NovelToon NovelToon
Benih Tuan Presdir

Benih Tuan Presdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Lari Saat Hamil / Single Mom / Anak Genius / Ibu Pengganti / Percintaan Konglomerat / Penyesalan Suami
Popularitas:234.9k
Nilai: 5
Nama Author: Byiaaps

Keenan dan Jihan yang baru saja menikah siri setelah 5 tahun berpacaran, terpaksa berpisah kala Keenan harus menerima perjodohan dengan anak relasi bisnis ayahnya.

Kepergian Jihan seorang diri dalam keadaan hamil, membuat Keenan terus mencarinya.

Hingga 5 tahun berlalu, tak sengaja Keenan bertemu dengan seorang bocah tampan, yang mengikuti casting bintang iklan produk perusahaan farmasi yang dipimpinnya.

Apakah anak itu adalah anak yang dikandung Jihan? Bagaimana kelanjutan cerita Keenan dan Jihan? Akankah Keenan menceraikan istri yang tak dicintainya?

Baca selengkapnya di sini ya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Merasa ada yang aneh dengan anaknya, membuat Jihan berprasangka buruk pada perlakuan Keenan dan Nayla. Ia lalu meminta Ale untuk jujur, ada apa sebenarnya. “Ale kenapa tidak bersemangat seperti biasanya? Apa papa dan mamanya Ruby jahat sama Ale?”

Ale hanya menggeleng, lalu mendudukkan tubuhnya yang terbaring.

“Mereka baik kok, Ma. Ale bisa makan enak di sana. Tadi Ale juga diajak berenang sama Ruby dan Om Keenan. Ale juga diajari main piano sama Ruby. Suster Ruby juga baik pada Ale,” jawab Ale begitu jelas.

Jihan lalu menanyakan penyebab Ale tampak tidak bersemangat.

Menghela nafas panjangnya, Ale menunduk lesu. “Kenapa ya, Ma, Ale tidak bisa seperti Ruby, yang punya mama papa, punya suster, punya rumah mewah, ada kolam renangnya, mainannya banyak, bisa sekolah di tempat yang bagus, bisa main piano lagi. Karena sekolah Ale ternyata sangat berbeda dengan sekolah Ruby, Ma”

Seketika Jihan miris mendengar ucapan sang anak. Ada rasa bersalah, juga hancur ketika Ale bisa bicara demikian. Di satu sisi, ia ingin marah pada dirinya sendiri, yang telah membiarkan Ale melihat kehidupan Ruby.

“Mama minta maaf ya, tidak bisa seperti orang tua Ruby. Apa Ale marah sama Mama? Mama janji akan bekerja lebih keras lagi, biar Ale bisa tinggal di rumah yang lebih bagus dari rumah kita di Bandung. Biar Ale bisa sekolah di tempat yang bagus dari sekolah Ale yang sekarang, juga biar Mama bisa membelikan banyak mainan bagus untuk Ale,” ujar Jihan menahan tangisnya, menggenggam erat tangan Ale.

Ale menggeleng lalu menyeka pipi Jihan yang mulai basah. “Tidak, Ma. Ale tidak mau merepotkan Mama. Ale tidak mau Mama bekerja sampai kelelahan hingga sakit seperti dulu, Ale tidak marah kok Ma. Ale hanya sedih, karena Ale tidak seperti Ruby.”

Ale juga menambahkan, bahwa meskipun kehidupan Ruby sangat menyenangkan, tapi ia tak pernah merasakan masakan mamanya, bahkan juga sangat kesepian, tidak seperti dirinya yang meski hanya tinggal berdua dengan mamanya, tapi hatinya selalu ramai karena banyak teman-teman kerja mamanya yang sayang padanya.

Jihan tersenyum, dengan air mata yang tak mau berhenti menetes.

Ale lalu meminta maaf, telah membuat mamanya menangis.

“Bagaimana bisa, anak seusianya berbicara sedewasa ini, Ya Tuhan,” gumam Jihan lirih.

Jihan kembali mencium tangan Ale, dan dengan terisak berpesan pada anaknya, agar Ale bisa menjadi anak yang cerdas, hingga bisa sesukses orang tua Ruby nantinya. “Mama juga akan lebih keras lagi mengumpulkan banyak uang, agar Ale bisa sekolah sampai kuliah. Mama doakan Ale jadi anak sukses, yang bisa punya rumah seperti rumahnya Ruby.”

Bak seseorang yang dewasa, Ale terus menyeka air mata sang mama, sambil terus berucap agar mamanya berhenti menangis. “Nanti Ale buatkan rumah yang bagus untuk Mama.”

Bukannya berhenti menangis, air mata Jihan justru semakin jatuh melimpah.

***

Keesokan paginya, ketika akan bersiap kembali ke Bandung, Keenan kembali bertamu ke rumah Bu Dina.

“Silakan duduk dulu, Keenan, Ibu panggil Jihan di kamar,” ujar Bu Dina bergegas meninggalkan Keenan di ruang tamu.

Jihan yang baru saja keluar kamar, segera menemui Keenan, lalu menarik tangannya dengan paksa, menuju pintu.

“Jihan, ada apa?” tanya Keenan dengan tenang.

“Oh, jadi ini tujuan kamu mengajak Ale bermain bersama Ruby ke apartemen kalian, karena kamu mau memamerkan kehidupan mewahmu bersama anak istrimu itu, di depan Ale yang tidak memiliki ayah dan hanya bisa tinggal di rumah kontrakan kecil dengan fasilitas seadanya? Kamu mau memamerkan padanya betapa beruntungnya Ruby memiliki orang tua yang lengkap, bisa bersekolah di sekolah mahal, memiliki banyak mainan yang bagus dan kehidupan yang serba berkecukupan, agar Ale sedih karena iri padanya. Iya?” tuduh Jihan.

Keenan yang merasa tak tahu apa-apa, hanya bisa mengelak, karena memang bukan itu maksudnya. “Jihan, aku tidak paham apa maksudmu, aku tidak mungkin berniat seperti itu."

Tak percaya, Jihan lalu menceritakan soal apa yang Ale bicarakan padanya semalam, juga bagaimana sikap Ale yang masih anak-anak itu, merasakan iri pada nasib temannya yang lebih beruntung darinya. Jihan kemudian mengungkapkan penyesalannya, yang dari awal telah mengizinkan Keenan bertemu dengan Ale. “Tidak seharusnya aku bersikap baik padamu, Keenan!”

Keenan terus menenangkan Jihan, dan meminta maaf padanya karena telah membuat Ale merasakan hal itu. Berkali-kali ia menjelaskan bahwa ia tak berniat demikian. Ia hanya ingin dekat dengan anaknya sendiri.

“Aku akui aku salah, tidak seharusnya aku membawa Ale ke apartemen. Kalau memang aku mau dekat dengan Ale, seharusnya aku yang menemuinya di Bandung, dan mengajaknya bermain. Tak perlu membawa Ruby. Maafkan aku,” sesal Keenan yang baru menyadari dampak dari tindakannya.

Jihan lalu meminta Keenan pergi dan tak mengusik hidup mereka lagi. “Sudah cukup semua yang kamu lakukan, Keenan! Aku menyesal pernah menikah denganmu. Jangan temui kami lagi!”

Seketika Keenan berlutut di hadapan Jihan, dan kembali meminta maaf, juga memohon agar Jihan tak melarangnya menemui mereka lagi.

“Bangun dan pergi lah, kembali ke kehidupan kita masing-masing!” usir Jihan, menyeka air matanya yang tak tertahankan, dengan pandangan lurus ke depan, yang tak melihat Keenan sama sekali.

Sementara Bu Dina yang melihat kejadian ini pun, tak dapat menahan air matanya. Ia pun bergegas keluar dan membantu Keenan berdiri. “Sudah, Jihan, lunakkan hatimu, Nak, kuasai emosimu. Bagaimana pun, Ale tetap butuh ayahnya.”

Masih terus berucap lirih, Bu Dina membujuk anaknya agar tak menggunakan emosinya di saat seperti ini. Jihan tak boleh egois, karena masa lalu ini sama-sama tak mengenakkan bagi keduanya. Tak seharusnya Jihan terus bersikap membenci Keenan. “Bagaimana pun, dia ayah dari anak kamu, Jihan. Ayah kandungnya Ale.”

Melihat sang ibu yang bersedih, Jihan meninggalkan mereka masuk ke dalam, memastikan Ale tak melihat semua ini.

Sementara Bu Dina kembali meminta Keenan untuk pulang, agar Jihan bisa lebih tenang.

“Bu, Keenan masih sangat menyayangi Jihan. Keenan mau mengantar Jihan dan Ale, Keenan tidak mau mereka pulang sendiri. Bu, Keenan mohon, Keenan ingin memperjuangkan Jihan dan Ale. Keenan akan tinggalkan semua kehidupan Keenan, demi bisa kembali bersama Jihan dan Ale,” pinta Keenan membuat Bu Dina semakin terenyuh dengan nasib Keenan dan Jihan.

Merasa semuanya sudah berbeda karena ada Ruby dalam hidup Keenan, Bu Dina tak ingin mantan menantunya itu bertindak gegabah, apalagi sampai harus meninggalkan anaknya. “Pulang lah, Keenan, kita bicarakan lagi nanti.”

“Tapi, Bu,” rajuk Keenan bersedih.

***

Saat hari sudah menjelang siang, Jihan berpamitan pada ibunya, juga Lusi.

“Benar, tidak mau aku antar sampai Bandung?” tawar Lusi.

Jihan menggeleng. Ia tak ingin merepotkan temannya itu lagi, yang sudah sangat baik padanya. Lagi pula, jarak dari rumahnya menuju stasiun sangat lah dekat. Mudah juga baginya jika harus sendirian mengajak Ale naik kereta api.

Mereka kemudian saling berpelukan lagi, sebelum Jihan dan Ale masuk ke dalam taksi yang sudah Jihan pesan, menuju stasiun.

Selama di perjalanan, beberapa kali Ale menengok ke belakang.

“Ada apa, Nak?” tanya Jihan yang ikut menengok ke belakang.

“Itu, seperti mobilnya Om Keenan,” jawab Ale lugu.

Tak memedulikannya, Jihan mengatakan bahwa Ale mungkin saja salah tebak, mengingat mobil Keenan tak hanya dimiliki oleh 1 orang.

Hingga setibanya di stasiun, Jihan menggandeng tangan Ale untuk bergegas check in, sebelum Keenan menemui mereka.

Keenan yang tak ingin ketinggalan mereka karena kelamaan mencari tempat parkir kosong, memarkir mobilnya secara sembarangan di luar stasiun, lalu bergegas berlari menyusul masuk.

“Ale,” panggil Keenan berteriak.

Ale pun melepaskan tangan mamanya, dan berlari menemui Keenan.

Keenan memosisikan tubuhnya setengah duduk dan memeluk Ale, hingga membuat Jihan terdiam sekian detik, sebelum akhirnya menyusul mereka. “Ale, ayo, keretanya sudah mau berangkat.”

Ale tampak berpamitan pada Keenan yang belum mau melepaskan pelukannya. Seketika momen itu menjadi kisah paling memilukan hati. Beberapa pasang mata juga seakan ikut merasakan sesaknya perpisahan ini.

Momen ini pun kemudian tampak diabadikan oleh seseorang, dari kejauhan.

...****************...

1
LISA
Kenan tuh yg bayarin SPP nya Ale
Eva Nietha✌🏻
Ale pinter
Eva Nietha✌🏻
Keren
Eva Nietha✌🏻
Kena deh bakal viral nih Nayla
Eva Nietha✌🏻
Kapok kamu pak Basuki
Eva Nietha✌🏻
Ale hebat
Eva Nietha✌🏻
Wah ale viral
Eva Nietha✌🏻
Feeling anak sm bapaknya
Eva Nietha✌🏻
Ayo keenan tegas
Eva Nietha✌🏻
Keren ceritanya
Eva Nietha✌🏻
Makin seru thor
Eva Nietha✌🏻
Suka
Siti Nuraini
aq suka ceritanya
Eva Nietha✌🏻
Berjumpa jg deh
Eva Nietha✌🏻
Seru banget
Eva Nietha✌🏻
Seru
Eva Nietha✌🏻
Msh lanjut
Eva Nietha✌🏻
Merapat kk
munaroh
owhh,,, Wina ada main dg Rio thoo? 🤔
munaroh
wallahhh,,, Wina urung kapok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!