FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Mata Nathan menatap risih pada sesuatu yang tersisa di ujung bibir Arin. Gadis itu terlalu asyik makan es krim sampai tidak sadar kalau es krimnya meleleh kemana-mana. Kalau begini kan jadi Nathan yang resah, laki-laki itu jadi ingin juga mencicipi es krim rasa vanilla itu. Apa beneran manis atau tidak.
Sudah berusaha memalingkan pandangan tapi tetap saja melihat lagi. Seperti ada yang memanggil Nathan untuk datang. Untuk mencicipi rasa es krim itu. Sial!! lain kali dia akan membeli es krim rasa vanilla sendiri dari pada penasaran begini. Atau lain kali dia akan mengajak Arin makan es krim di tempat yang lebih sepi agar dia bisa membantu membersihkan es krim itu kalau belepotan lagi.
"Kak, itu es krimnya meleleh," tunjuk Arin pada es krim di cup Nathan.
"Ah ini, tidak apa-apa. Aku sudah kenyang." Nathan tidak ingin Arin melihat wajahnya yang gugup.
"Kakak sudah tidak mau? Apa boleh aku habiskan?" tanya Arin yang masih kurang, kalau disuruh makan es krim berapa banyak pun dia mau saja.
Nathan langsung menjauhkan es krimnya, Dia tidak bisa membiarkan Arin makan makanan dingin dan manis terlalu banyak. Ujung-ujungnya bisa sakit perut atau sakit gigi, Nathan yang kena omel mommy nya nanti. Selain itu dia juga tidak bisa lebih lama tersiksa melihat Arin memakan es krim.
"Sini kak, biar aku habiskan. Sayangkan kalau dibuang, yaaa ya ...." Arin memasang puppy eyes sambil mengedipkan mata, lucu sekali seperti kucing kecil. Bikin Nathan jadi ingin mengusap lalu menguwel-uwelnya.
Hampir saja Nathan berhasil dikelabui dengan wajah imut Arin. Untung dia masih ingat kalau dia tidak bisa memberikan Arin es krim terlalu banyak. "Tidak, kau tidak boleh makan es krim terlalu banyak. Kau tidak ingat dulu perutmu langsung sakit saat tidak mau mendengarkanku," kata Nathan memperingati, sebenarnya tidak tega tapi Nathan harus tegas.
"Tapi itu kan dulu Kak, waktu aku masih kecil. Sekarang aku sudah besar kak, tidak akan mungkin lagi sakit perut," ujar Arin, diakan sudah besar kenapa masih dilarang-larang seperti anak kecil.
"Tidak, sekali tidak tetap tidak. Kau sudah selesai, kalau begitu ayo kita pergi dari sini," ajak Nathan.
"Tapi aku masih mau lagi Kak, nanti aku bayar sendiri deh es krim yang aku makan. Aku beli dulu ya kak." Arin masih ngeyel, mau pergi beli lagi. Wajahnya belepotan sampai tidak sadar, baginya satu cup kecil itu tidak terasa.
"isshh anak itu." Nathan segera menyusul Arin yang sedang menuju gerai penjual es krim.
Setelah dekat Nathan langsung menggenggam tangan Arin dan menariknya pergi dari sana.
"Ikut aku."
"Kak, aku belum mendapatkan es krimnya. Kita mau kemana?" Arin terkejut tapi tidak bisa melawan. Kakinya terseok-seok mengikuti langkah kaki Nathan yang sangat lebar.
Berhenti pada tempat yang tidak begitu ramai. Nathan berbalik lalu mendekat pada Arin. Dia menggunakan ibu jarinya untuk membersihkan sisa es krim di sudut bibir Arin.
"Tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan dingin, itu tidak baik untuk perutmu. Kau itu masih seperti anak-anak, lihatlah makan saja belepotan seperti ini," keluh Nathan. Bilang saja kalau dia suka. Dengan begitu dia punya alasan untuk menyentuh bibir yang dari kemarin mengganggu pikirannya.
Arin tertegun diperlakukan seperti itu, jarak mereka sangat dekat dan lagi rasanya aneh saat Nathan menyentuh bibirnya. Jantungnya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Dia seperti terhipnotis oleh tindakan Nathan yang begitu lembut.
"Apa kau mengerti? Kita pergi sekarang," ajak Nathan. Jarinya ingin lebih lama di bibir lembut dan kenyal itu tapi takut tidak bisa mengontrol diri lagi. Dia sudah ingin merasakan bagaimana bibir mungil itu kalau masuk ke mulutnya, pasti sekali lahap langsung tenggelam semua.
Arin mengangguk sambil malu-malu. Dia merasa tatapan Nathan padanya berbeda kali ini. Bukan tatapan kesal atau malas seperti dulu saat berada di depan Arin.
Tangan Arin digandeng oleh Nathan entah kemana. Gadis itu tidak fokus lagi, matanya malah sibuk memandangi punggung Nathan.
"Kita sudah sampai, kau ingin main apa. Mumpung kita disini dan aku sedang berbaik hati mau menemanimu," kata Nathan berbalik. Ternyata dia membawa Arin ke pusat permainan.
"Hah?" Arin masih linglung.
"Kenapa, apa kau tidak mau main? Kalau begitu kau mau apa? katakan saja padaku." Aneh, bukannya dulu Arin sangat suka memaksanya untuk menemani bermain di sana. Tapi sekarang gadis itu tampak biasa saja.
"Ehh aku mau, aku mau. Ayo kita main." Arin tidak ingin menyia-nyiakan waktu berdua dengan Nathan. Sudah lama sekali sejak terakhir mereka sedekat ini. Itu semua karena Arin ya menyatakan cinta, mereka jadi canggung kalau berdua. Arin pernah menyesali perbuatannya, kalau saja dia tau kalau setelah menyatakan cinta akan jadi berbeda dia akan memilih untuk tidak mengatakannya. Lebih baik dia mencintai diam-diam asal bisa dekat selalu dengan Nathan.
Nathan tersenyum saat melihat Arin mulai senang memainkan satu persatu mainan yang ada disana. Itu menyenangkan saat melihat Arin tersenyum ceria, tapi kenapa dulu dia tidak suka saat menemani gadis itu.
"Kalau kakak lelah, kak Nathan bisa menunggu disana," tunjuk Arin pada sebuah bangku tunggu. Biasanya laki-laki itu akan memilih duduk disana sambil bermain ponsel, lalu kenapa sekarang mengikutinya.
"Tidak, untuk apa aku menunggu sendiri. Aku juga ingin bermain, minggir. Biar aku saja yang melakukan ini." Nathan bersiap melipat kemejanya, jas nya sudah di lepas sejak tadi.
Arin melihatnya kagum, Nathan sangat tampan jika seperti itu. Dia jadi tidak rela ada gadis lain yang melihat. Dia langsung menempel pada Nathan, menunjukkan pada para gadis kalau Nathan hanya boleh jadi miliknya.
"Lihat, ini sangat mudah."
"Woooww... kakak dapat boneka." Arin berdecak kagum dan bertepuk tangan. Bagaimana bisa permainan yang begitu sulit ia pecahan bisa dengan mudah Nathan mainkan. "Bagaimana kakak melakukannya, aku selama ini tidak pernah bisa mendapatkan boneka-boneka itu." Arin memeluk boneka kecil yang berhasil Nathan dapatkan dari mesin penjapit.
Lucu sekali, baru dapat boneka sekecil itu Arin sudah sangat senang. Padahal kalau mau dengan kekayaannya dia bisa membeli dengan pabrik-pabriknya. Nathan juga mau membelikannya kalau mau.
"Tidak ada cara khusus hanya menggunakan sedikit trik. Kalau kau mau boneka aku bisa membelikanmu yang lebih bagus dari ini," ujar Nathan, tangannya tidak tahan untuk mengusap pipi Arin.
"Beda lah kak, boneka yang dibeli tentu saja tidak bisa disamakan dengan yang ini. Kalau dapat boneka dari mesin ini rasanya lebih menyenangkan dan spesial. Makasih kak." Arin tersenyum lembut dan begitu tulus. Nathan jadi tidak tahan, detak jantungnya berdegup kencang sekali.
"Kalau begitu aku akan mengambil semua boneka yang ada disini untukmu."