Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Linggis Berdarah
Cahaya sorot lampu yang tajam menusuk mata, membuat Risa memejamkan mata erat. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena rasa sakit di kaki, tapi karena siluet Bibi Lastri yang berdiri di ambang pintu, memegang linggis berlumuran darah. Darah. Aroma anyir itu seperti langsung menyergap indra penciumannya, membanjiri otaknya dengan pertanyaan-pertanyaan menakutkan.
Kevin sempat tersentak, sedikit terhuyung, namun pegangannya pada Risa tidak goyah. Mata tajamnya menatap Bibi Lastri, lalu turun ke linggis di tangan wanita itu, dan akhirnya berhenti pada noda merah gelap yang mengering di permukaannya. Napasnya tertahan.
“Bibi… ada apa?” Suara Kevin terdengar berat, berusaha menjaga ketenangannya, namun ada nada waspada yang tak bisa disembunyikan. Ia melangkah maju perlahan, mencoba menjauhkan Risa dari jangkauan Bibi Lastri, melindungi gadis itu dengan tubuhnya.
Bibi Lastri, dengan wajah yang masih menunjukkan ekspresi terkejut yang aneh, buru-buru menyembunyikan linggis itu di belakang punggungnya. Gerakannya canggung, terlalu cepat, dan itu justru membuat Risa semakin curiga. Bibirnya mengukir senyum yang dipaksakan, berusaha menutupi gurat kecemasan yang jelas terlihat di matanya. Matanya melirik ke arah sumur, lalu kembali ke Risa dan Kevin.
“Oh, itu… itu bukan apa-apa, Nak. Cuma… cuma tumpahan cat. Ya, cat merah. Tadi Bibi sedang membersihkan gudang belakang, lalu tidak sengaja menumpahkan cat.” Suara Bibi Lastri terdengar terlalu tinggi, terlalu cepat, dan ia bahkan menghindari kontak mata langsung. Tangannya yang tidak memegang linggis terlihat meremas-remas ujung bajunya. Dia berbohong.
Risa merasakan perutnya mual. Cat? Linggis yang berlumuran cat? Itu adalah kebohongan paling konyol yang pernah ia dengar. Aroma anyir darah masih sangat kuat, seolah merasuk ke dalam pori-porinya. Kakinya berdenyut-denyut nyeri, tapi rasa takut akan Bibi Lastri kini mengalahkan segalanya. Ia mencengkeram erat kemeja Kevin, mencoba mencari kekuatan.
“Cat merah, Bi?” Kevin mengerutkan keningnya, nadanya datar. “Apa Bibi tahu jam berapa sekarang? Dan kenapa Bibi memegang linggis untuk membersihkan cat? Bukankah seharusnya kuas atau kain lap?”
Pertanyaan Kevin menohok, membuat Bibi Lastri sedikit panik. Wajahnya memucat, senyumnya luntur, dan matanya kini menunjukkan kilatan yang lebih gelap, lebih waspada. Ia menelan ludah, terlihat jelas sedang merangkai kebohongan lain.
“Itu… itu karena… karena ada tikus besar di gudang! Bibi tadi hendak mengusir tikus itu, makanya Bibi mengambil linggis ini. Lalu… lalu catnya tumpah karena Bibi terkejut melihat tikus itu melompat. Iya, betul! Tikus itu besar sekali, lho!” Bibi Lastri tertawa sumbang, tawanya terdengar hampa dan tak meyakinkan. Ia bahkan sedikit gemetar.
Risa dan Kevin saling bertukar pandang. Kebohongan Bibi Lastri semakin menguatkan dugaan Risa bahwa wanita itu menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap. Tikus? Di rumah besar ini, memang sering ada tikus, tapi tidak pernah sampai membuat Bibi Lastri sepanik ini, apalagi sampai membawa linggis.
“Lalu, kenapa Bibi menyalakan lampu sorot ini ke arah kami?” Risa memberanikan diri bertanya, suaranya parau. Ia menatap lurus ke mata Bibi Lastri, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Indera keenamnya berteriak, memperingatkan bahwa ada bahaya yang sangat dekat.
Bibi Lastri tersentak lagi, seperti tertangkap basah. “Oh, itu… itu karena Bibi mendengar suara-suara aneh dari halaman belakang. Bibi khawatir ada maling, makanya Bibi memeriksa. Tidak menyangka kalau yang Bibi temukan malah kalian. Ya Tuhan, Risa! Kaki kamu itu kenapa?!” Kali ini, suaranya terdengar lebih meyakinkan, nada panik seorang wali yang tulus akhirnya muncul, seolah ia baru teringat akan kondisi Risa yang sebenarnya. Ia melangkah mendekat, matanya menatap kaki Risa yang bengkak dan memar.
Kevin mempererat pegangannya pada Risa, sedikit mundur, menjauhkan gadis itu dari jangkauan Bibi Lastri. Ia tidak percaya. Kepekaan Risa terhadap energi gaib mungkin belum disadarinya sepenuhnya, tapi naluri logis Kevin berteriak bahwa ada yang tidak beres di sini. Kebetulan ini terlalu banyak untuk disebut kebetulan. Bibi Lastri di halaman belakang di tengah malam, memegang linggis berdarah, dan langsung menyalakan lampu sorot saat mereka muncul dari balik semak-semak.
“Kami… kami tadi jatuh, Bi,” Risa berbohong, mengikuti isyarat Kevin. Ia tidak bisa menceritakan soal sumur, kotak kayu, atau hantu mata merah kepada Bibi Lastri. Ia tahu itu akan menjadi bencana. “Aku terpeleset, lalu Kevin menolongku.”
“Jatuh? Terpeleset?” Bibi Lastri membelalakkan matanya, lalu dengan cepat wajahnya berubah menjadi ekspresi khawatir yang berlebihan. “Astaga, Nak! Kenapa kalian tidak hati-hati? Kalau begitu, ayo cepat masuk! Kevin, bawa Risa ke kamarnya. Bibi akan panggil dokter.”
“Tidak perlu, Bi,” Kevin menolak halus. “Aku bisa mengurusnya. Lagipula, ini cuma terkilir biasa. Nanti aku kompres saja dengan es.” Ia tidak ingin Bibi Lastri terlalu dekat dengan Risa, apalagi sampai memanggil dokter yang mungkin bisa melihat lebih dari sekadar cedera fisik.
Bibi Lastri tampak kecewa, namun segera mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Tapi hati-hati ya, Nak. Biar Bibi bantu buka pintunya.” Ia melangkah mendekati pintu belakang, membuka kuncinya, dan menyingkir ke samping, mempersilakan mereka masuk. Namun, saat ia berbalik, Risa menangkap sekilas ekspresi di mata Bibi Lastri. Kilatan kekecewaan, bahkan mungkin kemarahan, yang cepat menghilang digantikan oleh senyum ramah yang biasa.
Kevin melangkah masuk, melewati ambang pintu. Risa masih menyandarkan kepalanya di bahu Kevin, matanya lurus menatap Bibi Lastri. Ia melihat wanita itu menatap linggis di belakang punggungnya, lalu ke arah Kevin dan Risa yang perlahan masuk ke dalam rumah. Ada sesuatu yang tidak beres. Sangat tidak beres.
Mereka melewati dapur yang gelap, lalu koridor panjang yang temaram. Setiap langkah Kevin terasa semakin berat, tapi ia terus berjalan. Risa bisa merasakan ketegangan dalam tubuh Kevin. Pria itu waspada, setiap ototnya tegang. Ia tahu Kevin juga mencurigai Bibi Lastri. Bagaimana tidak? Linggis berdarah di tengah malam? Itu terlalu mengerikan untuk diabaikan.
Akhirnya, mereka sampai di tangga menuju lantai atas. Kevin menoleh ke Risa. “Kamu kuat naik tangga?”
Risa mengangguk lemah. “Aku coba.”
Kevin mengubah posisinya, membiarkan Risa menjejakkan kaki kanannya di lantai sambil ia menopang berat badan gadis itu dengan lengannya. Perlahan, mereka mulai menaiki tangga satu per satu. Rasa sakit di kaki Risa semakin menjadi-jadi, tapi ia berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis. Ia harus kuat. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari rasa sakit fisiknya saat ini.
Saat mereka sampai di puncak tangga, Kevin langsung membawa Risa menuju kamarnya. Kamar Risa tidak jauh dari tangga, jadi mereka cepat sampai. Kevin membuka pintu kamar dengan bahunya, lalu melangkah masuk. Ia menurunkan Risa perlahan ke tepi ranjang, memastikan gadis itu nyaman.
“Kamu tunggu di sini,” kata Kevin, suaranya lembut namun tegas. “Aku ambilkan es untuk kakimu, lalu aku akan cari tahu soal linggis itu.”
Risa meraih tangan Kevin, menahannya. “Jangan pergi, Kevin. Aku takut.”
Kevin menatap Risa, matanya penuh kekhawatiran. Ia mengusap pipi Risa dengan ibu jarinya. “Aku tidak akan pergi jauh. Aku cuma mau memastikan tidak ada hal buruk terjadi lagi. Aku akan kembali secepatnya. Kamu kunci pintu ini, ya?”
Risa mengangguk, melepaskan tangan Kevin dengan berat hati. Kevin berbalik, berjalan menuju pintu, lalu menoleh lagi. “Kamu yakin baik-baik saja?”
Risa memaksakan seulas senyum. “Aku akan baik-baik saja. Cepat kembali.”
Kevin mengangguk, lalu keluar dari kamar. Risa segera mengunci pintu, tangannya gemetar. Ia bersandar di pintu sebentar, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Bayangan linggis berdarah itu kembali terlintas di benaknya. Siapa yang dilukai oleh Bibi Lastri? Atau… dibunuh?
Ia berjalan tertatih-tatih menuju ranjang, menjatuhkan diri di atasnya. Rasa sakit di kakinya kini semakin hebat, namun itu tidak seberapa dibandingkan ketakutan yang merayap di hatinya. Ia meraih liontin kunci di lehernya, meremasnya erat. “Ibu… apa yang sebenarnya terjadi?” bisiknya, air mata mulai menetes membasahi pipinya.
Tidak lama kemudian, ia mendengar suara langkah kaki dari luar kamar. Risa langsung menegang. Suara itu bukan langkah Kevin. Langkah Kevin selalu mantap dan ringan, ini lebih berat, menyeret, dan… pelan. Sangat pelan. Seolah-olah seseorang sedang mengendap-endap. Jantung Risa berdetak tak karuan. Ia menahan napas. Suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Hening. Lalu, ia mendengar suara ketukan perlahan di pintu. Satu ketukan. Dua ketukan. Tiga ketukan.
“Risa… kamu sudah tidur, Nak?” Suara Bibi Lastri terdengar dari balik pintu, suaranya serak, tapi entah kenapa terdengar jauh lebih menyeramkan daripada bisikan hantu mana pun. “Bibi membawakanmu air hangat. Buka pintunya, sayang.”
Risa tidak menjawab. Ia bersembunyi di balik selimut, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak tahu apa yang Bibi Lastri inginkan, tapi ia tahu pasti satu hal: ia tidak boleh membuka pintu ini. Suara ketukan itu kembali, kali ini lebih keras, lebih mendesak. Lalu, Risa mendengar suara kunci diputar. Kunci yang sama dengan liontin di lehernya. Kunci master. Bibi Lastri punya kunci master untuk semua kamar.
Klik. Pintu perlahan terbuka. Risa memejamkan mata, jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia mendengar langkah kaki masuk ke dalam kamar. Aroma melati, yang biasa dipakai Bibi Lastri, kini terasa menusuk dan mencekik. Ia merasakan seseorang berdiri di samping ranjangnya. Lalu, sebuah tangan dingin menyentuh kakinya yang bengkak.
“Risa… kenapa kakimu bisa seperti ini, Nak?” Suara Bibi Lastri terdengar begitu dekat, begitu menyeramkan. “Apa kamu tahu? Rasa sakit itu… bisa membuat seseorang melakukan hal-hal yang tidak terduga. Terkadang, rasa sakit itu adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah… rahasia.”
Risa merasakan napasnya tercekat. Ia tidak berani membuka mata. Tangannya meremas selimut sekuat tenaga. Ia merasakan tangan Bibi Lastri mengusap kakinya yang bengkak, usapan itu perlahan naik ke betisnya, lalu ke… lututnya. Dan ia merasakan jari-jari itu berhenti, seolah meraba sesuatu di bawah selimut. Liontin kunci di lehernya. Ia pasti menyadarinya.
“Liontin ini… kenapa kamu selalu memakainya, Risa?” Suara Bibi Lastri berubah, kini lebih dingin, lebih tajam. “Itu kan kunci kamar ibumu yang sudah tidak terpakai lagi. Atau… jangan-jangan, kamu tahu sesuatu?”
Risa merasakan hawa dingin merayapi punggungnya. Ia membuka mata perlahan, dan hal pertama yang dilihatnya adalah mata Bibi Lastri yang menatapnya tajam, bukan dengan kehangatan seorang wali, melainkan dengan tatapan kosong, dingin, dan penuh ancaman. Dan di tangan kanan Bibi Lastri, yang biasanya selalu tertutup, terlihat samar bekas luka bakar yang ia tutupi selama ini. Bekas luka itu kini tampak jelas di bawah cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Bentuknya aneh, seperti… terbakar oleh api yang sangat panas.
Bibi Lastri tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. “Katakan padaku, Risa. Apa yang kamu sembunyikan?” Ia mendekatkan wajahnya, aroma melati dan darah… atau cat… semakin kuat. “Atau aku akan membuatmu menyesal telah kembali ke rumah ini.”
Risa menahan napas. Kengerian yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia tahu Bibi Lastri tidak main-main. Kali ini, ia benar-benar dalam bahaya besar.