Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 : MAKAN MALAM KELUARGA
Aku berdiri di depan cermin dengan tubuh yang masih gemetar hebat. Rasa perih di telapak tanganku akibat pecahan kaca tadi terus berdenyut, namun aku tidak berani mengeluh. Dengan sisa tenaga yang ada, aku membersihkan noda darah di lantai agar tidak memancing amarahnya lagi saat ia kembali.
Aku membuka lemari besar itu. Di dalamnya tergantung sebuah gaun sutra berwarna biru pucat yang sangat indah, namun bagiku, gaun itu tampak seperti kain kafan yang disiapkan untuk membunuh jati diriku.
Dengan tangan yang masih gemetar, aku mengenakan gaun itu. Kainnya terasa dingin dan halus, membalut tubuhku dengan sangat pas—terlalu pas, seolah-olah gaun ini memang diciptakan untuk seseorang yang memiliki lekuk tubuh yang identik denganku.
Aku duduk di kursi rias, menatap pantulanku yang menyedihkan. Pipi kiriku mulai membiru dan membengkak. Aku mengambil concealer tebal, mengoleskannya berulang kali untuk menutupi jejak kekerasan Erlangga. Aku harus terlihat sempurna. Aku harus terlihat seperti "dia".
Setiap sapuan riasan di wajahku terasa seperti pengkhianatan terhadap diriku sendiri. Aku menyisir rambutku persis seperti foto wanita yang kulihat di ruang kerja itu. Aku tidak lagi melihat Shilla di cermin. Aku melihat sebuah boneka yang sedang dipersiapkan untuk pertunjukan.
Tepat saat aku menyemprotkan parfum, pintu terbuka tanpa ketukan. Erlangga berdiri di sana, sudah berganti pakaian dengan setelan tuksedo hitam yang elegan. Ia tampak sangat tampan, namun ketampanan itu kini terasa seperti ancaman bagiku.
Ia melangkah masuk, mendekatiku dengan langkah perlahan yang penuh intimidasi. Aku menahan napas, mencengkeram pinggiran meja rias hingga buku jariku memutih.
Ia berdiri tepat di belakangku, menatap pantulanku di cermin. Matanya yang tadi merah karena murka, kini berubah menjadi tatapan yang dingin namun penuh obsesi. Ia mengulurkan tangannya, jari-jarinya yang kasar membelai pipiku yang tadi ia tampar. Aku berjengit kecil, namun segera kupaksa diriku untuk diam.
"Cantik," bisiknya, suaranya rendah dan dalam, mengirimkan gelombang ketakutan ke sekujur tubuhku. "Jangan pernah biarkan wajah ini rusak lagi karena kelancanganmu sendiri. Kau mengerti?"
Ia tidak menyesal. Ia hanya peduli pada "aset" yang ia miliki. Ia kemudian mencengkeram daguku, memaksa wajahku menghadapnya ke atas.
"Kau tahu apa tugasmu malam ini?" tanyanya dengan nada menuntut.
"T-tersenyum... dan menjadi apa yang kau mau," jawabku lirih, nyaris berbisik.
Erlangga tersenyum tipis—sebuah senyum yang tidak mencapai matanya. "Bagus. Kau akan duduk di sampingku, kau akan memakan apa yang kuberikan, dan kau akan berbicara hanya jika aku mengizinkan. Jika kau berani melakukan kesalahan sekecil apa pun di depan orang tuaku..."
Ia mendekatkan wajahnya ke telingaku, hembusan napasnya terasa panas. "...aku akan memastikan kau tidak akan bisa berjalan keluar dari kamar ini selama satu bulan ke depan. Mengerti?!"
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Ia melepaskan daguku dengan sentakan kecil, lalu memberikan isyarat agar aku berdiri dan mengikutinya.
Kini aku sudah berada di dalam mobil mewah yang melaju menembus kegelapan malam. Atmosfer di dalam mobil terasa sangat menyesakkan.
Mobil mewah itu melambat saat memasuki gerbang besi raksasa yang terbuka otomatis. Di hadapanku, sebuah rumah megah bergaya kolonial berdiri angkuh dengan pilar-pilar putih yang menjulang tinggi. Lampu-lampu kristal memancarkan cahaya kekuningan dari balik jendela besar, memberikan kesan mewah sekaligus dingin.
Erlangga menghentikan mobil tepat di depan lobi utama. Sebelum turun, ia mematikan mesin dan suasana seketika menjadi sunyi senyap, hanya menyisakan deru napas kami berdua.
"Turun," perintahnya singkat.
Aku membuka pintu dengan tangan yang masih gemetar, berusaha menjaga keseimbangan di atas sepatu hak tinggi yang tidak nyaman ini. Erlangga berjalan memutar, lalu tanpa peringatan, ia merangkul pinggangku dengan sangat erat—begitu erat hingga aku bisa merasakan kerasnya otot lengannya yang menekan tulang rusukku.
"Tegakkan kepalamu," desisnya tepat di telingaku. "Tersenyumlah seolah kau adalah wanita paling bahagia di dunia. Jika kau gemetar, aku akan menganggap itu sebagai kegagalan."
Pintu jati besar itu terbuka, disambut oleh dua pelayan berseragam yang membungkuk hormat. Di dalam ruang tamu yang luas, sepasang suami istri paruh baya sudah menunggu. Mereka adalah orang tua Erlangga. Sang ayah tampak berwibawa dengan raut wajah keras yang sangat mirip dengan Erlangga, sementara ibunya mengenakan kebaya sutra dengan tatapan mata yang tajam dan menyelidik.
"Akhirnya kau datang, Erlangga," suara ayahnya berat, menggema di ruangan itu.
Tatapan ibunya langsung tertuju padaku, menyapu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku merasa seperti barang pajangan yang sedang dinilai harganya. Cengkeraman tangan Erlangga di pinggangku semakin mengencang, sebuah peringatan agar aku tetap pada peranku.
"Dan ini..." Ibunya menggantung kalimatnya, melangkah mendekat ke arahku. Wajahnya menegang saat melihat wajahku lebih dekat. "Erlangga, apa yang kau lakukan? Dia... dia terlalu mirip dengan—"
"Dia Shilla, Ma," potong Erlangga dengan nada suara yang tiba-tiba berubah menjadi lembut namun penuh manipulasi. Ia menoleh padaku dengan tatapan palsu yang penuh kasih sayang, membuatku mual. "Bukankah dia sangat cantik malam ini?"
Ibunya terdiam, matanya berkaca-kaca sesaat sebelum ia kembali mengeraskan ekspresinya. "Kau membawa 'pengganti' ke rumah ini? Kau pikir kami bisa dibohongi?"
"Ini bukan soal pengganti," jawab Erlangga dingin, suaranya kembali ke nada aslinya yang mengancam. "Dia adalah apa yang kubutuhkan sekarang."
Kami kemudian digiring menuju meja makan panjang yang sudah dipenuhi hidangan mewah. Namun bagiku, meja itu terasa seperti meja eksekusi. Di bawah meja, Erlangga mencengkeram pahaku dengan kuat, kuku-kukunya sedikit menekan kain gaun tipisku.
"Ingat," bisiknya saat kami baru saja duduk. "Jangan bicara kecuali ditanya. Dan saat kau bicara, gunakan suara yang lembut. Jangan buat aku malu di depan Papa."
Suasana makan malam berlangsung sangat tegang. Setiap denting sendok yang beradu dengan piring terasa seperti ledakan di telingaku.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,