Menjadi yang ke-dua bukanlah keinginan juga pilihan yang terbaik bagi Lea. Apalagi harus berada dalam lingkaran poligami. Baginya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sakral.
Namun, karena sang calon imam tak kunjung datang saat akan ijab qobul, Bagas dengan sukarela menjadi pengganti. Lea mengira Bagas tulus menikahinya. Akan tetapi, ia salah karena Bagas hanya ingin menggunakan rahimnya untuk menjadi ibu pengganti dari benihnya dan Melissa.
Bak sedang bermain api, Bagas justru terjebak dengan perasaannya pada Lea. Sebaliknya Lea yang memang tak mencintai Bagas, sikapnya selalu dingin pada sang suami.
Belum lagi karena Bagas tak bisa menerima kehadiran baby Sava, anak yang diadopsi Lea sebelum ia mengandung benih dari Bagas dan Melissa.
Pertengkaran pun sulit terhindarkan diantara mereka, karena Lea dan Bagas tak sepemikiran. Belum lagi kehadiran Wira yang semakin membuat Bagas naik pitam.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka selanjutnya? Ayo kepoin guys.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. PYTD
Sudah hampir lima belas menit Lea berdiri di balkon rumah sakit. Pandangannya menerawang jauh. Ingin membeli sesuatu hanya alasan semata untuk menghindari Melissa. Ia tahu benar jika wanita itu sangat membencinya.
‘Ya Rabb, bukan inginku menjadi yang kedua. Kenapa takdirku semiris ini?’ gumam Lea bertanya-tanya dalam batin.
Sentuhan kasar di pundak seketika membuat Lea terkejut. “Mbak Melissa.”
“Pelakor nggak tahu diri!” bentak Melissa. “Sukur-sukur suamiku mau menggantikan posisi pria brengsek calon suamimu saat itu. Jika tidak, maka kamu sudah menjadi gunjingan tamu undangan.”
“Salahkan suamimu jangan aku. Saat aku sudah mengumumkan pernikahanku batal, dia yang menawarkan diri untuk menikahiku.” Lea tersenyum sinis. “Aku bukan pelakor. Jika aku ingin menjadi pelakor sudah lama aku melakukannya dengan para petinggi di maskapai penerbangan tempatku bekerja!” tegas Lea dengan perasaan geram.
Melissa tersenyum sinis lalu membalas ucapan Lea. “Jangan munafik kamu! Mungkin saja tubuhmu itu sudah dijamah bergantian oleh para pilot saat kalian berada di luar negeri!”
Plak!!!
Tamparan keras seketika mendarat di wajah Melissa. Merasa geram karena Lea sudah berani padanya, wanita itu ingin membalas. Akan tetapi dengan cepat bunda Sava menepisnya.
“Sedangkal itukah pemikiranmu Mbak?! Jangan salahkan aku jika akan membuatmu dan Mas Bagas bercerai. Lagian nggak ada untungnya Mas Bagas mempertahankan wanita nggak berguna seperti dirimu. Kamu nggak bisa memberinya anak!” ucap Lea tak kalah menohok.
Mendengar penuturan Lea, seketika darah Melissa mendidih. Ia kembali mengangkat tangan ingin menampar bunda Sava. Akan tetapi tangan seseorang dengan cepat menahannya.
“Cukup, sebaiknya kamu tinggalkan tempat ini!” perintah Wira dengan tatapan tajam.
“Apa kamu salah satu gundiknya?!” sarkas Melissa.
“Jangan membuat kesabaran saya habis!” ancam Wira.
Dengan perasaan geram, Melissa terpaksa meninggalkan tempat itu disertai sumpah serapah.
Sepeninggal Melissa, Wira mendekati Lea. Ia berdiri sejajar dengan gadis itu. Sejenak keduanya bergeming dengan pandangan lurus ke depan.
“Maaf, aku nggak sengaja mendengar semuanya tadi,” kata Wira.
“Dan itulah kenyataannya,” sahut Lea. “Aku hanya dijadikan alat untuk mengandung anak mereka.”
Satu jam berlalu ....
Setelah merasa hati juga pikirannya tenang, barulah Lea kembali ke kamar rawat sang suami. Melissa yang masih emosi memilih meninggalkan tempat itu.
“Lea,” panggil Bagas dengan tatapan tajam. “Kenapa kamu menyakiti perasaan Melissa?Jangan karena kamu sedang mengandung anak kami, kamu bisa berbicara seenaknya!” peringat Bagas.
“Rupanya dia sudah mengadukan semuanya padamu. Aku berbicara karena fakta! Toh, itu benar adanya,” balas Lea dengan santai.
Bagas mengetatkan rahang. “Itu sama saja kamu menghinanya! Lalu, apa maksudmu akan membuat kami bercerai!”
“Pikir sendiri.” Lea mengetuk kepalanya dengan jari telunjuk. “Kapan kamu diizinkan pulang?” tanya Lea.
“Besok, tapi aku akan langsung ke kediaman kami,” jawab Bagas.
“Baguslah, jadi aku nggak perlu repot-repot mengurus mu!” sarkas Lea. “Lagian, besok pagi aku akan berangkat ke kota B.”
“Lea, kamu benar-benar, ya!” ucap Bagas dengan perasaan dongkol. “Ingat! Kamu sedang hamil anak kami. Jika sampai dia kenapa-napa ...”
Belum sempat Bagas menyelesaikan kalimatnya Lea sudah menyela, “Aku dan Melissa nggak akan memaafkanmu. Begitu kan yang ingin kamu katakan.”
“Lea!!!” gertak Bagas sekaligus merasa geram akan sikap Lea.
“Semoga cepat sembuh, Mas, aku pamit,” ucap Lea kemudian meninggalkan kamar itu.
Penyesalan seketika menyelimuti Bagas. Ingin mengejar sang istri tetapi apalah daya, patah tulang di kaki membuatnya tak berdaya.
Ia memukul kasur sembari menatap langit-langit. Pikirnya hanya dalam hitungan jam, sikap peduli sang istri langsung berubah menjadi dingin.
.
.
.
Ketika dalam perjalanan pulang, Lea memilih mampir sejenak di salah satu pedagang rujak.
Keinginannya untuk memakan makanan itu akhirnya tercapai juga.
“Mang, aku pesan satu porsi, ya. Bikin yang super pedas,” pinta Lea lalu tertawa.
“Baik, Neng,” jawab si Mamang. “Mau dibungkus atau makan di sini?”
“Makan di sini saja, Mang.” Lea kemudian duduk di salah satu kursi yang kosong.
Selang beberapa menit kemudian, mang rujak memberikan Lea rujak pesanannya. Setelah berterima kasih, ia pun mulai menyantap makanan itu.
Baru beberapa iris buah masuk ke mulutnya, ia mengerutkan kening karena beberapa petugas menghampiri mobilnya. Ia segera beranjak dari tempat duduk.
“Maaf Pak, mobil saya bannya kenapa dikempeskan?” tanya Lea.
“Mbak memarkir sembarangan, nggak lihat rambu itu?” Petugas mengarahkan telunjuk ke rambu yang dimaksud.
Lea menepuk jidat sekaligus pasrah ketika mobilnya di tarik dengan mobil derek. Setelah petugas memintanya datang ke kantor, barulah Lea kembali ke mang rujak.
“Ada apa, Neng?”
“Salah parkir, Mang. Gara-gara rujak Mamang sih,” kelakar Lea lalu tertawa. Ia lanjut memakan rujaknya dengan lahap. “Mang, bikinin satu porsi lagi ya, tapi, dibungkus.”
“Baik Neng.”
Saat sedang asik menyantap rujak, seorang wanita paruh baya yang juga ingin memesan, tersenyum memandangi Lea.
“Mang, pesan rujak seperti biasa dua porsi,” kata ibu itu yang sudah lama berlangganan dengan mang rujak.
“Lagi ngidam, ya, Ndok?” tanyanya pada Lea.
“Alhamdulillah, iya, Bu,” jawab Lea sembari mengangguk.
“Dulu, waktu ibu ngidam, doyannya sama rujak juga. Kalau nggak makan rujak dalam sehari kepala rasanya pusing.” Ibu itu kemudian tertawa mengingat kembali saat ia mengandung putra semata wayangnya.
Lea ikut tertawa mendengar sepenggal kisah wanita paruh baya itu. Tak lama berselang keduanya disapa.
“Bu, Lea!”
Lea mengerutkan kening seraya menoleh. Ia kemudian menatap ibu yang sedang berdiri di sampingnya.
“Mas Wira ... ibu ini ...?”
“Ibuku.” Wira tersenyum. “Mang rujak ini sudah jadi langganan Ibuku dari dulu,” jelas Wira.
“Kalian saling kenal, Nak?” tanya ibunya Wira.
“Iya Bu, gadis yang aku ceritakan pada Ibu waktu itu,” jawab Wira sambil menyengir.
“Saya Lea, Bu, bundanya Sava.” Lea mengulurkan tangan.
“Bu Saras.” Bu Saras menjabat tangan Lea sambil tersenyum.
“Wira pernah cerita tentang kamu,” kata bu Saras seraya menepuk lengan Lea.
Setelah mengambil pesanan rujak, bu Saras dan Wira kemudian berpamitan. Akan tetapi, Wira meminta sang ibu untuk jalan lebih dulu.
Wira mengerutkan kening. “Lea, kamu belum pulang?”
“Aku baru mau pesan taksi online, Mas. Mobilku dibawa mobil derek karena salah parkir,” jelas Lea apa adanya.
“Nggak usah pesan taksi online, biar aku dan ibu yang mengantarmu pulang. Beritahu saja alamat rumahmu di mana.”
Lea mengangguk patuh seraya mengikuti Wira dari belakang.
...----------------...