Aku, Kamu Dan Akta Nikah

BAb 18

Rosa, tukar jodoh, balas dendam. Tiga kata itu terus mengiang di pikiran Nara. Kantuknya seakan hilang, ia pun duduk bersandar pada headboard menatap Sakti yang terlelap memeluk guling. Kalau benar Sakti hanya memanfaatkan pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam, tidak mungkin ia akan diam saja.

Tidak ingin juga menelan mentah-mentah apa yang disampaikan Samir. Akan mencari tahu kebenarannya. Sakti akhirnya terjaga, mengucek matanya dan mendapati Nara tidak berbaring di sampingnya.

“Sayang, kok melamun. Kamu nggak tidur?”

“Terbangun, aku mimpi buruk,” sahut Nara lalu menyingkap selimut dan kembali berbaring.

“Mimpi apa?”

“Kamu balik sama mantan,” jawab Nara lalu menoleh, menatap wajah Sakti. Ingin tahu apa reaksinya.

“Mantan?” Sakti melempar guling yang membatasi mereka, entah mendarat di mana guling itu. Tanpa ragu langsung memeluk Nara.

“Ish, apaan sih.”

“Peluk Ra, ingat kata opa kita harus mepet biar makan lengket dan mesra.”

“Itu bukan kata opa, tapi isi kepala kamu yang mesum.” Nara mendorong pelan dahi Sakti. “Jadi, siapa mantan kamu?”

“Mantan aku sudah ke laut, kalau bisa aku hapus dari ingatan pasti aku hapus. Untuk apa mikirin yang sudah lewat.”

“Halah, mulutmu.”

“Serius,” ujar Sakti meyakinkan istrinya.

Penasaran dengan respon Sakti, tidak terlihat terkejut apalagi bersalah. Malah terlihat serius dengan ucapannya kalau mantan yang dimaksud adalah masa lalu yang enggan dibahas.

Nara berbaring miring menatap suaminya. “Ada berapa mantan kamu?”

“Satu, sayang, itu juga nggak bisa disebut mantan. Apa ya, yang tepat untuknya? Ah, b4jingan wanita mungkin.”

“Mulut kamu itu, sembarangan saja. Dulu pasti cinta mati dengan mantan kamu, sekarang disebut bajing4n.”

“Kamu juga akan menyebut yang sama kalau tahu seperti apa tingkahnya. Sudahlah, jangan bicarakan dia.”

“Lalu bicarakan apa?”

“Kita.” Sakti menaik turunkan alisnya. “Gimana kalau prosesnya kita percepat, bukan express lagi, tapi whoosh.” Sakti mengangkat selimut dan menutupi tubuh mereka sampai kepala.

“Sakti, jangan macam-macam. Sakti, diam, aduh, kera sakti!!”

***

“Ra,” panggil Sakti sambil mengetuk pintu toilet. "Ini pakaian gantinya."

PIntu toilet terbuka sedikit, tangan Nara terulur untuk menerima pakaian ganti yang dibawa Indro. Nyatanya Sakti malah mendorong pintu toilet.

"Sakti, apaan sih." Nara berhasil menahan pintu dan merebut paksa tas berisi perlengkapannya.

"Ra, aku bantu ya."

"Ogah."

Berhasil menjahili istrinya menjadi kesenangan sendiri. Paling tidak hubungannya dengan NAra sudah lebih baik, tidak kaku dan sikap Nara tidak lagi sejudes saat awal bertemu.

Subuh tadi, mereka malah ngobrol dan bercanda meski belum berhasil merayu Nara dan mendapatkan lebih dari sekedar pelukan. Sakti heran dari mana Nara tahu kalau mantan kekasihnya adalah mantan istri Samir.

“Hah, jadi kesiangan deh. Gara-gara kamu.” Nara mengeluh saat keluar dari toilet.

“Kamu yang ngajak ngobrol terus, udah terang malah tidur.”

Sakti mengeluarkan pakaian casual dari lemari dan memakainya, Nara masih sibuk memoles wajahnya. agak kesulitan karena tidak ada meja rias di kamar Sakti.

“Beli meja rias dong, aku jadi susah make up nih.”

“Nggak usah, ‘kan jarang juga menginap di sini,” sahut Sakti. “Ra, malam ini aku pulang telat ya. Mau kroscek persiapan akhir untuk racing.”

Nara meneg4ng lalu menatap tajam suaminya. “Kalau racing begitu, banyak umbrella girl yang dekati kamu ya.”

“Ya nggak lah. Makanya ikut yuk, biar kamu lihat kerennya aku.”

Nara malas menanggapi suaminya yang narsis, ia mencibir lalu merapikan perangkat make upnya. Hanya memoles tipis saja, bahkan rambut hanya yang gulung asal. Membereskan juga pakaian kotor ke dalam tas yang dibawakan oleh Indro.

“Berangkat sekarang?”

“Hm.”

“Ayo,” ajak Sakti mengambil alih bawaan istrinya.

Sampai di bawah, sudah tidak terlihat Naryo dan Sinta. Nara pun menolak tawaran sarapan dari asisten rumah tangga karena sudah siang. Hanya ada Samir, yang menatap tidak suka pasangan itu.

“Ayah tadi tunggu kalian, tapi sudah berangkat.”

“Iya, nanti aku telpon,” seru Sakti.

“Nara,” panggil Samir karena Nara mengabaikannya, Nara pun menoleh. “Aku dengar kamu manager artis sinetron tukar jodoh.”

Nara mengernyitkan dahinya, lalu berdecak. Rupanya Samir kembali membahas masalah dendam Sakti.

“Aku bukan manajer artis dan tidak ada sinetron judul tukar jodoh. Halu kamu,” ejek Nara meninggalkan Samir diikuti oleh Sakti.

“Pagi kak Nara, Mas Sakti.” Weni sudah menunggu di beranda. Indro mengambil alih tas perlengkapan dari tangan Sakti.

“Wen, istriku belum sarapan ya.”

“Oh, siap mas. Nanti aku pesankan sarapan yang biasa, sampai kantor langsung tersedia.”

Nara menghampiri Sakti dan menunjuk perut pria itu dengan ibu jarinya.

“Awas ya kamu macam-macam dengan perempuan lain,” ancam Nara lirih.

Sakti terkekeh, ancaman itu terdengar seperti nada cemburu. Bisa saja Nara mulai ada ketertarikan dengannya, siapa juga tidak saling tertarik. “Nggak ada sayang, sebelum sama kamu aku jomblo. Apalagi sekarang sudah menikah. Istriku sudah luar biasa begini, ngapain ngarep yang lain.”

“Halah gombal.”

“Tanyakan pada Marko, dia orang kepercayaanku. Temui di showroom, Auto Mobil.”

Nara menggeleng. Sakti mengulurkan tangan ke arahnya, awalnya heran lalu paham. Meski sambil berdecak, ia meraih tangan suaminya lalu mencium dengan takzim. Sakti bahkan membuka pintu mobil untuk Nara dan melambai pelan saat mobil perlahan bergerak.

Interaksi tersebut disaksikan Samir dari ruang tamu melalui kaca jendela yang hanya terbatas dengan vitrase.

“Kita lihat saja, sampai kapan kemesraan kalian bertahan,” ujar Samir sinis lalu mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Panggilan pertama tidak ada jawaban, akhirnya terjawab di panggilan berikutnya.

“Apa lagi?” suara wanita di ujung sana, tanpa salam dan basa-basi.

“Bisa kita bertemu, ada hal penting yang harus kamu tahu.”

“Nggak bisa dan jangan hubungi aku lagi.”

“Rosa, tunggu dulu. Ini tentang Sakti. Pria yang sudah kamu anggap miskin itu usahanya sudah maju, sepertinya tidak semiskin dulu.”

Terdengar hela nafas di ujung sana. “Kalian berdua sama miskinnya, aku sudah tertipu.”

“Makanya kita bertemu, kamu pasti tidak menyangka dengan kondisi Sakti sekarang. Apalagi dia masih mencintai kamu. Kalau tidak percaya, datangi saja tempat yang aku share,” ujar Samir lalu mengakhiri panggilan dan mengirim lokasi pada kontak Rosa.