NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18: KEBENARAN LEON

Pagi menjelang siang datang terlalu cepat. Laura berdiri di depan cermin, merapikan blazer hitamnya untuk kesekian kali. Rambutnya disanggul ketat, makeup minimal untuk menutupi lingkaran hitam di bawah matanya, lipstik merah untuk memberi ilusi percaya diri yang tidak dia rasakan.

Dari luar, dia terlihat sempurna. Dari dalam, dia rapuh seperti kaca yang siap pecah kapan saja.

Adrian sudah menunggu di lobby kantor Mahkota Property—sejak insiden ancaman, Julian bersikeras Laura harus tetap dikawal kemana-mana. Laura tidak protes. Ancaman Leon masih nyata, bahkan setelah semua drama personal yang terjadi.

Perjalanan ke kantor Sentinel terasa lebih lama dari biasanya. Laura duduk di kursi belakang mobil yang dikemudikan Adrian, menatap kosong keluar jendela, mencoba menyiapkan mental untuk bertemu Julian.

Apa yang akan dia katakan? Bagaimana dia akan bersikap? Apakah Julian akan baik-baik saja atau akan dia terlihat hancur seperti yang Felix katakan?

Mereka tiba di gedung Sentinel pukul setengah dua. Laura naik lift ke lantai dua belas dengan langkah yang dibuat-buat tegap, mencoba mengabaikan jantungnya yang berpacu sangat kencang.

Resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. "Miss Laura, Mr. Julian sudah menunggu di ruang meeting utama. Langsung saja, belok kiri dari sini."

Laura mengikuti arah dan menemukan ruang meeting utama—ruangan besar dengan meja panjang dan layar proyektor. Tapi yang membuat napasnya tertahan adalah Julian yang berdiri di depan jendela besar, membelakanginya.

Bahkan dari belakang, Laura bisa melihat ketegangan di pundaknya, cara tangannya terkepal di samping tubuh.

"Julian," ujarnya pelan, menutup pintu di belakangnya.

Julian berbalik perlahan. Dan Laura merasakan dadanya sesak melihatnya.

Julian terlihat buruk. Bukan dalam arti fisik—dia tetap tampan dengan kemeja biru mudanya dan celana bahan hitam. Tapi matanya—matanya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam yang nyata. Wajahnya lebih kurus, rahangnya lebih tajam dari biasanya. Seperti orang yang tidak tidur dan tidak makan dengan benar selama berhari-hari.

"Laura," suaranya parau, seolah tidak terpakai. "Terima kasih sudah datang."

"Ini soal proyek," jawab Laura, menjaga suaranya tetap profesional meski hatinya berteriak ingin berlari ke pelukannya. "Kita harus selesaikan masalah di cluster C."

"Aku tahu." Julian menunjuk kursi di meja meeting. "Duduk. Aku sudah siapkan data."

Mereka duduk berseberangan—jarak aman yang menyakitkan. Julian membuka laptop dan mulai menjelaskan situasi dengan nada bisnis yang kaku. Laura mencatat, bertanya hal-hal teknis, memberikan input.

Dari luar, mereka terlihat seperti dua profesional yang membahas bisnis. Tidak ada yang bisa melihat berapa banyak usaha yang mereka butuhkan untuk tidak menatap terlalu lama, untuk tidak membiarkan jari mereka menyentuh saat mengoper dokumen, untuk tidak membiarkan suara mereka bergetar saat berbicara.

Satu jam berlalu dalam diskusi yang produktif tapi menyiksa. Mereka berhasil menemukan solusi untuk masalah material dan menyusun action plan untuk mengejar delay dua minggu.

"Bagus," ujar Julian saat mereka selesai, menutup laptopnya. "Kalau kita move fast, kita masih bisa kejar timeline original."

"Iya." Laura mulai mengemas dokumen-dokumennya, bersiap pergi.

"Laura, tunggu."

Dia membeku, tidak menoleh.

"Kita perlu bicara. Bukan tentang proyek. Tentang—tentang malam itu."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan," jawab Laura, masih tidak menatap Julian. "Aku sudah bilang semua yang perlu aku bilang. Sekarang kita fokus ke proyek. Hanya itu."

"Tapi aku belum bilang apa yang perlu aku bilang." Julian berdiri, tapi tidak mendekati—seolah takut Laura akan lari kalau dia terlalu dekat. "Laura, tentang Maudy—"

"Aku tidak mau dengar tentang Maudy," potong Laura, akhirnya menatap Julian dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku tidak mau tahu apakah kamu sudah selesai dengannya atau belum. Karena kalau kamu sudah selesai, kenapa perlu waktu dua minggu? Kenapa tidak langsung datang padaku dan bilang? Dan kalau kamu belum selesai—" suaranya pecah sedikit "—maka tidak ada yang bisa kita bicarakan."

"Ini tidak sesederhana itu—"

"Tapi harusnya sesederhana itu!" Laura nyaris berteriak sekarang, semua emosi yang dia tahan selama dua minggu meledak. "Kamu mencintainya atau kamu tidak! Kamu ingin bersamanya atau kamu tidak! Kenapa harus begitu rumit?!"

"Karena aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama!" Julian berteriak balik, frustasi jelas di wajahnya. "Karena terakhir kali aku terburu-buru dalam hubungan, aku hancur! Karena aku tidak mau menyakitimu dengan membuat keputusan yang salah!"

"Kalau kamu tidak mau menyakitiku, kamu sudah terlambat," bisik Laura, air matanya mulai mengalir. "Kamu sudah menyakitiku sejak malam kamu menciumku lalu bilang kamu masih bingung. Kamu menyakitiku setiap hari aku harus melihatmu tapi tidak bisa menyentuhmu. Kamu menyakitiku dengan membuatku jadi pilihan yang kamu pertimbangkan, bukan orang yang kamu pilih tanpa ragu."

Julian menutup matanya, tangannya mengepal dengan erat. "Laura, kumohon. Beri aku waktu sedikit lagi—"

BRAK!

Pintu meeting terbuka dengan kasar. Adrian masuk dengan wajah pucat, napas terengah-engah.

"Boss, kita ada masalah besar. Leon—dia ada di lobby. Dengan lima orang. Dia menuntut bertemu dengan Anda sekarang atau dia akan—" Adrian melirik Laura dengan ragu "—dia bilang akan 'mengambil tindakan' terhadap Miss Laura."

Darah Laura seperti membeku. Julian langsung berubah—dari pria yang sedang bergelut dengan emosi menjadi CEO yang dingin dan kalkulatif dalam sekejap.

"Keamanan sudah standby?" tanyanya dengan nada tajam.

"Sudah, Boss. Tapi Leon bilang dia cuma mau bicara. Dia bilang kalau kita panggil polisi, 'deal' langsung off dan—"

"Dan dia akan menyerang Laura," selesai Julian, rahangnya mengeras. "Bajingan."

Dia menatap Laura dengan tatapan yang intens. "Kamu tetap di sini. Jangan keluar dari ruangan ini sampai aku kembali. Adrian, kamu jaga pintu. Tidak ada yang boleh masuk."

"Julian, tunggu—" Laura mencengkeram lengan Julian tanpa berpikir. "Jangan hadapi dia sendirian. Ini berbahaya—"

"Tepat karena berbahaya, makanya kamu harus tetap di sini." Julian meletakkan tangannya di atas tangan Laura—sentuhan singkat yang membuat listrik mengalir di antara mereka. "Percaya padaku. Aku tidak akan biarkan dia menyakitimu."

Dia pergi sebelum Laura bisa protes lagi. Adrian berdiri di pintu, posisi siaga, tangan di saku—Laura yakin dia memegang sesuatu, mungkin senjata atau alat komunikasi.

Laura duduk kembali dengan tubuh gemetar. Dia bisa mendengar suara-suara samar dari luar—suara Julian yang keras, suara lain yang tak kalah keras, lalu hening yang mencekam.

Lima menit terasa seperti lima jam. Laura tidak bisa diam—dia mondar-mandir di ruang meeting, mencoba mendengar apa yang terjadi di luar, tapi tidak bisa menangkap percakapan dengan jelas.

Lalu, pintu terbuka. Julian masuk dengan ekspresi yang sangat gelap, diikuti oleh dua orang security. Adrian langsung menutup pintu begitu mereka masuk.

"Leon pergi," ujar Julian, tapi nada suaranya membuat Laura tahu bahwa ini bukan kabar baik. "Tapi sebelum pergi, dia meninggalkan... pesan."

Julian menyerahkan amplop coklat pada Laura. Dengan tangan gemetar, Laura membukanya.

Di dalamnya, foto-foto. Foto Laura keluar dari apartemen. Foto Laura di parkiran kantor. Foto Laura saat survei di lokasi proyek. Foto Laura di kafe dengan Nia. Semua diambil dalam dua minggu terakhir—tanpa Laura sadari, dia sudah diikuti, diawasi, difoto.

Dan di belakang setiap foto, tulisan dengan tinta merah: SUDAH DEKAT.

Laura merasakan kakinya lemas. Dia duduk dengan cepat sebelum jatuh.

"Dia sudah mengawasiku selama ini," bisiknya, suaranya bergetar. "Dia tahu kemana aku pergi, kapan aku sendirian, siapa yang aku temui—"

"Dia tidak akan menyentuhmu," potong Julian, berlutut di depan Laura, memegang tangannya dengan erat. "Aku janji, Laura. Aku akan perkuat keamanan dua kali lipat. Tidak akan ada celah—"

"Tapi kenapa?" Laura menatap Julian dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa dia begitu obsesif? Ini hanya proyek bisnis. Kenapa sampai segini?"

Julian diam sejenak, konflik jelas di wajahnya. Lalu dia menarik napas dalam.

"Karena ini bukan hanya soal proyek Henderson," ujarnya pelan. "Leon dan aku—kami punya sejarah. Sejarah yang sangat kelam."

Laura menatapnya, menunggu.

"Lima tahun lalu, sebelum aku keluar dari militer, aku dan timku melakukan operasi rahasia. Operasi yang bocor karena ada pengkhianatan dari dalam. Dua belas orang tewas malam itu, Laura. Dua belas rekanku yang aku anggap saudara." Suara Julian mulai bergetar dengan emosi lama yang belum sembuh. "Selama ini aku tidak tahu siapa yang membocorkan informasi. Tapi dua bulan lalu, aku dapat bukti. Leon—dia yang menjual informasi kami ke kelompok teroris yang menyerang kami. Dia dibayar untuk membuat kami gagal, dan sebagai bonus, membuat aku dan timku mati."

Laura merasakan darahnya membeku. "Dia—dia pembunuh?"

"Dia tidak menarik pelatuk sendiri, tapi darah dua belas orang ada di tangannya." Mata Julian mengeras dengan kebencianyang Laura tidak pernah lihat sebelumnya. "Aku punya bukti. Aku sudah berikan pada pihak berwajib. Mereka sedang membangun kasus terhadapnya. Tapi Leon tahu—dia tahu aku yang laporkan dia. Dan sekarang dia tidak hanya ingin menghancurkan bisnisku, dia ingin menghancurkan aku dengan cara yang paling menyakitkan."

"Dengan menyakiti orang-orang yang aku—" Julian berhenti, menatap Laura dengan tatapan yang penuh dengan emosi yang tidak bisa dia sembunyikan lagi "—orang-orang yang penting bagiku."

Laura merasakan dadanya sesak. Semua puzzle mulai tersusun. Kenapa Julian begitu protektif. Kenapa dia takut kehilangan Laura. Kenapa dia membangun tembok tinggi—karena terakhir kali dia membiarkan orang dekat, dua belas dari mereka mati.

"Julian—" bisiknya, tangannya bergerak menyentuh wajah Julian yang terlihat begitu lelah, begitu terluka.

"Aku tidak pernah cerita pada siapapun tentang ini," lanjut Julian, suaranya bergetar. "Bahkan pada Maudy. Dia tidak tahu detail apa yang terjadi malam itu. Dia hanya tahu aku terluka, punya trauma, lalu dia pergi karena tidak sanggup. Tapi kamu—" dia memegang tangan Laura yang ada di wajahnya "—kamu ada di sini mendengarkan sisi tergelapku dan tidak lari."

"Karena aku mencintaimu, bodoh," bisik Laura, air matanya mengalir. "Aku sudah bilang. Aku mencintaimu dengan semua lukamu, dengan semua traumamu,

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!