Luna Evelyn, gadis malang yang tidak diinginkan ayah kandungnya sendiri karena sang ayah memiliki anak dari wanita lain selain ibunya, membuat Luna menjadi gadis broken home.
Sejak memutuskan pergi dari rumah keluarga Sucipto, Luna harus mencari uang sendiri demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga suatu malam ia bertemu dengan Arkana Wijaya, seorang pengusaha muda terkaya, pemilik perusahaan Arkanata Dinasty Corp.
Bukannya membaik, Arkana justru membuat Luna semakin terjatuh dalam jurang kegelapan. Tidak hanya menginjak harga dirinya, pria itu bahkan menjerat Luna dalam ikatan rumit yang ia ciptakan, sehingga membuat hidup Luna semakin kelam dan menyedihkan.
"Dua puluh milyar! Jumlah itu adalah hargamu yang terakhir kalinya, Luna."
-Arkana Wijaya-
Bagaimana Luna melewati kehidupan kelamnya? Dan apakah ia akan berhasil membalas dendam kepada keluarga Sucipto atau semakin tenggelam dalam kegelapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melia Andari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Akan Kabur, Arkana!
Setelah melakukan hal tersebut, Arkana tersenyum puas. Ia merapikan diri kembali seperti sedia kala di sebuah ruangan, meninggalkan Luna yang masih terbaring dengan tubuh polosnya.
Arkana brengsek!!
Luna terduduk, mengambil kembali pakaiannya satu persatu yang telah berserakan di lantai. Lalu mengenakannya dengan cepat.
Ia merapikan rambut ala kadarnya lalu segera pergi dari ruangan Arkana. Matanya panas menahan airmata, namun gengsi dan harga dirinya tak mengizinkannya untuk runtuh.
Ia harus tetap berdiri tegar, sekali pun ia harus menahan sakit berkali-kali. Ia ingin sekali bisa pergi dari pria yang terus menerus meremukkan harga dirinya. Pria itu bahkan mencabik-cabik sisa harapan yang ada di dalam dirinya.
Ia berjalan tergesa menuju kamar mandi. Sebanyak apapun keinginan nya untuk pergi, nyatanya, keadaan memaksanya untuk tetap tinggal.
Luna pun mencuci wajah dan beberapa bagian tubuhnya untuk menghilangkan jejak Arkana. Dengan linangan airmata, ia mengusap perlahan bagian leher dan lengannya juga bagian atas dari dadanya.
"Ini tidak adil untukku," lirihnya.
"Aku lelah...huhuhu."
Luna menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia menumpahkan kesedihannya di sana. Entah mengapa, Luna merasa sendirian. Tidak ada bahu untuk bersandar di dunia yang kejam ini.
...----------------...
Arkana baru saja selesai merapikan diri. Ia keluar dari ruang pribadinya dan masuk dalam ruang kerjanya. Matanya sibuk menyapu seluruh ruangan tapi ia hanya menemukan Bayu dan Office boy yang sedang menata kembali meja kerja Luna.
"Dimana Luna?" tanya Arkana.
Bayu tercekat. Ia tak melihat Luna. Ketika ia melihat pintu terbuka, ia langsung masuk saja bersama OB.
"Maaf Tuan saya tidak melihat nona. Bukankah nona sedari tadi bersama anda?"
Arkana pun melotot. Ia mengeratkan rahangnya menahan amarah.
"Dasar bodoh!!" sentak nya.
"Cari Luna!!"
"Baik Tuan," sahut Bayu segera berlari keluar.
Arkana pun memukul meja kerjanya dengan kuat.
Luna Evelyn!
"Apa kau berniat pergi lagi seperti kemarin? Kali ini, aku tidak akan menolong kuliahmu lagi, Luna."
Beberapa menit berikutnya, seseorang pun masuk ke ruang kerja Arkana. Pria yang sedang duduk membelakangi pintu pun terhenyak.
Akhirnya dia datang.
Arkana pun beranjak dari kursi dengan perasaan yang rumit. Ia ingin memaki Luna karena berani menghilang darinya.
Namun saat tubuhnya berbalik, ia justru terperangah. Wanita yang berdiri di hadapannya bukanlah Luna, melainkan Maya.
"Maya?"
"Kak Arkana, aku datang untuk memperlihatkan cincin yang kemarin aku beli dan juga memilih dekorasi untuk acara kita nanti."
Arkana menghela nafas lalu ia pun kembali duduk di kursinya.
"Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu untuk mengatur semua urusan pertunangan?" tanya Arkana tanpa menatap wanita yang akan dinikahinya itu.
Maya pun terhenyak. Melihat sikap dingin Arkana yang membuat hatinya tidak enak. Pria tu membicarakan soal pertunangan seperti sedang memberikan instruksi ringan kepada bawahannya.
Maya pun menelan saliva nya dengan kasar, ia bingung bagaimana menjawab Arkana. Matanya mencoba melihat ke kiri dan ke kanan untuk menenangkan hati terhadap sikap dingin Arkana.
Hingga pandangannya sampai pada sebuah meja di sudut ruangan, tidak jauh dari sofa.
Maya mengernyitkan dahinya. Seingatnya, terakhir kali kesini ia tak pernah melihat meja itu.
"Baiklah kak, aku hanya ingin menunjukkannya padamu. Apa kau tidak ingin memilihnya sendiri?" tanya Maya.
Arkana menoleh sejenak, lalu mematikan puntung rokoknya.
"Aku percaya pada pilihanmu. Jadi, lanjutkan saja apa yang kau pilih. Jika butuh uang lagi, aku akan mengirimkannya kepadamu."
Maya pun hanya tersenyum tipis. Sebenarnya ia ingin berbincang banyak tentang pertunangannya. Tetapi Arkana seperti seorang atasan yang sedang berbicara pada bawahannya, ia pun tak ingin melanjutkan dan hanya menuruti Arkana.
"Baiklah kak, aku akan mengurusnya."
"Hmm kak Arkana, meja ini untuk apa? Sepertinya aku baru melihatnya," tanya Maya.
Arkana terhenyak. Ia menoleh ke arah meja dan kembali mengingat Luna yang sedang pergi entah kemana.
"Itu meja sekretaris yang bekerja sementara untukku."
Mendengar itu, Maya pun tertegun.
"Satu ruangan dengan kakak?" tanya Maya lagi.
"Ya, kenapa? Apa kau keberatan?"
Maya hanya tersenyum kikuk.
"Tenang saja Maya. Dia hanya anak magang yang tidak penting untuk kamu pikirkan terlalu jauh," ucap Arkana tanpa menoleh.
"Oh anak magang?"
"Ya. Dia tidak ada artinya. Aku menempatkannya di dalam agar aku bisa mengawasi pekerjaannya dengan mudah," jawab Arkana datar.
"Baiklah kak, aku mengerti," ucap Maya seraya berjalan mendekati Arkana.
Lalu wanita itu pun memeluk sejenak tubuh Arkana yang masih terduduk di kursi.
"Terima kasih ya kak, sudah menjaga perasaanku," ucapnya.
Arkana tercekat. Ia hanya mengangguk tipis dan membiarkan Maya memeluknya sejenak.
"Kalau begitu aku pulang dulu," ucapnya lagi, lalu keluar dari ruang kerja Arkana.
Arkana hanya menatap kepergian Maya dengan tatapan yang datar. Pikirannya masih bertanya-tanya tentang keberadaan Luna. Namun tiba-tiba...
Pintu terbuka, Luna masuk dengan rambut yang sedikit basah karena terkena air saat mencuci wajahnya.
Matanya sedikit memerah tapi tidak begitu terlihat jelas. Luna menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menangis di dalam toilet dan menata hatinya kembali untuk menghadapi Arkana.
"Darimana ka—"
"Aku dari toilet. Aku tidak akan kabur, Arkana!" ucap Luna dengan tegas menghentikan kalimat Arkana yang belum selesai.
Arkana terdiam. Ia memperhatikan Luna yang berdiri tak jauh dari kursinya.
"Dimana aku harus duduk? Mejaku belum selesai ditata."
"Kau bisa duduk di sofa itu untuk sementara sampai mejamu selesai ditata, lalu susun agenda ku untuk satu minggu ke depan," sahut Arkana sambil menunjuk sofa tempat mereka melakukan hubungan tadi.
Luna menoleh lalu tatapannya berubah menjadi masam.
"Sofa menjijikan!" umpatnya ketus namun tetap berjalan ke arah tersebut.
Arkana hanya diam mendengar umpatan Luna. Tatapan matanya masih mengikuti kemana gadis itu bergerak hingga duduk di tempatnya.
"Mulailah bekerja, dan untuk pelayananmu tadi, aku sudah mentransfer uangnya," ucap Arkana dingin lalu kembali dengan pekerjaannya.
tekan kan juga sama arka kalau dia tidak boleh menikahkan maya selama kamu di sisi nya atau sampai kamu lulus kuliah...
dan buat Arkana mengejarmu sampe tergila2.