#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 09 - Jauhkan Tanganmu
"Tidak, Mom, aku hanya_"
"Ah Mommy mengerti, tidak perlu dijelaskan, Shan." Mommy Amara lebih memilih untuk terus salah paham dan membiarkan otaknya menerka apapun yang telah mereka lalui tadi malam.
Mendapati hal itu, wajah Zeshan memerah, begitu juga dengan Devanka. Jujur saja dari lubuk hatinya, dia ingin meluruskan, tapi besar kemungkinan justru dia yang malu sendirian andai jujur bahwa Zeshan begitu karena ulahnya. Karena itulah dia memilih diam saja, pura-pura lugu demi menyelamatkan diri lebih dulu.
"Sudah masuk sana, kalian pasti lelah, 'kan?"
"Tidak juga, aku baik-baik saj_"
Jawaban Zeshan agaknya tak dibutuhkan, karena pasca bertanya Mommy Amara justru beralih pada Devanka.
"Oh iya, Sayang ... barang-barang kamu sudah dibawa semua. Coba dicek, kalau ada yang kurang kasih tahu Zeshan saja ya," pungkas Mommy Amara sebelum pergi seketika membuat Zeshan termangu.
Pada akhirnya, masa itu benar-benar tiba. Masa dimana kamarnya akan diisi dengan perlengkapan seorang wanita yang menggantikan posisi Talita. Zeshan sebenarnya tak siap, tapi sebagai suami dia harus menghargai kehadiran istrinya saat ini.
Bersama Devanka yang mengekor di belakangnya, pria itu masuk dan menatap tampilan baru kamar tidurnya. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang berubah, hanya gorden dan seprai diganti warna.
Namun, dengan perubahan dua komponen itu nuansanya seketika berganti dan Zeshan merasa yang kini dia pijaki bukan kamarnya lagi. Entah ide siapanya yang memilihkan warna semenyebalkan itu, tapi kecurigaan Zeshan tertuju pada sang istri yang kini mengullum senyum.
"Kakak suka warna pink ya?"
"Hah?" Zeshan mengerjap pelan, dugaan pria itu salah besar dan agaknya ide konyol tersebut bukanlah keinginan sang istri.
"Tulinya makin parah ternyata." Zeshan yang tak segera menjawab membuatnya salah paham.
Padahal, Zeshan hanya bingung dan berperang dengan pikirannya. Hal itulah yang membuat pria itu salah menanggapi hingga Devanka menyimpulkan jika Zeshan memang tuli.
"Bukannya kamu yang minta ganti?" Zeshan balik bertanya hingga menyisakan sesal dalam benak Devanka.
"Tidak, aku tidak suka warna pink ... sukanya ungu."
"Aku tidak bertanya," sahut Zeshan singkat dan kembali meneruskan langkah, sungguh jawaban yang amat manis bukan.
Terbiasa dengan manisnya Hero membuat Devanka sedikit makan hati begitu dipertemukan dengan ketusnya Zeshan di beberapa situasi. Hal ini sudah biasa, tak jarang mantan pengasuh Nadeo mencurahkan isi hati tentang sulitnya menghadapi Zeshan.
Kehilangan Talita benar-benar merenggut jiwa yang lembut dan hangat dari dalam diri Zeshan. Dan Devanka mendapatkan Zeshan dengan versi yang berbeda, walau ditakdirkan sebagai pengganti, tapi nasib mereka tidaklah sama.
Kendati demikian, Devanka tidak masalah dengan sifat Zeshan. Seperti yang telah dia tekadkan di awal, menikah hanya demi Nadeo dan juga uang bulanan. Anggap saja jadi pengasuh, bonusnya bisa tidur bersama yang punya anak, begitu pikir Devanka.
"Ini pakaianmu ... ini pakaianku, ambilnya pelan-pelan jangan asal mau karena aku tidak suka isi lemari yang berantakan."
Layaknya penghuni baru, Devanka diperkenalkan dengan tata ruang yang cukup melegakan, dua kali lipat dari kamarnya. Tujuan pertama Zeshan adalah lemari pakaian mereka berdua.
Mata Devanka sempat membola tatkala mendapati pakaian Zeshan yang begitu tertata. Sesuai warna dan lipatannya sama semua, definisi rapi yang sangat sulit Devanka imbangi.
"Jangan biasakan memasukkan kembali pakaian yang sudah dipakai ke dalam lemari," tegas Zeshan dan hanya Devanka angguki.
"Lalu apa lagi ya?" Zeshan bermonolog, menatap sekeliling kamar kemudian matanya tertuju pada meja rias yang terletak tak jauh dari mereka.
"Sini." Tak hanya mulut yang bicara, tapi tangan Zeshan juga tergerak untuk menarik pergelangan tangan Devanka.
"Kamu lihat ... saat ini susunannya serapi itu, setelah menggunakan alat-alat yang ada di sini kembalikan ke tempat semula. Satu lagi, kebiasaanmu yang suka colet lip tint atau produk lainnya ke dinding atau kaca itu jangan dibawa ke sini, paham?" tegas Zeshan yang lagi-lagi Devanka angguki.
Entah kapan Zeshan tahu kebiasan buruknya itu, Devanka tidak tahu. Akan tetapi, yang pasti dan tidak mungkin salah adalah sumber informasinya, bisa dipastikan ialah sang mami.
.
.
"Bagus kalau paham, ada yang ketinggalan?" tanya Zeshan baru sadar akan genggaman tangannya.
"Ada."
"Apa itu?"
"Lulu," jawab Devanka hingga dahi Zeshan berkerut seketika.
"Lulu?" Zeshan memastikan, mana tahu salah dengar.
"Iya, bonekaku."
"Gampang, nanti aku minta Bobby yang ambil."
"Memangnya boleh Lulu dibawa ke sini?" tanya Devanka antusias, berharap bahwa Zeshan akan memberikan izin untuknya.
"Tentu saja ... ini kamarmu juga sekarang," jawab Zeshan sejenak membuat Devanka bergeming.
Dia terdiam, ucapan Zeshan sangat tidak terduga di telinganya. Walau tidak begitu halus, tapi kalimat yang Zeshan lontarkan terdengar manis, dan kali ini sungguhan.
"Itu saja yang perlu diambil?" tanya pria itu lagi, ternyata ketika Devanka berkata saat itu pula Zeshan menghubungi Bobby, sopir pribadinya.
"Iya itu saja."
Zeshan menggangguk, sembari menyibukkan diri dengan gawainya. Usai dengan itu, Zeshan berlalu ke kamar mandi meninggalkan Devanka yang kini kembali memandangi seisi kamar.
Bertahun-tahun mengenal Zeshan sebagai kakak ipar, ini adalah kali pertama dia menginjakkan kaki di kamar ini. Sebelumnya tidak pernah, sekalipun Talita masih hidup, Devanka sangat tahu batasannya.
"Kamu benar-benar menikah dengan pria yang tepat, Kak." Senyum Devanka terbit begitu matanya mendapati foto Talita dengan ukuran besar masih terpajang di tembok kamar Zeshan.
Perlahan dia dekati, semakin dekat dengan mata yang kini mengembun. Mata Devanka berkaca-kaca, setelah tiga tahun kepergian Talita, dia adalah salah-satu jiwa yang hancur hingga saat ini.
Rasa bersalah kembali menguar dalam diri Devanka, air mata yang sudah susah payah dia tahan menetes juga akhirnya. Bersamaan dengan jatuhnya air mata Devanka, foto Talita juga turut jatuh hingga bingkainya pecah dan hancur menjadi beberapa bagian.
"Ya, Tuhan ... matilah aku!!"
Devanka yang tadinya menangis seketika berteriak lantaran terkejut dan panik sekaligus. Dia menoleh, Zeshan yang baru keluar dari kamar menghampiri dengan langkah cepat.
"Ada apa?" tanya Zeshan yang tidak segera Devanka jawab.
Bagaimana mungkin dia bisa menjawab, tatapan tajam Zeshan membuat Devanka sontak berlutut dan otaknya seolah memberikan perintah untuk segera membersihkan pecahan kaca yang ada depannya.
Namun, baru saja hendak menyentuhnya, Zeshan turut berlutut dan menatap Devanka dengan tatapan tak terbaca di sana.
"Jauhkan tanganmu."
.
.
- To Be Continued -