Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Anjani membuka matanya. Pandangannya masih buram, napasnya tersengal. Dunia terasa asing. Perlahan, kesadarannya mulai pulih. Sakit di kepalanya seperti palu yang menghantam tulang tengkoraknya. Tangannya meraba pelan kain yang membalut tubuhnya—masih utuh. Ia menangis pelan, tak percaya bahwa dirinya masih hidup.
"Bu, tenang... Ibu sudah aman," suara lembut seorang pria menyentuh kesadarannya. Jamal. Di sampingnya berdiri seorang wanita dengan riasan tebal dan busana yang mencolok—Veronika, mata-mata yang dikenal licin dan cerdik.
"Kalian... menyelamatkanku?" suara Anjani serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba bangkit, menyandarkan tubuhnya ke tepi ranjang. Detak jantungnya masih kacau, namun ia ingin jawaban.
"Iya, maafkan saya... saya hampir terlambat," kata Jamal penuh penyesalan. Ia menunduk, menyembunyikan rasa bersalah yang menggerogotinya.
Anjani menatap Jamal lekat-lekat. "Siapa mereka? Orang-orang yang menculikku... apakah itu suruhan Ibu Menteri?"
Jika benar, maka ia tak hanya kecewa. Ia akan hancur. Selama ini ia percaya pada Menteri dan keluarganya—meski hubungan mereka rumit. Kalau benar Ibu Menteri turut serta dalam percobaan pembunuhan ini, maka semuanya telah berubah.
"Sepertinya bukan,Hasil penyelidikan anak-anak, Ibu Menteri diperalat. Seseorang memanfaatkan pengaruh beliau untuk memancingmu datang ke tempat itu."jawab Jamal pelan.
"Lalu siapa? Siapa yang ingin aku mati?"Anjani menggertakkan gigi.
"Apakah Ibu mengenal nama... Viona?"Jamal menatap matanya dalam-dalam.
"Viona?" gumam Anjani, mencoba menggali ingatan. Nama itu asing. Tak ada kaitan dengan masa lalunya—setidaknya yang ia tahu.
"Apa Ibu ingin tahu siapa dia sebenarnya?" tanya Jamal lagi, nadanya serius.
"Aku harus tahu."
"Kalau begitu, ikutlah denganku. Tapi hati-hati. Ini bukan tempat yang mudah dilihat dengan mata terbuka."
Anjani bangkit perlahan. Meski tubuhnya masih lemah, tekadnya menguat. "Ayo. Aku ingin tahu siapa yang punya niat busuk padaku... selain Lusi, istri baru dari mantan suamiku."
Mereka berjalan menyusuri lorong lembab. Suasana mencekam menyambut tiap langkah mereka. Anjani merasakan bulu kuduknya berdiri. Bangunan itu seperti bekas markas rahasia—bau apak, tembok lumutan, dan udara dingin yang menusuk tulang.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan besar, mirip penjara bawah tanah. Di dalamnya ada sekitar empat puluh orang laki-laki, sebagian besar tanpa baju atasan, tangan mereka terikat ke belakang, wajah mereka muram dan putus asa.
"Bangunkan dia," perintah Jamal kepada salah satu pengawal. Ia menunjuk seorang pemuda dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan—Jeremi.
Jeremi dipaksa berdiri. Wajahnya menunjukkan amarah yang nyaris meledak. Kain penutup mulutnya dibuka.
"Bajingan! Kalau kau berani, ayo lawan aku satu lawan satu! Kau tak tahu siapa aku! Aku anak dari Baron, penguasa Gang Golok Merah!" teriaknya menggertak, napasnya memburu.
Namun Jamal tetap tenang. Ia mendekat, menunduk, lalu berbisik di telinga Jeremi, suaranya dingin seperti bilah pisau.
"Aku tahu kamu bukan siapa-siapa... hanya anak haram Baron. Kerja sama denganku, atau ibumu—yang sekarang di panti jompo itu—akan kubuang ke jalanan. Dan Baron akan menemukannya. Kau tahu apa yang akan dilakukan Baron kalau tahu siapa kamu sebenarnya, bukan?"
Jeremi terdiam. Matanya membelalak. Rahangnya mengeras.
"Bagaimana kau tahu...?"
"Aku tahu lebih dari yang kamu kira. Aku tahu juga tentang adik perempuanmu... yang sekarang tinggal di rumah rehabilitasi jiwa. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gila," ujar Jamal dingin.
"Jangan kau... jangan kau sentuh adikku. Kalau kamu menyentuh dia... aku bunuh kamu!" ancamnya.Jeremi menahan napas. Matanya merah.
"Jangan mengancamku, Jeremi. Aku tahu betul siapa dirimu. Aku punya caraku sendiri untuk melindungi keluargamu. Tapi kalau kau menentangku... kamu tahu apa yang akan terjadi kalau aku kirim semua bukti ini ke Baron."Jamal tersenyum miring.
Jeremi jatuh berlutut. Tangisnya pecah. "Jangan... kumohon... jangan apa-apakan Ibu dan adikku..."
"Kalau begitu, ikuti perintahku."Jamal menepuk pundaknya pelan.
Anjani menyaksikan semua itu dengan campuran ngeri dan kagum. Jeremi, preman tangguh yang dikenal sadis, kini bersimpuh, menangis di hadapan Jamal. Dunia bawah tanah ini tak mengenal belas kasihan—yang terkuat bukan yang paling berotot, tapi yang paling licik.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?" tanya Anjani kemudian.
"Anda terlalu baik, sedangkan banyak orang yang ingin menghancurkan Anda," ucap Jamal lirih, matanya menatap Anjani dengan ketulusan yang ganjil.
"Lalu kamu dan kalian ini siapa sebenarnya?"Anjani menoleh penuh curiga.
Tanpa aba-aba, Jamal dan seluruh anak buahnya langsung membungkuk bersamaan. Suara mereka menggema di ruangan gelap itu, bulat dan dalam, seperti mantra kuno yang dipanggil dari masa lalu.
"Kami adalah Kelompok Naga Hitam. Siap melindungi Nona Naga Ketujuh," ucap mereka serempak.
Anjani tertegun. Alisnya berkerut, napasnya tercekat. Apa ini semacam drama kolosal? Nona Naga Ketujuh? Apa maksudnya?
"Bangunlah! Aku tidak suka diperlakukan seperti ini," bentak Anjani, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar tak karuan.
Mereka semua berdiri dengan cepat, tegap dan hormat.
"Sudahlah. Lupakan soal 'nona naga' itu. Aku tidak paham. Aku cuma petani biasa yang kebetulan menikah dengan orang salah," ujarnya sinis.
"Tapi satu hal yang masih membuatku penasaran—siapa sebenarnya yang ingin mencelakakanku?" lanjutnya tajam.
Jamal mengedip pada salah satu anak buahnya. Lelaki itu segera melangkah pergi dan kembali dengan sebuah ponsel di tangan.
"Hubungi Viona. Katakan... misi selesai."Jamal menyerahkannya pada Jeremi.
.......
"Tiara, vilaku hancur. Rencana kita berantakan. Gimana ini ceritanya?" tanya Viona dengan nada kesal.
"Aku juga nggak tahu, Vi. Jeremi nggak bisa dihubungi dari tadi," jawab Tiara, wajahnya tampak frustrasi.
"Aku nggak mau tahu. Namaku harus clear, titik," ucap Viona tegas sambil memelototi Tiara.
Tiba-tiba ponsel Tiara berdering. "Jeremi nelpon," gumamnya panik.
"Angkat," perintah Viona cepat.
Tiara menatap layar ragu. Selama ini ia memakai nama Viona untuk berhubungan dengan Jeremi. Kalau angkat, bisa jadi jebakan.
"Angkat, Tiara," desak Viona lagi.
Dengan tangan gemetar, Tiara menekan tombol hijau. "Nyonya..." suara Jeremi terdengar di seberang.
Tiara menarik napas lega. Jeremi tetap memanggilnya ‘nyonya’.
"Target ada di tempatku," kata Jeremi.
"Terus, siapa yang bakar vila?" tanya Tiara.
"Aku. Karena ada yang melindungi Anjani diam-diam. Sekarang mereka lagi sibuk cari jasadnya. Tapi target udah di tanganku. Kirim sisa bayaranku," ujar Jeremi datar.
"Mana buktinya?" tanya Tiara dingin.
"Video call," ucap Jeremi, lalu mengaktifkan kamera.
"Ini, lihat siapa?" katanya sambil menunjuk wajah Anjani yang berlumuran darah.
"Kenapa kamu pukul dia?" tanya Tiara kaget.
"Dia melawan. Video udah aku buat. Sekarang bayar," jawab Jeremi santai.
"Mana videonya?"
"Bayar dulu, baru aku kirim," ujar Jeremi.
"Baik, aku transfer," kata Tiara akhirnya.
"Kamu gila? Kalau dananya ketahuan, reputasi kamu hancur," balas Jeremi tajam.
"Ya udah. Kirim lokasinya," ucap Tiara dingin.
"Anjani sudah ada di tempat Jeremi. Apa kamu mau ikut?" tanya Tiara pelan, sambil mencuri pandang ke arah Viona.
Dalam hati, Tiara berharap Viona menolak. Jika ikut, bisa jadi rahasianya terbongkar—bahwa selama ini dia menggunakan nama Viona untuk berkomunikasi dan bertransaksi dengan pembunuh bayaran.
"Gila aja kamu! Aku nggak mau terlibat," ucap Viona cepat, ekspresinya ketakutan. "Kalau aku ketahuan kerja sama dengan pembunuh bayaran, habis sudah reputasiku."
Tiara menahan senyum. Jawaban itu sesuai harapannya. Lebih baik Viona tetap di balik layar.
"Ya... padahal kalau kamu ikut, kita bisa sama-sama menikmati kehancuran Anjani," ucap Tiara, berusaha terdengar santai, walau niat sebenarnya jauh lebih dalam.
"Sudah, kamu saja yang pergi. Uang kan sudah aku kasih?" tanya Viona, nadanya ingin cepat menyudahi pembicaraan.
"Jeremi minta tambahan. Dua ratus juta lagi," jawab Tiara tanpa ragu. Ia sengaja melebihkan nominal untuk mengambil untung.
"OK," ucap Viona pelan, lalu menatap Tiara lurus-lurus. "Tapi satu hal yang harus kamu ingat."
"Apa?"
"Jangan pernah libatkan aku. Sekali pun. Kalau ini bocor dan namaku terseret, kamu tahu sendiri akibatnya," ucap Viona tajam.
Tapi.. kayanya bakalan lucu kalau si Firman yg dan bucin duluan nantinya 😂😂👍