Saphira Aluna, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini telah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas.
Luna harus menelan pil pahit, ketika detik-detik kelulusannya Ia mendapat kabar duka. Kedua orang tua Luna mendapat musibah kecelakaan tunggal, keduanya pun di kabarkan tewas di tempat.
Luna begitu terpuruk, terlebih Ia harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Luna kini menjadi tulang punggung, Ia harus menghidupi adik satu-satunya yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama.
Hidup yang pas-pasan membuat Luna mau tak mau harus memutar otak agar bisa terus mencukupi kebutuhannya, Luna kini tengah bekerja di sebuah Yayasan Pelita Kasih dimana Ia menjadi seorang baby sitter.
Luna kira hidup pahitnya akan segera berakhir, namun masalah demi masalah datang menghampirinya. Hingga pada waktu Ia mendapatkan anak asuh, Luna malah terjebak dalam sebuah kejadian yang membuatnya terpaksa menikah dengan majikannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina Ambarini (Mrs.IA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegundahan Khafi
Hari ini, adalah hari pemakanan Selina. Isak tangis mengiringi kepergian Selina ke tempat peristirahatan terakhirnya, Khafi berjalan gontay sembari memeluk foto isrti tercintanya.
Brian dan Ica berjalan di belakang ayahnya, Luna pun ikut dalam barisan.
Sesampainya di pemakanan, liang lahat sudah disiapkan. Penutup keranda segera di buka, tampak tubuh Selina yang telah terbungkus kain kafan.
Secepatnya jasad di pendam, Khafi tak sanggup melihat jasad istrinya di masukan ke liang lahat.
Terdengar lantunan adzan, Khafi masih berusaha untuk tegap berdiri.
Namun ketahannya runtuh, ketika tanah mulai menimbun tubuh istri tercintanya.
Khafi berbalik memeluk sang ayah, Ia tak kuasa untuk melihatnya.
"Mami!" Teriak Brian dan Ica.
Luna merangkul keduanya, Ia memberikan pelukan pada kedua anak yanh kini harus berpisah dengan ibunya.
Setelah selesai dikuburkan, saatnya Khafi menaburkan bunga diatas pusara sang istri.
Tangan Khafi bergetar, perlahan Ia menaburkan bunga di rumah baru istrinya.
Semua ikut melakukan hal yang sama, termasuk Luna.
Selesai itu, satu persatu orang yang mengantar Selina ke tempat peristirahat terakhirnya mulai berpamitan. Tersisa keluarga saja saat itu, Khafi bahkan enggan untuk meninggalkan istrinya sendirian.
"Khafi. Ayo Kita pulang!" Ajak Pak Seno.
Khafi tampak tertunduk, Ia menggelengkan kepalanya menolak untuk beranjak dari tempatnya.
"Aku mau disini, Aku mau temenin Lina, Pah!" Seru Khafi.
"Mami. Kenapa Mami ninggalin Ica, kenapa Mami mau tidur di dalam tanah. Di rumah lebih enak, Mi!" Racau Ica yang masih menangisi kepergian ibunya.
"Selina. Mamah yakin, Kamu udah tenang sekarang. Kamu udah gak ngerasain sakit lagi, Kamu udah bahagia. Sekarang Mamah yang harus berjuang, berjuang untuk bisa hidup tanpa Kamu!" Seru Bu Nuri, Ia tak menyangka bahwa putrinya akan pergi lebih dulu.
"Khafi. Ayo, Kita harus menyiapkan acara tahlilan untuk Selina setelah ini!" Pak Seno masih membujuk putranya.
"Iya, Fi. Kita bisa kirim doa untuk Selina di rumah, karena memang itu yang Lina butuhkan saat ini. Kamu gak bisa terus-terusan kayak gini, Kamu harus ingat Brian, Ica, sama Rena yang membutuhkan Kamu." Yuke ikut membujuk Khafi untuk pulang.
Khafi menghembuskan nafasnya dengan kasar, Ia pun akhirnya mau beranjak dari tempatnya.
Dengan langkah yang berat, Khafi dan seluruh keluarga mulai meninggalkan pemakaman.
Pada akhirnya, semua orang akan menemui ajalnya suatu hari nanti.
Tidak ada seorangpun yang tahu, kapan Mereka akan menemui ajalnya. Karena ajal tidak memandang usia, jenis kelamin, bahkan derajat seseorang.
Sesampainya di rumah, semua keluarga berkumpul di ruang tamu. Beberapa orang lainnya seperti Luna, tengah menyiapkan untuk acara tahlilan malam nanti.
"Jadi gimana setelah ini?" Tanya Yuke.
Semua orang menoleh, mempertanyakan apa maksud Yuke.
"Maksud Kamu apa? Gimana apanya?" Tanya Bu Nuri.
Yuke tampak canggung, namun Ia tetap melanjutkan maksudnya.
"Maksud Aku, kan biasanya seseorang itu sebelum meninggal suka ada keinginan-keinginan yang belum terpenuhi. Barangkali ada keinginan Selina yang belum terlaksanakan?" Tanya Yuke dengan hati-hati.
Khafi menghela nafasnya, Ia menundukkan kepalanya. Sekilas Khafi melirik ke arah Luna yang tengah menggelar karpet dan sibuk menyiapkan tahlilan, kembali Khafi teringat dengan wasiat istrinya.
"Emm, soal itu. Gimana, Fi?" Tanya Pak Seno.
"Gimana apanya, Pah?" Tanya Khafi yang tampak tak bersemangat.
"Tentang wasiat Selina," ujar Pak Seno.
"Maaf, wasiat? Wasiat apa maksudnya?" Tanya Bu Nuri yang belum mengetahui bahwa putrinya telah membuat sebuah wasiat untuk Khafi.
Pak Seno memberikan sebuah buku, dan Bu Nuri pun membuka halaman pertama dari buku itu. Bu Nuri menutup mulutnya, Ia juga terlihat menitikan air mata.
"Bu Nuri, kenapa? Aku mau lihat isinya!" Pinta Bu Windi yang juga ingin tahu wasiat apa yang di tulis oleh menantunya.
Bu Windi tak kalah terkejut, Ia juga langsung menoleh ke arah Luna yang masih sibuk berbenah.
Yuke tampak ikut penasaran, Ia ingin sekali membaca wasiat dari sahabatnya itu.
"Aku mau baca dong, Tan!" Seru Yuke.
"Gak boleh! Ini khusus keluarga!" Seru Bu Nuri.
Yuke merasa kesal, namun Ia tak terlalu memikirkan hal itu.
"Ok, gak apa-apa kok Aku gak dibolehin baca wasiat dari Lina. Toh, Aku juga tahu apa yang Lina wasiatkan. Apalagi kalau bukan meminta Khafi untuk menikah sama Aku," gumam Yuke dalam hatinya, Ia begitu yakin dengan prasangkanya.
"Ngomongin itu nanti aja, Aku masih berduka, Pah. Kita omongin hal ini kalau udah hari ke tujuh meninggalnya Lina!" Seru Khafi.
"Iya, bener Tan. Gak apa-apa kok di omongin nanti aja, kasihan Khafi!" Timpal Yuke.
***
Menjelang isya, para tetangga mulai berdatangan. Rumah duka penuh di datangi warga, yang ikut mendoakan Selina. Luna tampak begitu sibuk menyiapkan bingkisan untuk para tamu, sesekali pun Luna harus menggendong Rena yang tiba-tiba menangis.
"Rena sayang, Kamu kenapa nangis terus?" Luna berusaha untuk menenangkan Rena.
"Bi. Aku ke atas sebentar, mau bikin susu buat Rena mungkin Dia haus." Luna meminta izin pada Bi Yuni untuk membawa Rena ke tempat yang lebih sepi, mungkin Rena tak terbiasa dengan keramaian di rumahnya.
"Ya udah gak apa-apa, Kamu ke atas aja tenangin Rena. Kasihan nangis terus," ujar Bi Yuni.
"Iya, Bi." Luna pun tampak berjalan cepat menuju lantai atas, hal itu terlihat oleh Khafi yang juga mendengar suara tangisan putri bungsunya.
"Pah. Aku ke atas sebentar!" Khafi meminta izin untuk beranjak dari tempatnya.
"Ya udah, jangan lama. Tahlilannya udah mau di mulai!" Seru Pak Seno.
"Iya." Khafi dengan cepat menyusul Luna ke lantai atas, Ia harus memastikan bahwa putrinya baik-baik saja.
Di dalam kamar, Luna tengah memberikan susu pada Rena. Tangis Rena mulai berhenti, Luna terlihat mengusap pipi Rena yang basah karena air mata bercampur keringat.
"Rena, sayang. Tenang ya, Nak. Kak Luna ngerti, Rena pasti nangis karena Mami Rena udah gak ada. Rena jangan khawatir, masih banyak yang sayang sama Rena. Kak Luna juga sayang sama Rena, Kak Luna bakal jagain Rena. Tumbuh dengan sehat ya, Sayang!" Luna terus berucap hal-hal yang membahagiakan pada Rena. Tanpa Ia sadari, Khafi sedari tadi tengah memperhatikannya.
Khafi melihat bagaimana tulusnya Luna dalam mengurus putrinya, Ia juga peraya bahwa Luna memang orang yang baik.
Khafi berjalan masuk, Luna menyadari kedatangan majikannya itu.
Luma hendak berdiri, namun Khafi memberikan isyarat untuk Luna tetap duduk agar tak membangunkan Rena yang tengah berada di pangkuannya.
"Rena udah tidur?" Tanya Khafi.
"Iya, Pak. Baru aja tidur," jawab Luna.
Khafi mengelus pipi putrinya, Ia merasa sedih karena putri kecilnya telah kehilangan sosok ibu sebelum Ia dewasa.
"Kasihan Kamu, Nak. Mami pergi di saat usiamu yang masih sangat kecil," ucap Khafi dengan miris.
Luna terdiam, Ia paham apa yang tengah di rasakan oleh majikannya itu.
"Maafin, Papi. Papi gak bisa memberikan yang terbaik agar Mami sembuh," lanjut Khafi.
"Pak, Saya tahu perasaan Bapak sekarang. Memang berat kehilangan seseorang untuk selamanya, tetapi Kita juga gak bisa terus-terusan terpuruk. Hidup Bapak harus berlanjut, apalagi ada tiga orang anak yang membutuhkan kasih sayang dari Bapak." Luna mencoba untuk menyemangati majikannya.
"Kamu gak paham, bagaimana cintanya Saya pada istri Saya. Kamu belum pernah kehilangan sosok yang teramat dicintai," ujar Khafi.
Luna tersenyum miris, Ia berusaha menahan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.
"Bapak lupa, ya? Aku juga udah kehilangan dua orang yang teramat Aku cintai, yaitu orang tuaku. Kita sama-sama kehilangan, Pak. Bedanya, Bapak di tinggalkan oleh wanita yang mencintai Bapak juga anak-anak Bapak. Sedangkan Aku, Aku di tinggalkan oleh dua orang yang cintanya begitu besar untukku. Kehilangan orang tua itu tak kalah beratnya, Pak."
Khafi terdiam mendengar perkataan Luna, Ia memang lupa tentang Luna yang juga telah kehilangan orang tuanya.
"Awalnya Aku juga terpuruk, hidupku serasa hancur. Tetapi Aku harus bangkit, Aku harus kuat demi Nuka. Nuka masih membutuhkan sosok kedua orang tuanya, dan Aku harus bisa menggantikan peran orang tuaku untuk Nuka. Aku harap, Bapak juga bisa seperti itu. Bangkit, menata hidup kembali bersama putra putri Bapak." Luna melanjutkan perkataannya.
Khafi diam seribu bahasa, Ia hanya menatap kosong ke arah putri kecilnya.
"Lin. Apa yang harus Aku lakukan? Apa yang harus Aku putuskan tentang permintaan Kamu itu?" Khafi masih sangat gundah memikirkan permintaan mendiang istrinya.