Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Karena dia anakku!
Pagi itu udara terasa lembap. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang memenuhi halaman rumah sakit. Arum berdiri di depan jendela kamar rawat Revano, menatap keluar dengan pandangan kosong. Di belakangnya, suara langkah Gavin mendekat perlahan.
“Bagaimana tidurnya?” tanya Gavin pelan, meletakkan segelas susu hangat di meja kecil dekat tempat tidur.
“Masih demam sedikit,” jawab Arum tanpa menoleh. “Tapi dokter bilang itu normal karena efek obat.”
Gavin mengangguk, matanya menatap Arum yang kini tampak semakin kurus dan pucat. “Kau juga harus istirahat, Arum. Jangan pikirkan hal lain dulu, fokus saja untuk Revan.”
Arum tersenyum samar. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu apa jadinya aku dan Revan sekarang.”
Nada suaranya jujur, tapi menyimpan kesedihan. Belum sempat Gavin menjawab, ketukan pelan terdengar dari pintu. Seorang perawat masuk, membungkuk sopan.
“Dok, ada pasien baru ingin konsultasi dengan Anda di lantai tiga. Katanya janji temu penting.”
Gavin menatap Arum sejenak, lalu mengangguk. “Baik, saya ke sana sebentar.”
Sebelum pergi, dia menatap Revano dan menepuk bahu Arum lembut. “Kalau ada apa-apa, langsung panggil perawat, ya.”
Begitu pintu tertutup, Arum menatap anaknya. Ia duduk di sisi ranjang dan mengusap pipi kecil Revano yang tertidur.
“Papa kamu pasti bangga sama kamu kalau tahu kamu sekuat ini, Nak…” bisiknya lirih, meski matanya mulai berkaca-kaca.
Di sisi lain, di ruang konsultasi lantai tiga, Gavin membuka pintu dan mendapati sosok yang tak asing sedang berdiri membelakanginya, jas mahal, aura tegas, dan kehadiran yang berat.
“Silakan duduk,” ucap Gavin sopan, meski dalam hati merasa ada sesuatu yang janggal.
Pria itu berbalik perlahan.
“Terima kasih, Dokter Gavin,” suara berat itu terdengar jelas. “Nama saya Reghan Argantara.”
Mata Gavin sedikit membulat, tapi dia tetap menjaga ekspresi profesional.
“Saya tahu nama itu. Keluarga Argantara cukup dikenal di kota ini. Ada yang bisa saya bantu?”
Reghan menatapnya tajam, kedua tangan bertaut di atas meja.
“Saya ingin bicara tentang seorang pasien. Anak kecil yang … bernama Revano.”
Nada tegas itu membuat Gavin menahan napas sesaat. Ia menatap pria di depannya, lalu berkata hati-hati,
“Boleh saya tahu kenapa Anda menanyakan anak itu dan ... dari mana Anda tahu ada nama pasien ruang anak, Revano?”
Reghan menarik napas panjang. “Karena sore kemarin kita tak sengaja bertemu saat anak itu mencari ibunya … dan aku yakin dia anakku.”
Ruang itu mendadak hening. Gavin menatap Reghan lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi di wajahnya, sementara Reghan hanya menatap lurus penuh keyakinan dan luka yang lama tertahan.
“Aku tidak datang untuk menuntut apa pun,” lanjut Reghan pelan, tapi nadanya mengandung emosi yang dalam.
“Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Dan kalau benar dia anakku … aku ingin menyelamatkannya.”
Gavin menggenggam tangannya di atas meja, menimbang kalimat itu, lalu berkata pelan namun tegas,
“Kalau begitu, Tuan Reghan … sepertinya Anda dan Arum memang perlu bertemu kembali.”
"Tidak mungkin," ujarnya pelan.
Gavin terdiam cukup lama setelah mendengar pengakuan Reghan sebelumnya. Ruangan itu terasa begitu hening, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan di antara mereka. Reghan menunduk, menatap tangannya sendiri yang saling menggenggam di atas meja, nampak berusaha keras untuk menahan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.
“Kalau memang benar dia anak Anda,” ucap Gavin hati-hati, “Arum harus tahu. Kami tidak bisa mengambil keputusan medis tanpa izin dari wali sah.”
Reghan menggeleng perlahan, napasnya berat. “Tidak … aku tidak ingin dia tahu dulu. Setidaknya, bukan sekarang.”
Tatapannya tajam tapi terselip rasa takut yang begitu manusiawi.
“Aku tidak ingin dia menolakku sebelum aku sempat melakukan apapun untuk anak itu. Aku tahu Arum membenciku … dan dia berhak. Setelah semua yang kulakukan padanya dulu ... tidak ada alasan baginya untuk percaya lagi padaku.”
Nada suaranya pecah di akhir kalimat itu, dan Gavin bisa merasakan luka yang tak sepenuhnya tertutup di balik sikap tegas pria itu.
“Tapi, Tuan Reghan,” Gavin menatapnya lurus, “Anda sadar kan? Jika hasil tes ini menunjukkan kecocokan, berarti Anda akan menjadi pendonor utama. Itu artinya Anda harus menjalani serangkaian prosedur medis yang tidak ringan.”
Reghan mengangguk tanpa ragu. “Aku siap, Aku tidak peduli sesakit apa pun prosesnya. Aku hanya ingin anak itu hidup. Aku hanya ingin memperbaiki satu hal … meski semua yang lain sudah terlambat.”
Kata-kata itu membuat Gavin kembali bersandar di kursinya, menatap Reghan lama. Dalam hatinya, ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, antara kewaspadaan dan empati. Ia tahu benar betapa rapuhnya Arum dulu saat pertama kali ia temukan di jalan. Tubuhnya penuh luka cambuk, napasnya pendek, dan darah mengalir dari sela sela pahanya. Wanita itu bahkan tidak punya alasan untuk bertahan hidup, kecuali karena janin kecil di rahimnya.
Dan sekarang pria yang menyebabkan semua luka itu duduk di depannya, memohon kesempatan untuk menebus kesalahan.
“Baiklah,” akhirnya Gavin berkata dengan nada pelan namun pasti, “saya akan jadwalkan pemeriksaan darah Anda sore ini. Tapi saya harap … Anda tidak datang ke hadapan Arum dulu. Setidaknya sampai hasil tes keluar. Dia tidak siap untuk kejutan sebesar itu.”
Reghan menatap Gavin dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.
“Aku janji, aku tidak akan muncul di hadapannya sampai waktunya tiba.”
Namun dalam hatinya, satu hal berputar tak henti, bayangan wajah Arum yang dulu penuh luka, dan kini mungkin masih menyimpan benci yang sama.
Dia tahu, pertemuan mereka nanti tidak akan mudah. Tapi untuk Revano, anak yang baru saja ia temukan tanpa sengaja, Reghan akan menanggung apa pun, bahkan jika harus menghadapi masa lalu yang paling menyakitkan.
secara Revan kan pewaris keluarga besar kamu
daripada nanti arum dapat hinaan lagi
tolong secara diam2 saja reghan
biar arum ga liat wajah kamu,,
kamu jangan memaksa ketemu sama arum yang ada nanti keluarga kamu tau bahwa arum dan anak kamu udah kembali,,
bakalan di hina2 dan di sakiti lagi sama keluarga kamu,,
anggap aja kamu menebus kesalahan kamu ke arum ya dengan cara diam2 kamu memberi donor sum2 ke revan