Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Jam dinding di koridor eksekutif JMG menunjukkan pukul 18.35. Suasana sudah sepi, hanya disisaki oleh bunyi lembut AC sentral dan lampu-lampu downlight yang menerangi lorong panjang. Fano, asisten junior yang sering diperintah untuk urusan pribadi Renzi, baru saja keluar dari ruangan Renzi, membawa tas kulit mewah sang Vice President yang tertinggal. Napasnya masih terengah ringan, bergegas untuk mengantarkan tas tersebut.
Tiba-tiba, sebuah siluet muncul dari balik bayangan pilar dekat lift. Langkah Fano terhenti.
"Eh, Mbak Karmel. Kenapa, Mbak?" ujar Fano terbata, kaget melihat Karmel yang biasanya sudah pulang pada jam segini.
Wajah Karmel bagai diukir dari es. Tanpa sepatah kata pun, tangannya yang kuat mendorong Fano kembali ke dalam ruangan Renzi yang sudah kosong. Fano terhuyung-huyung, keseimbangannya hampir hilang.
"Eh! Kenapa, Mbak?!" protesnya panik, suaranya bergetar.
"Mana bos lo?" tanya Karmel, suaranya datar dan menusuk seperti belati es.
"Udah balik, Mbak. Nih, saya mau anter tas dia yang ketinggalan," jawab Fano gugup, mencoba menjelaskan.
"MANA BOSS LO?!" bentak Karmel, suaranya memecah kesunyian ruangan mewah itu, membuat Fano terdiam membeku.
Fano memandang Karmel. Dia tahu. Semua staf di lantai ini tahu. Meski hanya berjabatan sekretaris, Karmel memiliki pengaruh dan 'power' yang tak terucapkan. Bahkan Hartono, sang Presiden Direktur, sangat menghargai kecerdasan dan integritasnya. Melawan Karmel bukanlah pilihan bijak.
Dengan gerakan cepat dan penuh keyakinan, Karmel mengeluarkan ponselnya. Dia memperlihatkan sebuah akun Instagram yang menampilkan foto pasangan bahagia—Fano dan seorang wanita dengan senyum polos. "Ini tunangan lo, kan?" tatapnya tajam.
Fano membeku, darahnya seolah berhenti mengalir. Matanya membelalak.
"Mau gue aduin kelakuan lo yang udah tidur sama banyak cewek di sini ke dia?" ancam Karmel, suaranya berbisik tapi mematikan. "Itung-itung gue nyelamatin dia dari cowok bejad kayak lo!" Tatapan mata coklatnya yang biasanya hangat, kini membara dengan kemarahan dan ketajaman analitis. Dia telah melakukan pekerjaan rumahnya dengan baik. Menelusuri latar belakang Fano adalah hal sepele bagi kecerdasannya. Dia tahu Fano akan berbohong demi melindungi kebobrokan Renzi, jadi dia datang dengan senjata yang tak terbantahkan.
"Jangan, Mbak!" sentak Fano, panik. Segala kesombongannya sebagai 'tangan kanan' Renzi pun luruh. Wajahnya pucat pasi.
Karmel tak menjawab. Dia hanya menatapnya dalam-dalam, memastikan ancamannya meresap sampai ke tulang sumsum Fano. Kemudian, dengan langkah tenang, dia meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Fano yang gemetar dengan rahasia dan ketakutan.
---I
Suara piano live mengalun lembut, memadu dengan gemericik air mancur dan desir angin malam dari jendela kaca setinggi langit-langit. Di sudut paling privat restoran berbintang lima itu, Renzi duduk dengan latar belakang gemerlap lampu kota Jakarta. Di hadapannya, Mira, seorang wanita dengan gaun merah yang berani dan memamerkan setiap lekuk tubuhnya yang sensual, tersipu malu.
"Kamu tahu, Mira," ucap Renzi, suaranya sengaja dibuat rendah dan mendayu, "dari semua wanita yang aku kenal, hanya kamu yang bisa bikin aku merasa... Bahagia." Matanya, yang dingin dan penuh perhitungan, berhasil menyembunyikan kebohongannya di balik senyum memikat. Tangannya yang terpelihara dengan baik meraih tangan Mira, mengusap-usapnya dengan lembut.
Mira, yang sudah terbuai oleh kemewahan dan pesona pria di hadapannya, hanya bisa mengangguk, matanya berbinar. "Serius, Mas? Aku aja merasa nggak cukup buat Mas Renzi yang sempurna begini."
"Jangan bilang begitu," bisik Renzi, mendekatkan wajahnya. "kamu sempurna buat aku."
Dengan gerakan dramatis, Renzi mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam kecil dari saku jasnya. Saat dibuka, sebuah cincin dengan batu mulia yang memantulkan cahaya lilin berkilauan di dalamnya.
"Mas, ini bagus banget!" seru Mira, napasnya tertahan.
"Mau aku pakaikan?" ujar Renzi, suaranya lembut seperti sutra, namun ada kilat kemenangan di matanya. Ini adalah ritualnya, cara cepat untuk memastikan Mira akan tetap berada di tempat tidurnya malam ini.
"Iya..." jawab Mira, hampir berbisis, matanya berkaca-kaca.
Tepat saat Renzi akan mengambil cincin itu, sebuah suara, dingin dan jernih, memotong suasana intim mereka.
"Selamat malam, Pak Renzi."
Renzi membeku. Kepalanya menoleh begitu cepat. Matanya, yang sebentar lalu penuh dengan kepura-puraan, kini membelalak dalam keterkejutan yang nyata. Di sana, berdiri dengan sikap tenang dan elegan, adalah Karmel. Dia mengenakan blazer putih sederhana dengan celana panjang hitam, terlihat lebih seperti seorang eksekutif muda daripada sekretaris. Cahaya restoran menyinari wajahnya yang cantik dan tegas.
"Karmel..." Renzi terbata, namanya keluar seperti desahan.
Karmel tersenyum, sebuah senyum yang sampai ke mata tapi tidak menghangatkan suasana. "Maaf, Pak Renzi, mengganggu makan malamnya. Saya hanya mau menyerahkan surat pengunduran diri saya." Dia mengulurkan sebuah map coklat. "Sebelumnya saya sudah mengajukan resign di HRD sebulan lalu. Jadi, hari ini adalah hari terakhir saya bekerja dengan Anda."
Kalimat itu menggantung di udara. Sebulan lalu. Itu adalah saat sikapnya mulai berubah. Renzi yang jenius itu langsung menyambungkan titik-titik itu. Kegeniusannya dalam membaca situasi berbalik menghantamnya sendiri. Dia telah tertipu oleh sekretarisnya sendiri.
"Ini siapa, Mas?" tanya Mira, suaranya cemburu dan bingung.
Renzi mengabaikannya. Dia berdiri, wajahnya yang biasanya misterius dan terkendali kini menunjukkan retakan. "Jangan bercanda, Mel!" serunya, suaranya sedikit lebih keras dari yang dia rencanakan, menarik perhatian tamu di meja sebelah.
"Nggak... Saya serius, Pak," balas Karmel tetap tenang, map itu masih terulur. "Terima kasih atas kesempatan yang Bapak berikan pada saya karena telah bersedia memberikan kesempatan untuk bergabung di perusahaan Bapak." Kalimatnya formal, sopan, namun setiap katanya terasa seperti sabetan cambuk. "Sampai bertemu lagi, Pak Renzi."
Dia menaruh map di atas meja, di sebelah kotak cincin yang kini terasa murahan. Kemudian, dengan anggun, dia berbalik dan melangkah pergi. Tapi setelah beberapa langkah, dia berhenti. Perlahan, dia menoleh sekali lagi. Senyum dinginnya kembali menghiasi bibirnya. Tatapannya menusuk langsung ke mata Renzi yang masih terduduk shock.
"Maksud saya," ucapnya dengan jelas, penuh penekanan, "Jangan sampai kita berjumpa lagi. Jangan!"
Kemudian, dia benar-benar pergi. Langkahnya tegas, meninggalkan Renzi yang terpaku, dikelilingi oleh kemewahan yang tiba-tiba terasa hampa. Mira yang cemburu, cincin yang tak berarti, dan map coklat yang berisi pengunduran diri Karmel adalah bukti kekalahannya yang paling telak. Di balik rasa puas yang membara, Karmel merasakan sebuah luka lama yang masih perih di hatinya, tapi dia tidak menoleh lagi.