Aku, Kamu Dan Akta Nikah
Bab 1
“Hah.”
Nara menghela nafas lalu menyandarkan kepala yang mulai terasa berat. Sepertinya dia salah mengambil minuman. Padahal sudah hati-hati dan memastikan tidak mengambil alkohol karena tubuhnya intoleran terhadap minuman tersebut. Saat ini ia sedang menghadiri undangan dari kolega, mewakili tempatnya bekerja. Bukan sendiri, ada dua orang rekan lainnya.
“Minuman apa tadi, perasaan nggak pahit tapi bikin kepala spaneng.” Nara menatap gelas yang sudah kosong, warna cairan bening dan agak kuning. Rasanya pun manis dan sedikit asam, agak hangat saat melewati tenggorokan. “Aku butuh air mineral,” gumam Nara lalu beranjak. Jalannya mulai terhuyung. Pandangannya mulai tidak fokus, alarm tubuhnya seakan berbunyi kalau dia memasuki tahapan mabuk.
Shittt. Bibirnya mengumpat pelan, meratapi kebod0hannya.
“Ra, ke bawah yuk, gue nggak tahan pengen goyang,” ajak rekan Nara menunjuk area dansa.
“Nggak, kepala gue udah ….” Nara memutar telunjuknya.
“Hah, biasa minum bajigur sih. Nggak asyik loh.”
Nara beranjak dari sana, dengan langkah terhuyung. Hanya bisa menggeleng saat rekannya menanyakan kemana ia akan pergi. Suara dentuman musik begitu menganggu. Seakan speaker berada tepat di telinganya.
Belum sampai pintu keluar, ponselnya bergetar.
“Iya,” ujar Nara agak berteriak tanpa memperhatikan siapa yang menghubungi.
“Di mana kamu?” tanya seseorang di ujung sana.
“Yang jelas bukan di neraka apalagi surga, aku masih hidup,” sahut Nara lalu terkekeh.
“KAmu mabuk? Dasar gadis nakal.”
Nara menarik nafasnya. Ternyata Opa Jimmy yang menghubungi. Panggilan spesial untuk dirinya, Opa selalu menyebutnya dengan kata gadis. Gadis malas, gadis nakal, gadis bodoh atau gadis lucu.
“Cepat pulang, ingat sebentar lagi kamu menikah. Jaga sikapmu dan belajarlah menjadi istri yang baik.”
Nara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tidak mau, aku tidak mau menikah karena perjodohan,” seru Nara.
“Kalau begitu bawa calonmu ke sini, temui Opa dan aku akan nikahkan kalian. Ingat dengan umur kamu, juga aturan keluarga ini. Tidak ada warisan kalau kamu belum menikah dan punya keturunan.”
“Aku tidak butuh warisan, aku hanya ingin Opa hidup selamanya sampai aku menikah dan punya banyak anak,” rengek Nara tidak menyadari di mana ia berada.
Dalam hati Nara merutuk kenapa juga dia dilahirkan di tengah keluarga itu. Dengan segala aturan yang kolot dan kuno. Padahal usianya baru dua puluh delapan dan masih sendiri, mendadak keluarganya berperan seperti Tuhan yang mengatur jodoh untuknya.
Masih terdengar suara Opa di ujung sana dengan segala macam nasehat.
“Halo, opa, suaranya tidak jelas. Opa,” tutur Nara lalu tergelak dan mengakhiri komunikasi.
Tubuhnya semakin tidak nyaman, pengaruh minuman tadi semakin menyiksa. Kepalanya semakin berat dan ingin sekali memejamkan mata, belum lagi perutnya terasa seperti diaduk.
Bergegas meninggalkan tempat itu, bahkan sempat menabrak seseorang saat menuju pintu keluar. Acara diadakan di ballroom sebuah hotel. Dengan langkah terhuyung mengeluarkan ponsel menghubungi asistennya, tapi tidak aktif. Supirnya pun sama dan entah di mana mobilnya di parkir.
Pandangannya perlahan redup, ia hampir hilang kesadaran dan …
“Woi, jalan yang bener.”
Tidak sanggup membalas ucapan itu, Nara hanya menunjukan jari tengahnya lalu tidak sadar. Sayup-sayup dia mendengar suara lagi.
“Heh, lo tidur apa pingsan. Ngerepotin aja.”
***
“Iya,” gumam Nara lalu mengeratkan selimut. Rasa dingin semakin menusuk ke kulit. Rasanya masih nyaman bergelut dengan di ranjang, mengabaikan dering ponsel yang sejak tadi berbunyi. Beruntung deringan itu pun tidak terdengar lagi.
Tidak lama kembali berdering. Mulut Nara sempat bergumam tidak jelas bahkan menarik bantal untuk menutupi telinganya.
“Astaga, berisik!”
“Iya, berisik banget sih,” sahut Nara. Tidak lama ia membuka mata dan sepenuhnya terjaga. “Itu suara siapa,” ujarnya lirih
Teringat ucapan si mbok, kalau rumah opa agak horror. Bahkan ada kamar dimana sering terjadi gangguan.
“KAmu setan ya?” tanya Nara belum berani berbalik dari posisi tidurnya.
Tidak ada sahutan hanya terdengar dengkuran halus. Nara menelan saliva, ia menatap ke depan dan merasa itu bukan kamarnya. Berusaha mengingat di mana dia sekarang berada dan apa yang terjadi sebelum ini.
“Astaga, gue mabuk,” pekik Nara beranjak duduk sambil menepuk dahinya. “Lalu siapa ….” Nara menoleh dan terbelalak mendapati seorang pria berbaring di sampingnya. Dengan posisi membelakangi dengan punggung terbuka tanpa pakaian.
Kepalanya masih berat karena mabuk, dia menduga sudah terjadi sesuatu dengan mereka. Tidak sadar dan terbangun dalam ranjang yang sama bahkan dalam keadaan tidak memakai pakaian. Nara lebih terkejut lagi karena ia hanya menggunakan pakaian dalam, menarik lagi selimutnya untuk menutupi tubuh.
“Woi, lo siapa?” Sambil berteriak kaki Nara menendang pria yang masih terbuai mimpi.
Tendangan Nara cukup bertenaga, membuat pria itu terjatuh dan mengaduh kesakitan.
“Lo siapa, kenapa ada di kamar gue?’” cecar Nara berteriak sambil mengeratkan selimut menutup tubuhnya, menggeser posisi duduk dan terpojok bersandar pada headboard.
Pria itu mengusap pantatnya lalu berdiri. Hanya mengenakan boxer, berdecak menatap Nara. Pandangan Nara tertuju pada tonj0lan di tengah boxer, entah bagaimana bentuk di balik kain itu. Dari luar saja terlihat kekar.
“Kamar lo? Lihat baik-baik ini kamar lo atau bukan?”
Pertanyaan itu menyadarkan lamunan Nara yang segera menggeleng pelan mengenyahkan pikiran me-sum yang baru saja lewat. Apa karena sudah usia matang, refleks pikirannya mulai mengarah ke hal dewasa.
Nara menatap sekeliling dan yakin kalau dia bukan berada di kamarnya. Baik itu kamar apartemen atau kamar di kediaman opa.
“Ini kamar gue,” cetus pria itu. “Gue yang bayar.”
“Jangan dekat!” sentak Nara saat pria itu menaiki ranjang. “Dasar set4n, lo apain gue!”
“Astaga, ini cewek. Makannya apaan sih, gacor banget. Teriakannya bikin kuping sakit.” Pria itu menjauh dari ranjang, tidak ingin mendapatkan lengkingan nada tinggi dari wanita yang memanggilnya setan.
“Lo merasa gue apain?”
“Kita, kenapa bisa di sini?”
“Tidurlah, ngapain lagi,” sahut pria itu.
“Lo ngapain gue dan kemana pakaian gue?” tanya Nara masih dengan suara berteriak.
“justru gue yang harusnya tanya, semalam lo minum apa sampai nggak sadar. Mana kebluk banget, pake jackpot segala. Pakaian kita lagi di laundry, kena muntah lo.”
Nara sedikit lega mendengar itu.
“Tidak ada yang terjadi semalam,” batin Nara. Mencoba merasakan lagi tubuhnya, tidak ada rasa tidak biasa. Baik itu sakit di bawah sana atau remuk redam, seperti pengalaman kehilangan keper4wanan di novel yang sering dibaca.
“Syukurlah.” Nara kembali bernafas lega.
“Harusnya lo terima kasih udah gue tolongin. Coba kalau gue biarin aja, mana tahu lo udah berakhir di ranjang pria c4bul.” Pria itu menuju toilet dan kembali sudah mengenakan bathrobe lalu mengambil ponsel di atas nakas dan terlihat fokus
Ada yang salah menurut Nara, tapi apa dia masih bingung. Masih memegang selimut agar tidak merosot turun.
“Kapan baju gue selesai?”
“Ini mau gue telpon.”
Tunggu, kalau pakaiannya di laundry, siapa yang melepaskan dari tubuhnya. Berharap pria ini memanggil petugas wanita untuk melakukan hal itu.
“Siapa yang melepas baju gue?” tanya Nara.
Pria itu menggaruk kepala lalu melirik dan kembali fokus dengan ponsel.
“Hei, lo dengar ‘kan?”
“Dengarlah, telinga gue masih berfungsi dengan baik. Karena tidak ada orang lain, jadi ya gue yang buka pakaian lo,” tutur pria itu tanpa rasa bersalah.
“Hah!!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
juwita
mampir
2025-10-20
0
merry yuliana
hadir kak
2025-10-20
0
hiro_yoshi74
absen kk 👍 .......
2025-10-20
0