Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Tidak Begitu
Bima lepas kendali hingga tidak sengaja meninggi. Tatapan tajam dari Lengkara membuat pria itu seketika tersadar untuk menjaga mulutnya, lagi dan lagi Bima dibuat mati kutu di hadapan Lengkara.
"Maaf, dia terlalu lambat, Lengkara."
Memang faktanya demikian, asisten rumah tangganya terlalu lambat dengan alasan bingung dimana tempatnya. Beruntung saja Lengkara ada di sisinya, andai tidak mungkin telinga wanita itu akan panas mendengar teguran pedas dari Bima.
Tidak ada pembicaraan, melihat dia sigap begini jelas berbeda dengan Yudha yang melihat darah ketakutan seolah akan terjadi kiamat besar. Bima menangani luka di jemari Lengkara dengan sangat hati-hati, hingga wanita itu mendesis kala merasakan perih di ujung jemarinya.
"Perih?" tanya Bima mendongak, dia bahkan menggentikan kegiatannya demi memastikan jawaban Lengkara.
"Sedikit," jawabnya singkat, padahal Lengkara sudah meringis sepelan mungkin, ternyata masih terdengar juga.
"Tahan sebentar ... apa yang kamu pikirkan sampai seperti tadi?"
Banyak sekali, jika Lengkara luapkan mungkin ruang makan ini akan dipenuhi dengan umpatan dan raungan untuk Bima. Namun, dia hanya menggeleng dan menjawab jika sedang tidak fokus saja.
"Tidak fokus karena apa? Pasti ada alasannya," tutur Bima usai menangani luka di ujung jemari istrinya, tentu saja kembali meminta bantuan pembantu yang tadi hampir terseret dalam amarahnya.
"Belum sarapan mungkin."
"Menyiapkan sarapan bukan tugasmu, untuk apa aku membayar bibi kalau kamu yang sibuk sendiri setiap pagi."
"Karena aku sudah berjanji akan begitu setelah menikah, Bima."
"Ingin saja, aku sakit kepala kalau tidak banyak gerak," jawab Lengkara seadanya, mana mungkin dia akan menjawab dengan sesungguhnya.
Sarapan pagi ini dimulai dengan pertumpahan darah dari jemari lentik Lengkara. Tatapan matanya masih tertuju pada Bima, cara makannya terlalu serius untuk Lengkara yang pasti bergerak walau sedikit jika dia suka rasanya.
"Apa kepalanya harus begitu? Ajaran Yudha kah? Ck, apa iya aku harus begitu juga? Sialan, mana bisa aku begitu."
Tanpa Lengkara sadari, tatapan menghunus Bima ke arah lain justru tetap bisa menangkap pergerakannya. Tanpa aba-aba, pria itu justru mengikuti cara Lengkara hingga membuatnya tersedak seketika.
"Kenapa?" Bima mengerutkan dahi, apa mungkin saat ini salah lagi? Bukankah Yudha sempat mengatakan ikuti saja tingkahnya karena dahulu dia begitu juga demi menyenangkan Lengkara.
"Kenapa ikut-ikutan begitu?"
"En-nak," jawab Bima mengatupkan bibir kemudian, jujur saja dia malu sebenarnya.
"Bukan begitu, kalau enak begini ... mas salah arahnya," tutur Lengkara mengoreksi gerakan Bima yang persis robot, bukan generasi tulang lunak.
"Yang gila siapa sebenarnya, ini akibatnya terlalu percaya ucapan pak Chan."
Bima mengutuk dirinya sendiri yang merasa salah langkah kali ini. Bukannya membuat Lengkara bahagia, dia justru dijadikan bahan olokan dalam gelak tawa. Dia mengetahui sedikit tentang fakta wanita dari pak Chan, salah-satunya kebiasaan menggoyangkan kepala jika makanan yang masuk ke lidah mereka sesuai selera.
Selesai sarapan, seperti kemarin Bima kembali mengulang. Tidak lagi menunggu Lengkara mengulurkan tangan, tapi dia yang lebih dulu berinisiatif memberikan punggung tangannya.
"Bentar, Mas ... kotak bekal dimana?"
Hampir saja Lengkara lupa, semua berawal dari luka di jemarinya. Mendengar pertanyaan itu sontak Bima meneguk salivanya pahit, dia menatap ke arah sang istri dengan tatapan tak terbaca dan mendadak mengingat ucapan Yudha semalam.
"Ketinggalan, hari in_ lusa ya."
Dia ingin menjawab hari ini, tapi baru ingat kotak bekal itu berada di kota yang berbeda. Jelas saja dia butuh waktu untuk menggambilnya, ditambah lagi pagi ini Bima sudah setuju dengan permintaan pak Chan untuk menghadiri rapat secara virtual yang akan dia lakukan di kantor Zean sebagai tempat persembunyian.
Ya, sesuai dengan petunjuk Yudha saja sebenarnya. Khawatir saja jika Lengkara kembali datang ke kantor seperti kemarin. Beruntungnya pagi ini Lengkara tidak banyak protes, dia hanya mengangguk pelan dan membiarkan Bima pergi dari pandangannya.
Tanpa penjelasan, Lengkara sangat paham kenapa jawaban Bima seperti itu. Dalam beberapa hari, pria itu memang diminta tetap di Jakarta oleh sang pemilik skenario, Yudha. Lengkara sempat membaca sekilas pembicaraan tentang itu tadi malam, agaknya Yudha kembali memperingatkan agar Bima tidak salah langkah.
Baiklah, Lengkara masih punya waktu beberapa hari untuk bersiap mengatur rencana selanjutnya. Namun, baru saja hendak masuk Bima kembali dan turun dengan sedikit tergesa. Pria itu menghampiri Lengkara dengan tatapan tak terbaca dan langkah cepat menuju teras.
Jelas saja Lengkara was-was, bagaimana jika pria itu menyadari sesuatu? Bukankah sejak bangun tidur Bima tidak mengecek ponselnya? Tapi bisa Lengkara pastikan tidak akan ketahuan dan sama sekali tidak meninggalkan jejak sedikitpun.
"Tidak ada yang kuhapus ataupun kuusik, tapi kalau ketahuan lawan saja, Ra," batin Lengkara mengepalkan tangan dan sama sekali tidak melepaskan Bima dari pandangan.
"Ada apa, Mas?"
"Aku melupakan sesuatu," jawab Bima mendekat, Lengkara sudah berdegup tak karuan dan memang dia belum siap andai ketahuan.
"Ap-apa?"
Tanpa menjawab, Bima menarik pinggang Lengkara agar lebih dekat dan mendaratkan kecupan di keningnya. Karena merasa kecewa akan dunianya, Lengkara bahkan tidak ingat jika Bima belum mengecup keningnya. Berbeda dengan kemarin, Lengkara merasa yang kali ini berbeda. Kecupan Bima begitu lama dan tidak hanya asal kena.
"Aku pergi, tolong kabari jika ingin kemanapun," ucap Bima lantaran khawatir kejadian kemarin kembali terulang.
"Iya, Mas," jawab Lengkara sama sekali tidak keberatan, sekalipun pergi dia tidak akan ke kantor karena paham dengan permainan yang Bima dan Yudha lakukan dalam beberapa hari ke depan.
.
.
- To Be Continued -