NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Sore Berubah Menjadi Malam di Gerbong Satu

Stasiun Malang sore itu ramai, tapi tetap terasa tertib dan tenang. Suara pengumuman keberangkatan bergema dari pengeras suara, berpadu dengan deru roda koper di lantai marmer yang berkilau. Aroma kopi hangat dari kafe kecil di pojok ruang tunggu melayang lembut di udara, bercampur dengan wangi kertas tiket dan udara logam khas rel kereta.

Cahaya matahari menembus jendela kaca besar di sisi timur, menciptakan siluet para penumpang yang berlalu-lalang — beberapa sibuk menatap gawai, sebagian lain sibuk mencari nomor peron, dan sisanya hanya duduk diam, menunggu dengan tatapan lelah tapi damai. Jam dinding besar di atas loket menunjukkan pukul 17.40, dan langit di luar perlahan berubah jingga.

Bhumi duduk di salah satu kursi besi di ruang tunggu keberangkatan, sedikit menunduk sambil memperhatikan layar ponselnya. Kemeja hitamnya tergulung hingga siku, coat abu tua yang terlipat rapi di pangkuannya. Di sekitarnya, suasana bergerak cepat, tapi ia seperti diam di dalam ruang waktu sendiri — tenang, teratur, dan sedikit sendu.

Sesekali matanya menatap ke arah pintu masuk. Di sisi kanan, barista di kafe sedang menuang susu ke dalam kopi; di sisi lain, sepasang anak muda berfoto di depan papan bertuliskan Stasiun Malang – Arjuno Line.

Tapi yang dicari Bhumi bukan itu. Ia menunggu dua sosok yang belum juga muncul, dengan kesabaran yang tak biasa untuk ukuran dirinya.

Angin sore masuk pelan dari pintu geser yang terbuka setiap kali ada penumpang lewat, membawa aroma hujan yang tertahan dan debu rel yang khas. Suara sepatu hak kecil yang bergema di lantai marmer menandai kedatangan seseorang, dan ketika Bhumi menoleh — di sanalah mereka akhirnya muncul.

Bulan dan Liora. Keduanya berjalan berdampingan, masing-masing menarik koper kecil beroda. Langkah mereka ringan tapi pasti, dengan wajah yang teduh diterpa cahaya oranye matahari sore.

Bulan mengenakan blouse putih gading dengan outer krem lembut dan celana bahan berwarna tanah. Rambutnya diikat setengah, sedikit berantakan karena angin, tapi justru itu yang membuatnya terlihat alami. Sementara Liora tampil kontras: denim biru, sneakers putih, totebag besar dengan logo Global Teknologi di bahunya, dan senyum riang yang langsung membawa kehidupan ke ruang tunggu itu.

Bhumi berdiri. Sekilas, waktu seperti melambat di antara mereka — hanya sejenak, tapi cukup untuk membuat tatapan mata mereka saling bertemu sebelum Liora memecah suasana dengan suara cerianya,

“Maaf nunggu lama, Mas Bhumi! Tadi sempet macet di jalan.”

Bhumi tersenyum samar, menggeleng pelan. “Enggak. Aku baru juga duduk.”

Suasana di antara mereka sederhana, tapi ada kehangatan yang tidak perlu dijelaskan. Dan di atas semua hiruk-pikuk stasiun sore itu, sesuatu yang halus terasa bergeser — bukan hanya perjalanan pulang, tapi awal dari sesuatu yang pelan-pelan mulai berubah arah.

Tatapan mereka bertemu sesaat — cukup untuk membuat Bulan menunduk kecil, memperbaiki pegangan kopernya.

“Kereta udah siap boarding, yuk.”

Bhumi mengambil alih koper kecil milik Bulan tanpa banyak bicara, membuat Liora sempat melirik nakal sambil menahan senyum.

Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong menuju peron. Suasana sore berubah jingga keemasan; cahaya matahari terakhir jatuh di lantai keramik stasiun yang mengilap. Dan di ujung sana, berdiri gagah Arjuno Express — kereta super eksekutif berwarna perak dengan interior modern yang elegan.

“Waw…” Liora spontan bersuara, matanya membesar. “Kereta super eksekutif? Kita naik ini?”

Bhumi menatapnya sekilas. “Iya. Biar perjalanan kalian nyaman.”

Liora menepuk dadanya pelan. “Mas Bhumi, sumpah, ini bukan lagi nyaman — ini luxury level,” katanya bersemangat.

Bulan hanya tersenyum kecil, tapi tatapannya lembut. “Terima kasih, Mas Bhumi.”

Ada rasa hangat yang Bhumi rasakan di dadanya waktu Bulan memanggilnya dengan sebutan “Mas”, entah mengapa saat ini rasanya jantungnya langsung bersorak kegirangan.

“Udah jangan banyak mikir,” jawabnya ringan.

Begitu mereka masuk ke dalam gerbong, udara sejuk langsung menyambut. Kursinya luas, berlapis kulit, dengan pencahayaan lembut di sepanjang lorong. Setiap kursi punya monitor kecil, meja lipat elegan, dan colokan di sisi bawah.

Bhumi memesan tiga kursi — dua sejajar di sisi jendela, dan satu agak terpisah di seberang lorong. Liora melihat susunan tempat duduk itu… dan langsung ngeh.

“Oke, aku ngerti ini situasi apa,” katanya sambil menaikkan alis dan tersenyum nakal.

“Jadi… aku di sini aja, ya.”

Ia menepuk kursinya sendiri di sisi berlawanan — agak jauh, tapi dengan pandangan leluasa ke arah dua kursi di seberang. Bulan sempat melirik tajam, tapi Liora cuma mengangkat bahu, pura-pura sibuk buka laptop.

Bulan akhirnya duduk di kursi dekat jendela. Bhumi duduk di sebelahnya, menaruh tas kecil di bawah kaki. Kereta mulai bergetar pelan — tanda keberangkatan sebentar lagi dimulai.

Suara peluit panjang terdengar. Arjuno Express pun mulai bergerak, meninggalkan stasiun dengan dentingan rel yang teratur. Di luar jendela, langit Malang berganti warna menjadi ungu muda, dan cahaya kota mulai menyala satu per satu.

Untuk beberapa saat, hanya suara roda kereta yang terdengar. Liora sudah mulai mengetik sesuatu di laptopnya, jelas berusaha memberi ruang bagi dua orang di seberang lorong itu.

Bhumi bersandar sedikit, menatap jendela di depan mereka. “Kamu suka naik kereta?” tanyanya tiba-tiba.

Bulan menoleh, sedikit terkejut oleh pertanyaan yang sederhana itu. “Hm? Iya. Tenang. Dan bisa lihat pemandangan.”

“Beda sama pesawat, ya?”

“Jauh,” jawab Bulan sambil tersenyum tipis. “Kalau naik pesawat, cuma awan dan suara mesin. Tapi kalau kereta… rasanya kayak punya waktu buat mikir.”

Bhumi mengangguk pelan. “Mungkin itu sebabnya aku lebih suka kereta juga.”

“Serius? Aku pikir kamu tipe orang yang selalu dikejar waktu, gak sempat mikir.”

“Justru karena sering dikejar waktu, aku butuh ruang buat diam,” jawab Bhumi santai, matanya tetap ke luar jendela.

Bulan tersenyum kecil. “Kedengarannya… sepi.”

“Sepi gak selalu buruk,” ujarnya lirih. “Kadang di situ justru semua suara bisa kedengeran.”

Ada jeda. Kereta berbelok lembut, membawa cahaya jingga dari langit senja masuk lewat jendela dan mengenai wajah mereka berdua. Dan di saat itu, Bulan melihat sisi Bhumi yang lain — bukan CEO dingin atau sosok kuat, tapi seseorang yang… tenang, rapuh dalam diam, dan nyata.

Ia menatapnya sebentar, lalu membuka suara pelan.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Tanya aja.”

“Kemarin di rumah kamu…” suaranya melembut, nyaris seperti bisikan, “ada apa sebenarnya?”

Bhumi diam sesaat. Hanya suara rel yang bergema pelan di antara mereka.

“Orang yang datang itu,” katanya akhirnya, “salah satu teman lama Ayah. Dia berutang, dan datang untuk nyari jalan keluar.”

Bulan menatapnya, sabar menunggu kelanjutan kata-kata itu.

“Dan jalan keluar yang dia tawarkan… gak manusiawi.”

Suaranya tenang, tapi dari nada itu Bulan bisa dengar: ada kemarahan yang ditahan, ada sesuatu yang ingin ia lindungi.

“Kalau kamu gak suka bahas ini, gak apa-apa,” ujar Bulan pelan.

Bhumi menatapnya, ekspresinya melembut. “Bukan gak suka. Cuma… kalau bukan karena kamu di sana waktu itu, mungkin aku bakal lebih marah.”

Bulan mengernyit pelan. “Kenapa karena aku?”

Bhumi tersenyum kecil — tipis, tapi tulus. “Karena kamu bikin suasananya gak seburuk itu. Aku inget waktu kamu senyum ke Dara di meja makan. Itu pertama kalinya aku ngerasa rumah ini hidup lagi.”

Bulan terdiam, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Berlebihan,” katanya akhirnya, pelan.

“Gak juga,” jawab Bhumi dengan nada datar tapi jujur. “Kamu punya efek menenangkan, Bulan.”

Udara di sekitar mereka terasa lebih hangat. Liora yang pura-pura sibuk mengetik dari kursinya bahkan sempat melirik — senyum kecil muncul di wajahnya.

Bulan menatap ke luar jendela, menutupi debar di dadanya.

“Bulan…” panggil Bhumi setelah beberapa detik.

“Hm?”

“Kalau kamu punya waktu buat diam… jangan cuma mikirin masalah kerja, ya.”

Bulan menoleh, menatap profil wajah Bhumi yang tenang diterpa cahaya lampu kabin.

“Terus aku harus mikirin apa?”

Bhumi menghela napas, menatap ke arah jendela dibelakang Bulan, matanya memantulkan cahaya lembut dari jendela. “Hal-hal kecil. Yang bisa bikin kamu ngerasa hidup, bukan cuma bertahan.”

Kereta terus melaju, melewati sawah gelap dan lampu-lampu kecil di kejauhan. Di dalam gerbong itu, dua manusia yang biasanya hidup dalam logika dan kesibukan —  akhirnya bicara dari hati ke hati.

Dan di kursi samping, Liora menutup laptopnya perlahan, berbisik pelan dengan senyum di sudut bibirnya. “Kalau bukan ini awalnya… aku gak tau apa lagi.”

*

Senja telah turun sepenuhnya. Langit di luar jendela kini hitam berkilau, dihiasi barisan lampu kota kecil yang berlari mundur mengikuti laju kereta. Cahaya lembut dari lampu kabin memantul di wajah para penumpang — sebagian sudah terlelap, sebagian masih sibuk menatap layar ponsel.

Di gerbong satu Arjuno Express, suasana hening nyaris sempurna. Liora sudah menyumpal telinganya dengan earphone, posisi duduknya miring dengan kepala bersandar di bantal leher, tertidur nyenyak dengan wajah tenang.

Sementara di baris sebelah jendela, hanya tersisa dua orang yang masih terjaga.

Bhumi dan Bulan.

Kereta melaju stabil di tengah malam, dan untuk sesaat, hanya suara rel yang berirama menjadi musik latar percakapan mereka. Bulan bersandar ke sandaran kursi, jari-jarinya menggenggam cangkir teh hangat yang baru dibawa pramugari.

Uap tipis mengepul, menari di udara di antara mereka berdua.

Bhumi menoleh sebentar. “Masih kuat?”

Bulan menatapnya sekilas. “Masih. Lagian cuma dua setengah jam perjalanan, kan.”

“Iya. Tapi kamu keliatan capek,” katanya pelan.

Bulan tersenyum samar, matanya kembali ke jendela.

“Capek sih, iya. Tapi rasanya… tenang. Lucu ya, bisa tenang di tempat yang terus bergerak.”

Bhumi menatapnya, lama. “Aku ngerti maksudmu.”

Bulan memiringkan wajah, menatapnya balik. “Ngerti gimana?”

“Tenang bukan karena berhenti, tapi karena kamu udah gak melawan arah.”

Suaranya datar, tapi di balik itu ada sesuatu — kedalaman yang jarang ditunjukkannya di dunia luar.

Bulan tertawa kecil, napasnya keluar lembut. “Kamu selalu bisa ngomong hal rumit dengan cara yang beda banget.”

Bhumi menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. “Kamu juga. Tapi versi lembutnya.”

Hening sebentar. Lampu-lampu kota berganti jadi hamparan sawah gelap. Dari speaker kabin terdengar pengumuman samar, memberi tahu bahwa mereka sudah melewati Singosari dan akan tiba di Lawang dalam waktu lima menit.

Bulan menatap ke luar, matanya berkilau oleh pantulan cahaya. “Kamu sering lewat jalur ini?”

“Sering,” jawab Bhumi. “Dulu, waktu kuliah. Aku suka duduk di gerbong belakang, lihat jejak rel di belakang kereta.”

“Kenapa?”

“Supaya inget, kalau semua yang kutinggalkan gak bisa dikejar lagi.”

Bulan menunduk sedikit, suaranya melembut. “Kamu kedengeran kayak seseorang yang udah kehilangan banyak hal.”

Bhumi mengalihkan pandangannya ke arah jendela. “Mungkin bukan kehilangan, cuma… belajar ngelepas.” Senyumnya tipis, hampir tak terlihat. “Kamu juga, kan?”

Bulan menatapnya sebentar — mata mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, tak ada lagi suara dunia luar selain dentingan rel yang teratur.

“Mungkin,” jawabnya akhirnya. “Bedanya, aku gak sempat belajar ngelepas. Aku cuma terbiasa sendirian.”

Ucapan itu sederhana, tapi membuat Bhumi diam cukup lama. Matanya tak lepas dari wajah Bulan yang diterpa cahaya lembut dari lampu kabin.

“Sendiri itu kadang bikin kuat,” katanya pelan. “Tapi juga capek, kan?”

Bulan tersenyum samar, pandangannya jatuh ke cangkir tehnya yang mulai kehilangan uap. “Capeknya gak keliatan, tapi selalu ada.” Ia mengangkat bahunya pelan. “Tapi kalau udah terbiasa, kamu gak sadar lagi.”

Bhumi masih menatapnya, nadanya berubah lebih lembut. “Kalau suatu hari kamu berhenti terbiasa, mungkin itu tandanya kamu udah gak sendiri lagi.”

Kata-kata itu turun perlahan, berat tapi hangat — seperti hujan yang jatuh di malam tenang. Bulan menunduk sedikit, menahan sesuatu yang sulit dijelaskan: antara nyaman dan takut.

“Aku belum tentu bisa berhenti,” katanya akhirnya, suaranya lirih.

“Kalau gak bisa berhenti, setidaknya jangan lari,” jawab Bhumi tenang.

“Enggak lari, kadang, satu maju satu langkah cukup.”

Kereta bergoyang lembut. Liora bergumam pelan dalam tidurnya, lalu diam kembali. Bulan menatap keluar jendela — malam begitu pekat, hanya pantulan wajah mereka berdua yang terlihat di kaca.

“Mas Bhumi,” panggilnya perlahan.

“Hm?”

“Kenapa kamu baik sama aku?”

Bhumi menatapnya. Ada kejujuran di sana, tapi juga sesuatu yang disimpan rapi.

“Karena kamu gak minta siapa pun buat baik ke kamu.”

“Dan itu alasanmu?”

“Itu cukup.”

Keheningan kembali. Tapi kali ini, heningnya berbeda. Bukan canggung, bukan kosong — hening yang membuat dada berdebar pelan tanpa sebab.

Kereta memasuki wilayah Pandaan. Lampu-lampu kota memantul di kaca, memantulkan dua bayangan yang kini duduk lebih dekat dari sebelumnya. Bhumi mengulurkan tangan, mengambil selimut kecil yang tergulung di rak atas, lalu menaruhnya di pangkuan Bulan.

“Tidur aja, masih satu jam lagi,” katanya lembut.

Bulan menatap selimut itu, lalu Bhumi.

“Kalau aku tidur, kamu gak bosen?”

“Gak,” jawabnya pelan. “Kamu diam aja pun udah cukup nyaman buat aku.”

Senyum kecil muncul di wajah Bulan, tapi ia menunduk cepat, menyembunyikannya di balik rambut.

Ia menarik selimut ke pangkuan, lalu menatap jendela sekali lagi — melihat bayangan mereka berdua berdampingan.

Kereta terus melaju ke arah Surabaya. Di gerbong dua, dua orang yang sama-sama terbiasa sendiri kini duduk dalam diam — tapi diam yang tak lagi sepi. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, masing-masing dari mereka tahu: keheningan itu tidak lagi menakutkan.

**

Jam menunjukkan pukul 20.30 malam ketika Arjuno Express akhirnya berhenti sempurna di peron Stasiun Gubeng. Udara Surabaya terasa hangat lembap, kontras dengan kesejukan Lawang yang baru mereka tinggalkan dua jam setengah lalu. Lampu-lampu stasiun berpendar kuning pucat, memantulkan bayangan panjang di lantai marmer yang licin. Suara roda koper beradu pelan, langkah-langkah orang bersahutan, dan aroma kopi dari kios kecil di sudut lorong memenuhi udara.

Suara pengeras terdengar, “Para penumpang Arjuno Express tujuan Surabaya Gubeng, perjalanan telah berakhir. Harap memeriksa kembali barang bawaan Anda.”

Bhumi menoleh ke arah Bulan yang baru saja menutup laptopnya. “Kita udah sampai.”

Bulan tersenyum kecil, mengangguk. “Cepet juga, ya.”

“Cepet kalau ngobrolnya gak kerasa waktu,” jawab Bhumi datar—tapi senyumnya menahan sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan terlalu jelas.

Liora menguap lebar dari kursi seberang, lalu buru-buru menepuk pipinya. “Duh! Aku ketiduran beneran, ya? Astaga rambutku udah kayak habis diterpa angin topan.”

Bulan hanya tertawa kecil. “Dari tadi juga udah gitu, Li.”

“Terima kasih, ya, atas empatinya,” balas Liora dengan nada geli, menarik koper kecilnya keluar dari bagasi atas.

Bhumi turun lebih dulu, menarik napas dalam sebelum menoleh ke belakang.

“Pelan-pelan,” ucapnya, menerima koper kecil dari tangan Bulan tanpa menunggu ditawari.

Bulan menatapnya sesaat, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih.”

Di belakang mereka, Liora menahan tawa kecil saat melihat rambutnya sendiri yang kusut di pantulan kaca jendela kereta. “Ya ampun… aku kayak singa kena hujan!”

Bulan terkekeh, menahan geli.

Mereka berjalan keluar dari gerbong menuju peron utama — langkah Bhumi panjang dan mantap, aura tenangnya seolah menciptakan ruang di tengah keramaian malam. Bulan berjalan di sisi kanan, Liora sedikit di belakang sambil sibuk menata rambutnya, berharap tampak “masih manusiawi”.

Begitu sampai di pintu keluar utama, ada sosok tinggi mengenakan kaos dan berjas biru tua yang sudah berdiri menunggu di bawah lampu peron. Rambutnya rapi, ekspresinya datar tapi elegan—Marvin Nalendra.

Bhumi langsung menepuk bahunya singkat. “Udah nunggu lama?”

“Gak juga,” jawab Marvin pelan. Tapi matanya segera berpindah ke dua sosok di belakang Bhumi—dan seketika ekspresinya berubah.

“Liora?”

“Pak Marvin?”

Mereka berdua bersuara hampir bersamaan. Liora langsung merapikan rambutnya spontan, wajahnya merah padam.

“Mas Bhumi kok gak bilang kalau yang jemput Pak Marvin?” katanya cepat, sambil menepuk ujung rambutnya biar gak terlalu berantakan.

Bulan yang berdiri di sebelah Bhumi cuma menggeleng kecil, senyum lemah muncul di bibirnya melihat sahabatnya yang tiba-tiba berubah jadi cacing kepanasan.

Sementara Marvin… hanya menatap datar. Pandangannya bergeser dari Liora yang sibuk dengan rambutnya, lalu kembali ke Bhumi.

“Mas?” panggilnya pendek, nada datarnya diselipkan sedikit keheranan.

“Iya, Mas Bhumi,” potong Liora cepat, masih sibuk membetulkan sling bag-nya yang miring. “Aku sama Mas Bhumi kan sekarang udah bestie tauk.”

Marvin menatapnya beberapa detik—lama, datar, dan sulit ditebak. Bahkan Bhumi sendiri menahan tawa di ujung bibirnya.

Kata bestie itu meluncur manis — tapi justru membuat udara di antara mereka hening sepersekian detik. Marvin menatapnya lama, ekspresinya nyaris tak berubah. Datar. Tapi tajam. Entah apa yang dipikirkannya.

Bulan menutup mulut dengan tangan, menahan tawa. Bhumi menunduk sedikit, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Bestie, ya?” katanya setengah menggoda.

“Jangan ikut-ikutan, Mas,” Liora cepat-cepat menatap ke arah lain, pura-pura sibuk merapikan tali koper.

Akhirnya Marvin hanya mengangkat alis pelan, lalu berkata datar, “Bestie?”

“Ya ampun, Pak Marvin gak usah heran begitu dong, kan dunia tuh penuh kejutan,” jawab Liora dengan gaya centil, berusaha menutupi rasa malunya sendiri.

Liora lalu melipat tangan di dada dengan wajah menggoda, menatap Marvin dari ujung kepala sampai kaki.

“Terus… apa Pak Marvin mau juga dipanggil Mas?” tanyanya genit setengah bercanda.

Marvin menatapnya sebentar, tanpa ekspresi, lalu menjawab datar, “Terserah kamu lah.”

Bhumi mengalihkan pandangan, pura-pura batuk menahan tawa. Sementara Liora — yang niatnya cuma menggoda — malah terdiam, pipinya memanas sampai telinga.

Bhumi akhirnya menepuk pundaknya ringan. “Udah, Li. Nanti makin baper kamunya.”

“Ya maaf, Mas Bhumi, aku kan gak siap mental ketemu Mas Marvin dalam keadaan kayak gini,” bisik Liora cepat, tapi cukup keras untuk Bulan dengar.

Bulan cuma menunduk sambil tersenyum kecil, menatap sepatu sendiri. Ada sesuatu di udara malam itu—bukan ketegangan, tapi semacam campuran rasa hangat dan ganjil, yang menggantung tanpa arah.

Beberapa penumpang lewat di belakang mereka, membawa angin malam yang lembut. Gerimis tipis mulai turun, memantulkan cahaya lampu jalan di luar stasiun seperti bening serpihan kaca.

“Masih hujan,” gumam Bulan, menatap keluar.

Bhumi menoleh sekilas ke arahnya. “Iya. Surabaya jarang senyap kayak gini.”

Nada suaranya pelan — tapi entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar komentar tentang cuaca.

Mereka berempat lalu berjalan ke arah pintu keluar utama. Bhumi dan Marvin di depan, Liora dan Bulan sedikit di belakang. Liora masih berusaha memperbaiki tampilannya sambil berbisik ke sahabatnya,

“Bulan, tolong bilangin aku jangan kelihatan kayak habis berantem sama angin, please.”

“Kamu udah telat lima menit buat itu, Li,” jawab Bulan pelan, membuat Liora hampir meringis keras.

Sesampainya di lobby luar, suasana berubah lebih tenang. Gerimis jatuh perlahan, memantulkan lampu neon dari tiang jalan. Orang-orang mulai berkurang, meninggalkan hanya beberapa penumpang dan kendaraan pribadi.

Bhumi berhenti di bawah atap, menoleh pada keduanya.

“Kalian mau langsung ke apartemen?”

“Iya,” jawab Bulan. “Langsung istirahat aja.”

“Baik. Aku pesenin taksi dulu.”

Sambil Bhumi memesan mobil lewat ponselnya, Liora sempat melirik Marvin dari ekor matanya.

Masih tampan, masih datar, masih… bikin jantungnya gak ngerti ritmenya.

‘Kenapa dia bisa secool itu bahkan pas diam aja?’ pikirnya, sambil pura-pura sibuk membuka koper padahal cuma panik.

Bhumi selesai memesan taksi, lalu menatap Bulan dan Liora. “Mobilnya datang dua menit lagi.”

“Terima kasih, Mas Bhumi,” kata Bulan dengan nada lembut tapi tulus. Ia menatapnya sejenak — ada cahaya lampu jalan yang memantul di matanya, membuat tatapan itu lebih dalam dari yang seharusnya.

“Sama-sama. Sampai ketemu lagi di kantor.” Ucap Bhumi lembut.

Mobil berhenti di depan. Liora buru-buru menarik kopernya, tapi sempat menoleh lagi ke arah Marvin.

“Mas Marvin,” katanya, nada centil tapi agak kikuk, “lain kali kasih heads up dong, biar aku bisa tampil kece dikit.”

Marvin hanya mengangkat alis. “Heads up untuk apa?”

“Ya biar gak kelihatan kayak zombie yang baru bangun tidur.”

Marvin menatapnya datar, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit — nyaris tak terlihat. “Kamu udah kelihatan kok,” ujarnya datar.

Liora terdiam. “Maksudnya…?”

“Kece.”

Lalu berbalik, jalan ke arah mobil Bhumi tanpa menoleh lagi.

Bulan menatap sahabatnya yang kini berdiri terpaku dengan wajah merah padam.

“Li?”

“Diam. Gu – Gue … butuh waktu untuk memproses.”

Bhumi menahan tawa kecil saat mereka berpamitan di lobby.

Bulan menunduk sedikit. “Terima kasih udah nganter.”

“Udah tugas aku bikin perjalanan kalian tenang sampai akhir,” jawab Bhumi pelan, suaranya rendah tapi hangat.

Mereka saling menatap — hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa berbeda. Bukan lagi sekadar rekan kerja. Bukan sekadar perjalanan pulang. Tapi sesuatu yang belum mereka pahami, dan belum berani mereka sebut.

“Selamat malam, Mas Bhumi.”

“Selamat malam, Bulan.”

Taksi mereka melaju pelan meninggalkan area stasiun. Bulan menatap ke luar jendela, melihat Bhumi dan Marvin berdiri di bawah lampu jalan — dua siluet yang berbeda tapi sama-sama kuat, sama-sama diam. Gerimis makin deras, menutup pandangan dengan kabut tipis.

Dan di dalam mobil, Liora menatap ke luar sambil bergumam pelan, “Kayaknya, Bul… hujan kali ini bakal lama.”

Bulan tersenyum tipis, matanya tak lepas dari bayangan di kejauhan “Semoga gak berhenti dulu.”

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!