namun tetap saja, hawa di Indonesia berbeda dengan di sini.
Indonesia hanya dingin saat hujan, itupun jarang di daerahku kecuali di bulan Januari dan Februari. Salju lebih ekstrem daripada hujan. Aku ingin soto.
"Nona Stella, apa kau tidak bisa diam? Bersin boleh tapi kenapa harus tiga kali dalam satu menit." Profesor Terra protes di depan kelas, aku hanya menatap datar.
'Mulutmu. Bagaimana caranya aku bisa menahan bersin?'
Aku memeluk diriku sendiri yang sedikit menggigil mengalirkan hawa hangat dengan bantuan sedikit sihir Fireclo, diam-diam tentunya, lalu menatap mereka datar dengan rasa kesal, "Bisa tidak di kelas ini menyediakan alat pemanas ruangan? Aku kedinginan."
"Baik. Kita lanjutkan pembahasan hari ini."
'Dia mengabaikan ku.' batinku menatap tajam pada Profesor yang kini terlihat mengalihkan topik. Akademi terkenal kenapa tidak ada pemanas ruangan? Sepertinya mereka tiba-tiba bangkrut.
"Mereka hanya memasang alat itu di ruangan Profesor saja," tanggap Mexis dengan tiba-tiba. Aku melirik padanya, ingin merespon tapi benar-benar dingin sampai aku membungkukkan hampir sembilan puluh derajat tubuhku.
"Tidak adil," gumamku pelan yang entah terdengar olehnya atau tidak.
Profesor menjelaskan di depan layar papan tulis. Semua materi masuk dalam telinga kananku dan keluar ke telinga kiri. Benar-benar tidak bisa ku cerna sampai ia mengetuk meja podium dengan buku tebal. Kami menatapnya dengan serius kali ini.
"Materi selesai sampai di sini. Jam berikutnya adalah pembahasan tentang Festival StarLight yang akan berlangsung satu bulan lagi. Oh. Lebih tepatnya tersisa tiga minggu lagi setelah musim dingin."
Persiapan hampir selesai, tujuanku di sini juga hampir tercapai meski beberapa tidak sesuai dengan apa yang ingin ku ambil. Meski masa depan mulai terlihat, tapi aku masih memiliki saingan berat.
"Untuk menyiapkan semuanya dengan sempurna, kami menunjuk beberapa perwakilan kelas dari semua profesor. Di kelasku, akan ada empat anak yang ikut menjadi sukarelawan. Ada yang ingin mengajukan diri?" tanya Profesor membuat kami semua murid di ruangan bungkam.
Ya. Beginilah kelas Profesor Terra. Semua murid muridnya tidak berambisi untuk menjadi sukarelawan, kecuali dia tentunya.
"Saya bersedia, Profesor." Riana mengangkat tangan membuat Profesor Terra mengangguk. Aku mengabaikannya dan memilih untuk fokus pada tubuhku sekarang, benar-benar dingin sampai ke tulang.
"Ada yang lain?"
Saat pertanyaan kedua Profesor, Mexis mengangkat tangan, "Saya ikut," balasnya dengan wajah tenang.
Aku yakin dia ikut karena Riana ikut. Jika tidak ya dia akan memilih menetap di perpustakaan dengan buku-bukunya atau tidur dalam kelas.
"Bagus. Ayo, siapa lagi?" Pertanyaan ketiga dari Profesor kali ini direspon diam, sampai seseorang dengan sikap cerita mengangkat tangan dan berseru, "Saya bersedia! Ini pasti akan seru dengan banyak bahan membuat majalah ku."
"Hei. Ini sukarelawan untuk menyiapkan keperluan festival, kau malah hendak mencari bahan berita. Dasar," Profesor Terra menanggapi dengan dahi yang mengernyit.
Aku melihat murid itu yang terlihat sangat bersemangat sekali. Dia selalu membawa kamera kecil yang talinya tergantung di leher. Aku tidak tahu namanya.
"Baik, yang terakhir?"
Tidak ada yang mengajukan diri setelahnya. Profesor menatap dari sudut kanan ke kiri, tidak ada yang mengangkat tangannya lagi dan itu berlangsung selama tiga puluh detik. Profesor berdeham, memegang dagu seakan berpikir, namun pandangannya yang mencurigakan mengarah padaku meski hanya sekilas, dan itu ku sadari.
"Satu orang ya. Kita membutuhkan orang yang memiliki 'bakat' hebat dalam mempelajari suatu hal hanya dengan satu kali melihat."
Perasaanku terbukti. Semua murid di kelas ini menoleh padaku, termasuk Mexis dan Riana yang sekarang pancaran kilauan cahaya menyorot dari matanya.
'Mati saja kau Profesor. Kamu rese kalau belum mati.' batinku berusaha untuk mengabaikan tatapan mereka dengan merebahkan kepala di atas meja.
"Oh! Bagaimana kalau Yang Mulia Putri Aristella Julius de Vermilion ikut dalam ekspedisi ini?"
'Brengsek.' aku merutuk dalam hati, mendongak menatap kesal Profesor yang baru saja bicara. Dia tersenyum miring dengan berkacak pinggang.
"Aku menolak," balasku datar. Profesor menatapku seakan memiliki kartu As, lalu bicara dengan nada menyuap.
"Dapat tambahan poin," ujarnya dengan memamerkan tablet yang fungsinya menambah nilai murid menjadi poin.
"Tetap ku tolak," balasku kembali merebahkan diri. Dapat ku dengar seruan yang tertahan dari orang-orang di ruangan ini.
"Seorang Aristella Julius menolak penambahan poin? Kenapa?" Suara Profesor bertanya.
"Tidak ingin saja," balasku bohong. Sejujurnya aku tidak ingin percaya dengan para Profesor tentang penambahan nilai lagi.
Saat aku ikut serta dalam tour mengelilingi akademi satu minggu lalu, Profesor Egatha memang memberikanku poin dua kali lipat tapi ternyata, dua kali lipat itu dalam makna lain yaitu melipat gandakan poin awalku di RectaPhone yang hanya tersisa satu poin.
Jadi aku hanya memperoleh dua poin saja tambahan satu poin bonus darinya menjadi tiga poin. Sungguh miris.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan mengurangi nilaimu menjadi minus sepuluh poin ..."
^^^つづく^^^
...ーARIGATO FOR READINGー...
...THANKS...