Cinta Tulus Seorang CEO

" Hai coba lihat, ada seorang nadine, si pengkhianat murahan disini"....

Ucapan sumbang dari seseorang itu sukses membuat gaduh di restaurant tempat nadine dan arthur sedang makan malam itu.

Bughhh.. satu bogem dari arthur cukup untuk mematahkan hidung pandu, pria yang baru saja menghina nadine.

Sorot mata tajam penuh amarah jelas memancar dari wajah arthur, sudah lama dia tak memunculkan aura devilnya itu.

"Jaga mulut anda, jangan sampai anda menyesal pernah bertemu saya disini" ancam arthur.

"Kau korban baru jala** ini?, hahahaha, luar biasa" tawa pandu begitu menggema diruangan itu.

"Dengar tuan, bersiaplah, wanita ini tak pernah puas dengan satu laki laki, dia murahan, dia pelac**", teriak pandu semakin menjadi.

Arthur tak bisa lagi menahan diri, perkelahian tak dapat dihindarkan, pandu dan arthur saling serang.

"Stoppp,,, tolong berhenti",teriak nadine terisak.

"Aku tak akan membiarkan orang yang sudah menghina mu lepas begitu saja" arthur berkata tanpa mau melihat nadine, dia tak akan tahan melihat nadine menangis.

"berhentilah aku mohon" suara nadine terdengar serak karena terus berteriak sedari tadi dan brughhhh...nadine yang hendak berdiri dari kursi rodanya terjatuh.

Arthur yang melihat nadine jatuh segera berlari menghampirinya, dia sadar nadine dan mentalnya yang lebih penting diselamatkan terlebih dahulu.

"Kau bersiaplah, akan kubuat kau menyesali penghinaan mu kepada nadine" ancam arthur sembari menggendong tubuh nadine yang gemetaran.

Semua mata memandangi arthur yang berjalan keluar dari restoran sambil menggendong nadine, mark yang terlambat menyadari ada kekacauan baru sampai di depan pintu restaurant itu.

Arthur menatap tajam mark dan berkata "bereskan semua kekacauan, bayar semua kerugian yang dialami restoran ini dan yang terpenting pastikan pria itu mendapatkan bagiannya!".

Mark bergidik ngeri, sudah lama tuannya tak mengeluarkan aura membunuhnya. Bahkan mark pernah mengira jika tuannya telah mati rasa dengan dunia mafia dan akan segera pensiun.

.

.

. Sementara itu, arthur telah membawa nadine masuk kedalam mobil, tubuh wanita itu masih bergetar sesenggukan. Nadine terus menangis meski tak terdengar isakannya, hanya air mata yang tak berhenti meleleh di pipinya.

"Apa yang sakit?, aku akan memeriksa mu segera saat sudah sampai di rumah sakit" ucap arthur lembut.

Nadine menggeleng lemah, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Kejadian yang baru saja dia alami sangat mengguncang batinnya.

Arthur tahu kondisi nadine saat ini bukan karena sakit di tubuhnya, karena saat tadi nadine terjatuh hanya lututnya yang terluka dan tidak terlalu membahayakan.

Yang saat ini perlu dijaga adalah kondisi mental nadine, ucapan laki laki di restoran tadi benar benar menyakitkan, arthur mengepalkan tangannya mengingat kejadian itu. Jari jemarinya memerah karena terlalu kuat menggenggam setir kemudinya.

Arthur terus mengawasi nadine sambil tetap fokus mengemudi. Wajah pucat yang dulu dilihat arthur saat nadine membawa putranya kerumah sakit kini kembali terlihat. Hati arthur terasa pilu melihat wanitanya kembali muram dan bersedih.

.

.

"Istirahat lah" kata kata arthur saat membaringkan nadine di kamarnya.

"Ada lagi yang kau butuhkan?" tanya arthur lembut.

Nadine hanya menggelengkan kepalanya, menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya, tidak ada satu patah katapun yang diucapkannya.

Saat arthur hendak melangkah keluar ruangan,, masih terdengar Isak nadine yang pilu didalam selimutnya. Arthur kembali meremas tangannya, perasaan bersalah itu kembali menghantuinya.