Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — “Pelukan yang Seharusnya Tidak Terjadi”
Keheningan di kamar tamu itu terasa begitu pekat, seolah-olah oksigen di dalamnya telah habis terbakar oleh ketegangan yang membara di antara mereka. Winter masih bisa merasakan panas tubuh Darren yang merambat melalui sutra piyamanya saat pria itu memeluknya dari belakang. Lengan Darren yang kokoh melingkari pinggangnya bukan dengan kekerasan, melainkan dengan semacam keputusasaan yang sunyi—sebuah pengakuan tanpa kata bahwa pria itu juga hancur di dalam.
Jantung Winter berdegup kencang, menghantam rusuknya dengan ritme yang kacau. Untuk beberapa detik yang terasa abadi, ia kehilangan kemampuan untuk berpikir logis. Aroma maskulin Darren—campuran antara wiski mahal, sabun mint, dan aroma khas kulit pria itu—membanjiri indranya, memicu memori-memori di Tokyo yang telah ia kubur dalam-dalam di bawah lapisan dendam.
"Lepaskan," bisik Winter. Suaranya bergetar, mengkhianati topeng dingin yang ia kenakan.
Darren tidak segera bergerak. Ia justru membenamkan wajahnya di ceruk leher Winter, embusan napasnya yang hangat membuat bulu kuduk Winter meremang. "Hanya sebentar, Winter. Biarkan aku mengingat bagaimana rasanya memilikimu sebelum kau mengusirku lagi ke kegelapan."
Suara parau itu mengandung luka yang begitu nyata sehingga Winter merasa dunianya goyah. Ego Winter berteriak untuk berontak, untuk menampar pria ini dan mengingatkannya pada kontrak yang mereka tandatangani. Namun, tubuhnya berkata lain. Ia merasa kakinya lemas, seolah-olah seluruh beban sebagai CEO Alzona Group yang tak terkalahkan menguap begitu saja dalam pelukan ini.
Namun, bayangan dokumen investigasi tentang ayahnya dan pengkhianatan yang dituduhkan Lysandra mendadak muncul di benaknya. Apakah ini hanya akting? Apakah pelukan ini adalah bagian dari manipulasinya untuk melemahkanku?
Dengan sentakan keras, Winter berhasil melepaskan diri. Ia berbalik dengan napas memburu, matanya menyala karena perpaduan antara amarah dan rasa malu.
"Berani-beraninya kau," desis Winter, jemarinya merapikan piyamanya yang sedikit kusut. "Klausul sepuluh, Darren. Tidak ada kontak fisik yang tidak diinginkan. Kau melanggarnya!"
Darren berdiri di sana, di bawah cahaya temaram lampu kota yang masuk melalui jendela. Ia tidak terlihat takut atau menyesal. Sebaliknya, ia menatap Winter dengan pandangan yang tajam dan analitis. "Kontak fisik yang tidak diinginkan? Kau tidak melawan selama sepuluh detik pertama, Winter. Jantungmu berdetak sama kencangnya dengan jantungku. Kau tidak membenci pelukan itu. Kau membenci kenyataan bahwa kau masih menginginkannya."
"Cukup!" seru Winter. Ia merasa telanjang di depan pria ini, seolah Darren bisa melihat langsung ke dalam jiwanya yang berantakan. "Jangan pernah menganalisis perasaanku. Kau tidak punya hak. Kau di sini karena hutang, karena kontrak, dan karena aku ingin melihatmu hancur di bawah kakiku. Pelukan tadi... itu adalah kesalahan teknis yang tidak akan terulang."
Darren berjalan mendekat, langkahnya perlahan namun pasti, seperti predator yang tahu mangsanya tidak punya tempat untuk lari. "Kau terus bicara tentang kehancuranku, tapi lihat dirimu sendiri. Kau gemetar, Winter. Balas dendam ini... kau sedang tersesat di dalamnya, bukan? Kau tidak lagi tahu siapa yang ingin kau hukum: aku, ayahmu, atau dirimu sendiri karena masih mencintaiku."
"Aku tidak mencintaimu!" bantah Winter, namun suaranya pecah di akhir kalimat.
"Kebohongan yang kau katakan pada dirimu sendiri akan menjadi penjara yang paling menyiksa," balas Darren pelan. Ia tidak lagi mengejar. Ia kembali ke kursinya, mengambil gelas wiskinya yang setengah kosong. "Pergilah ke kamarmu. Tidurlah. Kita punya rapat dewan besok pagi. Kau butuh wajah CEO-mu yang paling dingin, bukan wajah wanita yang baru saja goyah karena pelukan suaminya."
Winter mendengus, mencoba mendapatkan kembali martabatnya yang runtuh. Tanpa kata lagi, ia berbalik dan keluar dari kamar tamu, menutup pintu dengan dentuman yang cukup keras untuk mengekspresikan kekesalannya.
Begitu sampai di kamar utamanya, Winter segera mengunci pintu. Ia menyandarkan punggungnya di pintu kayu yang kokoh itu, perlahan merosot hingga terduduk di lantai. Kamarnya yang luas dan mewah itu mendadak terasa terlalu besar untuknya sendiri.
Ia menyentuh pinggangnya, tempat tangan Darren melingkar tadi. Panasnya masih terasa di sana. Ia membenci dirinya sendiri karena tidak langsung melepaskan diri. Ia membenci kenyataan bahwa untuk sesaat, ia merasa aman dalam pelukan pria yang seharusnya ia benci seumur hidup.
Malam itu, tidur menjadi kemewahan yang mustahil bagi keduanya.
Winter berbaring di tempat tidur king-size-nya, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu kristal. Pikirannya melayang pada kata-kata Darren. Kau membenci kenyataan bahwa kau masih menginginkannya. Apakah benar? Apakah selama sembilan tahun ini ia tidak hanya memelihara dendam, tetapi juga memelihara kerinduan yang sakit?
Ia teringat betapa sepinya hidupnya tanpa Darren. Meskipun ia sukses, meskipun ia kaya, ada lubang hitam di tengah dadanya yang tidak bisa diisi oleh kesepakatan bisnis mana pun. Dan sekarang, pria itu ada di sini, di bawah atap yang sama, hanya terpisah oleh beberapa meter koridor.
Di ujung koridor, Darren juga tidak memejamkan mata. Ia berdiri di teras kecil kamar tamunya, menghisap rokok terakhirnya malam itu. Asapnya membumbung tinggi, hilang ditelan angin malam Jakarta. Ia tahu ia telah menyentuh saraf sensitif Winter. Ia melihat retakan pada perisai wanita itu.
Namun, Darren juga tahu bahwa semakin dekat ia dengan Winter secara emosional, semakin besar risiko yang ia ambil. Ia tahu Lysandra dan Ethan Wray sedang mengawasinya seperti burung nasar. Ia harus tetap berperan sebagai suami yang dominan namun mendukung di depan umum, meskipun di dalam rumah mereka saling mencabik.
Hanya sedikit lagi, Winter, batin Darren. Hanya sampai kau menyadari bahwa aku tidak pernah mengkhianatimu. Hanya sampai aku bisa menjatuhkan mereka semua yang telah memanfaatkan kita.
Pukul empat pagi, Winter menyerah pada usahanya untuk tidur. Ia bangkit, mandi dengan air dingin yang menggigit, berharap rasa dingin itu bisa membekukan kembali hatinya yang mulai mencair. Ia memilih setelan kerja paling formal yang ia miliki: blazer hitam dengan potongan tajam dan riasan wajah yang tegas, menutupi mata lelahnya dengan concealer yang sempurna.
Saat ia keluar ke ruang makan untuk sarapan, Darren sudah di sana. Pria itu tampak segar, seolah-olah percakapan emosional semalam tidak pernah terjadi. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap yang membuatnya terlihat sangat berwibawa dan dominan.
Mereka makan dalam keheningan yang menyesakkan. Bunyi denting sendok dan garpu di atas piring porselen adalah satu-satunya suara yang terdengar.
"Aku akan membawamu ke rapat dewan hari ini," ujar Winter tanpa menoleh, sambil menyesap kopi hitamnya yang pahit.
Darren meletakkan korannya. "Sebagai apa? Tahananmu?"
Winter menatapnya tajam. "Sebagai suami resmi CEO Alzona Group. Kita perlu mengukuhkan posisi kita di depan para direktur sebelum mereka mulai mendengarkan desas-desus liar dari Ethan Wray. Kau akan duduk di sebelahku. Jangan bicara kecuali aku memintamu, dan pastikan kau terlihat... meyakinkan."
"Meyakinkan?" Darren tersenyum miring, sebuah senyum yang membuat perut Winter melilit lagi. "Kau ingin aku terlihat seperti pria yang sangat mencintaimu sehingga aku bersedia memberikan seluruh kerajaanku padamu? Tenang saja, Winter. Untuk hal itu, aku tidak perlu berakting."
Winter mengepalkan tangannya di bawah meja. "Simpan gombalanmu untuk media. Di depan dewan, aku ingin mereka melihat bahwa Alzona Group telah menaklukkan Reigar Technologies sepenuhnya. Kau adalah simbol kemenanganku, Darren. Jangan lupakan itu."
"Aku tidak akan lupa," sahut Darren, bangkit dari kursi dan merapikan dasinya. Ia berjalan mendekat ke arah Winter, membungkuk sedikit hingga wajah mereka sejajar. "Tapi ingat ini: di depan dewan, aku mungkin simbol kemenanganmu. Tapi di belakang pintu tertutup, kau tahu siapa yang memegang kendali atas jantungmu yang kacau itu."
Darren meninggalkan ruang makan dengan langkah tegap, meninggalkan Winter yang kembali merasakan jantungnya berdegup tak beraturan. Balas dendam ini seharusnya sederhana, namun sekarang, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti ia sedang berjalan di atas tali tipis di atas jurang perasaan yang siap menelannya kapan saja.